Tab-menu

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Menguak Sejarah Suku Semende

SEJARAH MUDZAKARAH ULAMA ABAD KE 17

Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan :

1. Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’ulama di Perdipe, Sumatera Selatan.

2. Mereka berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan Kepulauan Mindanau.

3. Hasil Mudzakarah ini memunculkan perluasan dakwah Islam yang berakibat terkikisnya faham anismisme dan budaya jahiliyah di masyarakat.

4. Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa.

5. Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik.

A. Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M



Berdasarkan arsip kuno berupa kaghas (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.

Menurut buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik devide et impera berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara.

Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda” konon adalah sebutan bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua suku kata ”belah” (memecah) dan ”nde” (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya dengan kata ”semende” dari dua suku kata ”same” (satu) dan ”nde” (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.



B. Siapakah Syech Nurqodim al-Baharudin



Syech Nurqodim al-Baharudin adalah cucu dari Sunan Gunung Jati dari Putri Sulungnya Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Empu Eyang Dade Abang. Syech Nurqodim al-Baharudin kecil, beserta ketiga adiknya dididik dengan aqidah Islam dan akhlaqul karimah oleh orang tuanya di Istana Plang Kedidai yang terletak di tepi Tanjung Lematang.

Sewaktu remaja beliau digembleng oleh para ’ulama dari Aceh Darussalam yang sengaja didatangkan ayahnya. Ketika tiba masanya menikah beliau menyunting gadis dari Ma Siban (Muara Siban), sebuah dusun di kaki Gunung Dempo yang memiliki situs Lempeng Batu berukir Hulu Balang menunggang Kuda dengan membawa bendera Merah Putih (lihat buku ”5000 tahun umur merah putih” karya Mister Muhammad Yamin). Setelah bermufakat, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya, keluarga dan sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh, sebagai wilayah yang direncanakan beliau untuk menjadi Pusat Daerah Semende.

Menurut salah seorang keturunan beliau yang masih ada sekarang-TSH Kornawi Yacob Oemar-, dalam sebuah makalahnya dinyatakan bahwa, Syech Baharudin adalah pencipta adat Semende. Sebuah adat yang mentransformasi perilaku rumahtangga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga pencetus falsafah ”jagad besemah libagh semende panjang”, yaitu ”Negara Demokrasi” pertama di Nusantara (1479-1850). Akan tetapi ”negara” itu runtuh akibat peperangan selama 17 tahun (1883-1850) malawan kolonial Belanda.

Sebelum ke Tanah Besemah, Syech Baharudin bermukim di Pulau Jawa dan hidup satu zaman dengan Wali Songo. Beliau sangat berpengaruh di di bahagian tengah dan selatan Pulau Jawa. Sedangkan Wali Songo pada masa sebelum berdirinya Kerajaan Bintoro Demak memiliki pengaruh di Pantai Utara Pulau Jawa. Tertulis dalam Kitab Tarikhul Auliya, bahwa untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa-yaitu Demak, maka ada 16 orang wali bermusyawarah di Masjid Demak termasuk pula Syech Baharudin dan beberapa wali dari Pulau Madura.

Dalam musyawarah itu Sunan Giri menginginkan agar dibentuk suatu negara Kerajaan dengan mengangkat Raden Fatah sebagai raja /sulthan dengan alasan negara baru tersebut tidak akan diserbu balatentara Majapahit, mengingat Raden Fatah adalah anak dari raja Majapahit. Konon dari 16 wali tersebut, 9 orang yang mendukung pendapat ini dan tujuh orang yang berbeda pemahaman dalam strategi dakwahnya termasuk Syech Baharudin.

Syech Baharudin (Puyang Awak) menginginkan suatu daulah seperti Madinah al Munawarah pada masa Rosulullah SAW. Namun demi menjaga persatuan ummat Islam yang kala itu jumlah belum banyak, beliau memutuskan untuk hijrah (melayur) ke Pulau Sumatera. Dari tanah Banten beliau menyeberang ke Tanjung Tua-ujung paling selatan Pulau Sumatera-. Kemudian menyusuri pesisir timur, yaitu daerah Ketapang-Menggala-Komering-Palembang-Enim dan Tiba di Tanah Pasemah lalu menetap disana tepatnya di Perdipe.

