Puyang Semende (nenek moyang, turunan pertama, cikal bakal)
mengembara mencari tempat baru, karena di tempat lama selalu mengalami
gagal panen...
Alkisah, puyang Semende tiba di daerah Semende sekarang
ini, yang saat itu diduduki penduduk asli.
Puyang Semende membawa sebatang
tongkat dua ruas bambu dan sebuah tempurung buah labu.
Ruas tongkat bambu bagian bawah
diisi tanah, bagian atas diisi air.
Tempurung buah labu diisi gabah
hampa dari padi gagal panen.
Setelah menyapa penduduk asli,
puyang Semende bertanya:
+"Apakah labu ini berisi?"
(maksud puyang Semende adalah gabah
hampa tersebut)
labu diguncang kuat-kuat
sehingga kedengaran bunyinya.
-"Iya, berisi", kata
penduduk asli
(maksud mereka labu itu ada
isinya)
+"Apa penuh?"
(maksud puyang Semende adalah bernas
bukan hampa)
-"Iya penuh"
Puyang Semende lalu menumpahkan
"gabah hampa" yang ternyata telah berubah menjadi "gabah
bernas"
Terima kasih!
+"Tahukan anda bahwa: tanah
dan air di sini adalah milik saya?!"
(Puyang
Semende menghentakkan tongkat bambunya ke tanah, penduduk asli mengira yang
dimaksud adalah daerah tersebut; tanah air = negeri, country),
Penduduk asli sangat terkejut,
karena ekspresi muka puyang Semende demikian seriusnya.
-"Anda berani sumpah?"
+"Sumpah demi langit dan
bumi, bahwa tanah dan air di sini (dia hentakkan lagi
tongkatnya ke tanah)
+"Adalah milik saya.
Kalau salah, saya mati!", tegasnya.
Penduduk asli ketakutan karena
puyang Semende ternyata tidak mati.
Mereka yakin puyang Semende sangat
sakti.
Mereka minta ampun agar tidak
dibunuh dan segera meninggalkan tempat itu.
Demikianlah, puyang Semende
mendapatkan tempat pemukiman baru untuk anak cucunya hingga sekarang.
Daerah tersebut kemudian
dikenal sebagai pusat penghasil "beras Semende".
Gabah yang tadinya hampa dan
berubah jadi bernas adalah cikal bakal benihnya.
*Diangkat dari cerita rakyat suku Semende, Sumatera Selatan - oleh: Syekhfani