Adat adalah sistem nilai, budaya, pan-dangan hidup, dan
ideologi”. Sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia, Suku
Semende memi-liki ragam khas seperti norma, bahasa, kesenian, dan upacara perkawinan. Di antara banyak adat
Se-mende yang sampai saat ini masih dipakai dan dijunjung tinggi oleh
masyarakat Semende adalah adat Bemeraje Anak Belai.
Dalam adat Bemeraje Anak Belai
ini ada dua unsur yang sangat berkaitan dan berhubungan erat serta tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan yang lain, yaitu unsur Tunggu Tubang dan Anak
Belai sebagai pihak yang dibimbing, dibelai, dan diawasi, serta unsur Meraje
yang bertindak sebagai pembim-bing, pengasuh, dan pengawas.
Tunggu Tubang: “anak perempuan tertua dari keluarga yang tugasnya adalah
: Menunggu dan memelihara serta mengusahakan harta pusaka nenek mo-yangnya,
yang menjadi harta milik bersama dalam keluarga itu; Mengurus semua anggota
dalam keluarga itu; dan Sebagai tempat ber-himpun atau bermusyawarah seluruh
anggota keluarga, yang disebut dengan anak belai.
Dalam
menjalankan tugasnya itu, tunggu tubang diawasi oleh paman yang disebut
dengan Meraje. Meraje ialah kakak atau adik laki-laki dari
ibu. Kewajiban meraje adalah mengasuh dan membimbing anak belai
serta mengasuh dan membimbing tunggu tubang ke jalan yang benar dan
lurus (Hamid 1981: 27). Sebagai pembimbing, pengasuh, dan pengawas dengan
kebijaksanaan dan kharismanya, meraje mempunyai kedudukan yang sangat
dijunjung tinggi oleh tunggu tubang dan para anak belai. Setiap
per-kataannya didengar, setiap perintahnya dituruti, dan setiap larangannya
dipatuhi. Dalam musyawarah ke-luarga, seperti apabila hendak mengadakan hajatan
pernikahan, meraje didudukkan di tengah dan pen-dapatnya didahulukan.
Sebelum dia datang, musya-warah belum dapat dimulai, kecuali atas izinnya.
Apabila ada perselisihan dalam
keluarga, maka hanya meraje yang berhak mengadili dan menye-lesaikan
perselisihan itu. Tentunya dengan mendengar sebab-musabab terjadinya
perselisihan dan meminta pendapat dari anggota keluarga lainnya. Begitu pula
kalau terjadi perselisihan antara salah satu anggota keluarga dengan pihak
luar, maka meraje-lah yang mewakili keluarga untuk menyelesaikan
persoalan itu, baik dengan perdamaian ataupun dengan memberi-kan ganti rugi.
Dari penjelasan di atas, tampaklah
peran dan kedudukan meraje dalam masyarakat adat Semende yang menaungi
segenap anggota keluarga. Walaupun begitu, meraje yang mempunyai
wewenang dan tang-gung jawab besar itu tidak dapat bertindak semaunya. Ada
hal-hal yang membatasinya, yaitu aturan adat Semende yang senantiasa dipegang
kuat secara turun-temurun dan ajaran agama Islam yang selalu ditaati oleh
orang-orang Semende.
Agama Islam, sebagai ajaran yang ditaati
ten-tulah berpengaruh dalam kehidupan orang-orang Se-mende, termasuk dalam
kepemimpinan meraje seba-gai pemimpin masyarakat adat Semende. Dengan
demikian, kepemimpinan meraje sebagai pemimpin adat tentulah mempunyai
kesesusaian dan kecocokan dengan kepemimpinan dalam Islam.
Meraje yang bertindak selaku
pembimbing, pengasuh, dan pengawas sebagai pemimpin adat dengan segala
kebijaksanaan dan kharismanya bersa-ma tunggu tubang sebagai pelaksana
adat yang me-melihara dan mengusahakan seluruh harta keluarga secara
turun-temurun laksana dua sisi pada satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Sehingga dapatlah dikatakan bahwa “Tidak ada tunggu tubang tanpa meraje
dan tidak ada meraje tanpa tunggu tubang”.
Hal inilah yang menarik minat
penulis untuk mengungkap secara jelas masalah kepemimpinan meraje dalam
masyarakat adat Semende ini, terutama tentang hak dan kewajiban meraje
dan tunggu tubang. Penulis juga ingin mengetahui keterkaitan antara
kepe-mimpinan meraje dalam masyarakat Semende deng-an kepemimpinan dalam
Islam. Selain itu, penulis merasa penting mengangkat masalah kepemimpinan meraje
ini karena masalah yang selama ini dijadikan objek kajian dalam masalah adat
Semende, hanyalah tentang tunggu tubang dengan meninggalkan pemba-hasan
tentang meraje.
Sumber : http://kepemimpinanmeraje.blogspot.com