Disepanjang perjalanan, sebagai seorang mubaligh beliau selalu mendatangi tempat-tempat dimana masyarakat masih belum mengenal agamaTauhid dan akhlaqul qarimah, untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam dengan metode yang sangat sederhana yaitu memepergunakan kultur budaya masyarakat setempat sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat beberapa suku di perdalaman Sumatera Bagian Selatan, Puyang Awak adalah penyebar agama Islam yang sangat kharismatik. Nama beliau menjadi legenda dari generasi ke generasi terutama sikap beliau yang menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Allah.

Di tanah Pasemah pada waktu itu, Puyang Awak melihat pola hidup masyarakat sangat jauh dari kehidupan yang islami.Adanya praktek-praktek perbudakan dikalangan masyarakat.Perampokan dan penjarahan bagkan penculikan terhadap wanita dan anak-anak dari suku-suku lain disekitar Basemah [dalam bahasa basemah disebut ’nampu’] untuk dijadikan budak [dalam bahasa pasemah disebut ’pacal’], dianggap suatu kebanggaan. Bahkan ada satu keluarga besar yang memiliki ratusan ekor kerbau dan sapi serta puluhan orang pical, pada waktu ia mengadakan suatu pesta pernikahan anaknya, dengan pesta besar-besaran dengan menyembelih puluhan ekor sapi dan kerbau. Untuk menambah ’kebanggaan’ dari keluarga tersebut, maka diumumkan bahwa yang punya hajatan juga akan ’menyembelih seorang pacal’. Suatu bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum jahiliyah Suku Quraisy di Kota Mekkah pada zaman nabi Muhammad SAW.

Pola hidup masyarakat Basemah yang liar, zalim, dan biadab seperti itu, bukan hanya diceritakan kembali secara turun-tumurun dari generasi ke generasi, melainkan tercatat pula pada tulisan-tulisan kuno aksara ka-ga-nga yang dijadikan benda-benda pusaka oleh tua-tua adat dari suku-suku sekitar Basemah, antara lain di daerah Enim. Intinya memperingatkan warga agar berhati-hati dan selalu waspada terhadap kedatangan para perampok dari Basemah yang sering menjarah harta benda serta menculik wanita dan anak-anak mereka. Bahkan selain itu Marco Polo [abad12], membuat catatan khusus tentang Basemah yang berbunyi..’Basma, where the people’s like a beast withuot law or religion....’ [basemah, penduduknya bagaikan binatang buas, tanpa aturan atau agama ]

Puyang Awak yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar, zalim tanpa hukum dan agama tersebut, justru berpendapat bahwa di tanah basemah inilah tempat yang tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an yang diturunkan ALLAH SWT kepada nabi Muhammad SAW, untuk meng-agama-kan masyarakat yang belum beragama.

Akan tetapi perlu kita fahami bahwa metode yang dipergunakan oleh Puyang Awak dalam menyebarkan ajaran Islam yang mendasar tersebut, tidak mempergunakan bahasa Arab, melainkan beliau rumuskan kedalam bahasa Pasemah yang cukup dikenal sampai saat ini yaitu ’falsafah GANTI nga TUNGGUAN [Akhlakul Karimah].





C. Hubungan Darah Syaikh Baharudin dengan Sunan Gunung Jati



Mengutip dari buku ”Kisah Walisongo”, Karya Baidhowi Syamsuri, terbitan Apollo Surabaya didapatkan data sebagai berikut.

Adalah dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau Syaikh Dzathul Kahfi-seorang Ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon dan mendirikan Perguruan Islam. Karena kedua anak Raja Siliwangi tersebut tidak mendapat izin dari sang ayah, maka mereka melarikan diri ke Gunung Jati untuk belajar tentang Islam. Setelah cukup lama menuntut ilmu, keduanya diperintahkan sang syaikh untuk membuka hutan di selatan Gunung Jati yang kemudian dijadikan pedukuhan yang akhirnya menjadi ramai. Tempat ini kemudian dinamakan ”Tegal Alang-Alang” dan Pangeran Walang Sungsang diberi gelar ”Pangeran Cakra Buana” serta diangkat sebagai pimpinannya.

Syaikh Kahfi atau Datuk Kahfi memerintahkan kepada kedua muridnya tersebut untuk menunaikan haji ke Mekkah dilanjutkan dengan belajar Islam kepada Syaikh Bayanillah. Akhirnya Rara Santang menikah dengan seorang penguasa Mesir keturunan Bani Hasyim yang bernama Sultan Syarif Abdullah-dikenal juga dengan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda. Rara Santang namanya diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang putra, Syarif Hidayatullah dan adiknya Syarif Nurullah.

Setelah Sultan Syarif Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh putra keduanya Syarif Nurullah, karena putra pertamanya Syarif Hidayatullah tidak suka naik takhta dan lebih memilih pulang ke tanah Jawa beserta ibunya untuk mendakwahkan Islam. Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama Senopati Demak Bintoro, yaitu Fatahillah yang melakukan penyerangan dan pengusiran Bangsa Portugis dari Sunda Kelapa.

Sedangkan Pangeran Cakra Buana setelah tinggal tiga tahun di Mesir kembali ke Jawa dan mendirikan negeri baru yaitu Caruban Larang. Prabu Siliwangi sebagai penguasa Jawa Barat telah merestui tampuk pemerintahan putranya ini dan memerinya gelar ”Sri Manggana”.

Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati telah sampai ke negeri Cina, dimana terdapat undang-undang yang melarang rakyatnya memeluk Islam. Disana beliau membuka praktek sistem pengobatan. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudhu dan sholat. Orang cina kemudian mengenalnya sebagai sinshe dari jawa yang sakti dan berilmu tinggi. Akhirnya banyak diantara penduduknya memeluk Islam, termasuk seorang menteri Cina bernama Pai Lian Bang. Bahkan Kaisar Cina meminta Sunan Gunung Jati untuk menikahi putrinya yang bernama Ong Tien. Sunan Gunung Jati tidak mau mengecewakan sang kaisar, maka pernikahan tersebut dilangsungkan, kemudian ia pulang ke Jawa beserta Ong Tien.

Keberangkatannya ke Jawa dikawal dua Kapal Kerajaan yang dikepalai murid Sunan Gunung Jati, Pai Lian Bang. Kapal yang ditumpangi oleh Sunan Gung Jati berangat lebih dahulu dan singgah di Sriwijaya karena tersiar kabar bahwa adipati Sriwijaya yang berasal dari Majapahit bernama Ario Damar atau Ario Abdillah (nama Islamnya) telah meninggal dunia. Makam beliau dapat kita lihat sampai sekarang di Jalan Ariodillah Palembang. Sedangkan Ario Abdillah ini adalah anak tiri dari Fatahillah.

Karena kedua putra dari Ario Abdillah telah menetap di Jawa, maka Sunan Gunung Jati mengharapkan agar rakyat Sriwijaya berkenan mengangkat Pai Lian Bang sebagai adipati supaya tidak ada kekosongan kepemimpinan. Pai Lian Bang tidak menolak atas pengangkatannya, ia berkata : ”...seandainya bukan Sunan Gunung Jati sebagai guruku yang menyuruhku, maka aku tidak akan mau diangkat menjadi adipati...”.

Dengan bekal ilmu selama menjadi menteri di Cina, Pai Lian Bang berhasil membangun Sriwijaya. Pesantren dan madrasah benar-benar dikembangkannya dan beliau menjadi Guru Besar dlam Ilmu Ketatanegaraan. Murid-muridnya cukup banyak yang datang dari Pulau Jawa dan Sumatera termasuklah seorang cucu Sunan Gunung Jati dari Putrinya Panembahan Ratu yang dinikahi oleh Danuresia (Empu Eyang Dade Abang) yang bernama Syaikh Nurqodim al Baharudin (di sumsel dikenal dengan Puyang Awak). Pada akhirnya setelah Pai Lian Bang wafat, Sriwijaya diganti nama menjadi PALEMBANG yang diambil dari nama PAI LIAN BANG.





D. Latar Belakang Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu Tempo Dulu



Setiap ulama yang shohih dapat dikenali langkah-langkahnya yang senatiasa menyusuaikan dengan panduan Alqur-an dan sunnah Rosul. Demikian pula analisis kami terhadap gerakan yang dibangun Syaikh Nurqodim al-Baharudin. Dengan segala keterbatasannya selaku manusia biasa dan dengan kesemangatannya selaku hamba Allah yang diberi amanah ke’ulamaan beliau telah berupaya membangun tata kehidupan masyarakat madani yang di contohkan Rosulullah Muhammad SAW. Inilah latar belakang pokok mudzakarah tersebut yaitu ingin mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang diatur dengan Syariat Dinullah dengan panduan dari Rosulnya. Beliau tidak bermaksud membangun kekuasan dengan sistem kerajaan. Namun masyarakat madani yang tunduk pada kepemimpinan Allah dan Rosul dengan ’Ulama sebagai Ulil Amrinya.

Kemudian dengan melihat situasi dan kondisi perkembangan Islam di Eropa, Afrika, Asia, hingga wilayah Nusantara memberikan peluang yang besar kepada para ’ulama untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, sehingga memberi corak tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya kestabilitasan dan perbaikan sistem kehidupan yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, pemerintahan dan keamanan, militer dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu effect positif penyebaran melalui Dakwah dan Jihad.

Di rumpun melayu, khususnya setelah terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah Sumatera Selatan akibat runtuhnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, dan terjadinya peralihan kekuasaan dari kerajaan Demak ke Pajang dan Mataram, sementara di wilayah Besemah (Pagaralam) masyarakat mengalami disintegrasi nilai-nilai kebudayaan yang mengakibatkan terciptanya kekacauan dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan sehingga mereka kehilangan norma dan aturan yang mengatur tatanan kehidupan sosial. Hal ini yang menjadi faktor kedua dan mengilhami proses penyebaran Islam di wilayah Besemah dan Semendo oleh para ’ulama melalui proses mudzakarah.

Demikianlah dua latar pokok munculnya pertemuan ulama pada masa itu, yaitu ittiba kepada panduan Allah dan Rosul dengan gambaran dalilnya antara lain Surah al Anfal ayat 72, mengenai perintah iman, hijrah dan jihad. Selanjutnya kedua, yaitu kondisi dunia dan ummat yang menghendaki para ’ulama agar bersepakat mengangkat Islam.



E. Lokasi dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama Tempo Dulu



Keberadaan dan kegiatan dakwah yang dilakukan beliau lama-kelamaan mulai tersebar. Bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang aulia yang bernama Syaikh Nur Qodim Al Baharudin. Banyaklah penghulu agama / pemuka agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Puyang Nur Qodim untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh akhirnya diresmikanlah oleh Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang menjadi ”dusun Paradipe” (para penghulu agama) tahun1650 M / 1072 H sekarang dinamakan dusun Tue. Dari perluasan daerah inilah disebut wilayah jagad Semende Panjang Basemah Libagh.



Kegiatan pembukaan wilayah oleh Syaikh al Baharudin antara lain :

1. Pembukaan dusun dan Wilayah Pertanian Pagaruyung yang dipimpin oleh Puyang Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Tanah Minang Kabau.

2. Pembaharuan dusun serta pemekaran Wilayah Peghapau yang dipimpin oleh Puyang Prikse Alam, dan Puyang Agung Nyawa beserta Puyang Tuan Kuase Raje Ulieh dari negeri Cina yang nama aslinya Ong Gun Tie

3. Pembukaan Dusun dengan pemukiman di dusun Muara Tenang oleh Putra Sunan Bonang dari Jawa. Di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang Ratu oleh Puyang Nakanadin, di Tanjung Raye oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan Guru Sakti Gumai serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kacik berpusat di Pardipe

4. Pemekaran pembukaan wilayah Marga Semende, Muare Saung dan Marga Pulau Beringin (OKU).

5. Pembukaan wilaya Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajar Bulan Segirin Bengkulu

6. Pembukaan dusun dan wilayah pertanian di Lampung yakni Marga Semende Waitenang, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende Peghung dan Marga Semende Ulak Rengas (Raje Mang Kute) Muchtar Alam..



Pendiri Adat Semende



1. a. Ratu Agung Umpu Eyang Dade Abang (Bapak Nur Qodim – Puyang Awak).

b. Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin



2. Puyang Mas Penghulu Ulama Panglima Perang dari Gheci Mataram Jawa.

3. Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Minang Kabau (Sumbar).

4. Puyang Sang Ngerti Penghulu Agama dari Tebing Rindu Ati Bangkahulu (Bengkulu).

5. Puyang Perikse Alam dari Lubuk Dendan Mulak Basemah.

6. Puyang Agung Nyawe.

7. Puyang Lurus Sambung Ati dari gunung Puyung Banten Selatan Jabar.

8. Tuan Kuase Raje Ulie Depati Penanggungan.

9. Puyang Lebi Abdul Kahar dari Pulau Panggung.

10. Tuan Mas Pangeran Bonang Muara Tenang.

11. Regan Bumi Nakanadin samewali Tanjung Raya.

12. Tuan Kecil dari Tanjung Laut.



Mengenai hasil keputusan yang di dapat, antara lain adalah munculnya rumusan kesepakatan ulama mengenai tahapan waktu kaderisasi ummat dan masa tegaknya daulah Islam di Rumpun Melayu. Rumusan ini menggunakan bahasa melayu setempat yang tercatat sampai saat ini dan mengandung pesan yang amat kuat, yaitu ”Tujuh Ganti Sembilan Gilir”. Terjemahnya adalah tujuh generasi dan sembilan masa pergiliran Kesultanan”. Satu generasi adalah sekitar 40 tahun sehingga makna tujuh ganti adalah 280 tahun masa pengkaderan atau persiapan ummat ummat Islam untuk bangkit dan mengusir penjajah dari Eropa. Terbukti sekitar 300 tahun kemudian dari tahun 1650 penjajah belanda angkat kaki dari negeri ini. Kemudian Kesultanan Mataram sebagai pusat komunikasi dari kesultanan lain di rumpun melayu diberi batas amanah sampai ke 9 kepemimpinan untuk selanjutnya menegakkan Syariat Islam secara total.

Data mengenai ulama yang hadir antara lain 40 ulama Malaka yang berangkat dari Johor, utusan Mataram Raden Seto dan Raden Khatib dan beberapa utusan lain dari Pagaruyung dan beberapa dari wilayah Rumou Melayu lainnya. Lokasi Mudzakarah Ulama ini adalah di Dusun Perdipe (Para Dipo; para penghulu agama).



Demikianlah sekelumit data yang diperoleh, setelah dilakukan eksplorasi data literatur dan lapangan. Namun demikian segala sumber keterangan apabila bukan bersumber selain alqur-an akan ditemua ikhtilaf (perbedaan) seperti yang dijelaskanNYa dalam Surah Annisa 82. Maka kami pun membuka segala kesempatan untuk melengkapi, mengkoreksi dan meluruskan data sejarah ini.

Sumber :http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/articles/103-sejarah-mudzakarah-ulama-abad-ke-17.html

Tunggu Tubang Adat Semende

Perihal harta waris dalam agama Islam mendapat tempat yang layak. Bahkan, pengajaran soal ini merupakan salah satu bagian yang wajib dipelajari kaum muslimin
Perihal waris yang merupakan salah satu hal yang rumit ini memang semestinya dipahami dengan baik. Sebab terkadang kita mendengar bahwa ada keluarga yang sampai ribut karena bertengkar soal harta warisan. Soal aturan dalam Islam bahwa laki-laki mendapatkan setengah dari harta, juga sering menjadi titik picu rumah tangga bertengkar. Apalagi jika anak dari ahli waris sudah berkeluarga. Hasutan dari pihak istri dan tuntutan anak-anak akan makin menambah runyam permasalahan.Dalam konteks ini, dalam ada istiadat orang Semende, ada yang namanya tunggu tubang. Tunggu tubang ini merupakan sistem kekeluargaan di mana hal untuk menjadi pewaris jatuh kepada pihak perempuan tertua.
Ini disebabkan adat Semendo menganut garis keturunan dari pihak ibu atau yang disebut matrilineal.

Misalnya, seorang ayah memiliki tiga anak. Anak pertama atau si sulung berjenis kelamin laki-laki. Anak kedua perempuan serta anak ketiga
laki-laki. Nah, hak rumah dan tanah jatuh kepada anak perempuan yang urutannya kedua tadi. Akan tetapi, jika tidak ada anak perempuan bagaimana? Kalau ini yang terjadi, pewarisnya bisa diberikan kepada laki-laki tertua atau istri dari anak laki-laki tertua. Kalaupun masih ada yang perempuan, tetapi dia tidak mau, pilihan-pilihan tadi bisa jadi alternatif. Yang penting, jika syarat tidak ada perempuan dalam struktur anak dalam keluarga, semua harus dipecahkan dengan musyawarah, dengan mufakat, dengan pemusyawaratan. Jadinya demokratis. Pada titik inilah, letak demokratis adat dalam suku Semendo ini.

Umumnya orang Semendo mewariskan harta berupa tanah, sawah, dan rumah. Tanah di sini dalam artian yang bisa diusahakan secara produktif. Maka itu, terkenal bahwa orang Semendo itu punya banyak ladang, sawah, atau kebun. Bahkan, secara berseloroh, orang Semendo disebut “James Bond” atau jeme Semende besak di kebon. Maksudnya, orang Semendo besar di kebun.
Tanah yang ada ini harus diusahakan berproduksi, tidak boleh berhenti. Sebab, dari sinilah semua kebutuhan keluarga besar dipenuhi. Kenapa demikian? Karena, mereka yang mendapatkan tunggu tubang tidak boleh menjual harta dan rumah. Rumah itu akan menjadi rumah tua di mana anak beranak akan berkumpul jika ada acara besar keluarga. Rumah itu akan menjadi simbol bahwa bangunan itu menjadi benteng pertahanan terakhir dari semua garis keturunan. Tidak hanya itu juga, tanah yang ada dan terus berproduksi itu juga berguna kalau ada keluarga yang membutuhkan. Artinya, beban mereka yang menjadi tunggu tubang ini berat. Tanah dan rumah tidak boleh dijual, sementara mereka menghidupi keluarga sambil menjadi kepala keluarga jika ada yang membutuhkan uang. Bisa dikatakan wajib hukumnya bagi tunggu tubang untuk memenuhi semua kebutuhan sanak keluarganya. Contohnya begini. Keponakan tunggu tubang butuh biaya untuk sekolah sedangkan orang tua kandung sedang tidak punya uang. Dalam kondisi demikian, perempuan yang menjadi tunggu tubang itu wajib memberikan uang untuk kebutuhan keponakannya tersebut. Demikian pula jika ada yang membutuhkan.
Kalaupun ada persoalan keluarga yang mendesak dan demikian penting, perempuan yang menjadi tunggu tubang juga harus ikut memfasilitasi agar persoalan itu segera diselesaikan.
Secara umum demikianlah sekelumit yang dimaksud dengan tunggu tubang. Kini, sesuai dengan judul pada tulisan yang dibuat ini, apakah dengan mekanisme adat yang demikian, masih relevan dengan kehidupan di masa sekarang. Penulis akan memberikan beberapa di antaranya.
Pertama, kita harus tetap memandang bahwa yang namanya aturan agama adalah mutlak. Adat harus bersendikan syariat. Benarlah kata mereka yang bersuku bangsa Minangkabau, yang mengatakan bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat itu sendinya syariat, sedangkan syariat itu adanya di kitab Allah atau Alquran.

Maka, kalau ada orang Semendo yang dengan kuat memegang tradisi agama Islam dengan tidak menganut paham tunggu tubang, kita juga harus bisa memandangnya secara bijak, itu pilihan, dan kita harus menghormati. Akan tetapi, buat mereka yang berkukuh bahwa ini adat dan harus diikuti, juga tidak menjadi masalah. Apalagi, meskipun sudah modern, tetap saja kebanyakan orang Semendo tetap menganut adat ini. Kalaupun tidak secara saklek, tetap saja orang tua sudah berpesan bahwa tanah dan rumah yang mengelola si anu sambil menunjuk anak perempuan tertuanya.

Kedua, manfaat dari adanya rumah besar. Dengan ketiadaan hak dari tunggu tubang untuk menjual rumah dan tanah, berakibat pada terpeliharanya warisan yang bersejarah. Dengan adanya rumah tua, semua anak dan cucu masih dapat berkumpul. Rumah tua itulah yang menjadi perlambang bahwa meskipun sudah merantau jauh ke negara atau daerah lain, tetap ada satu rumah untuk berkumpul bersama. Inilah nikmatnya berkumpul bersama. Coba saja bandingkan dengan beberapa keluarga yang lain, yang begitu bapaknya meninggal, rumah dan tanah langsung dijual untuk dibagi-bagi. Akhirnya tidak ada lagi tempat untuk keluarga besar berkumpul. Lambang sejarah dalam keluarga juga hilang. Kenangan akan masa lalu tidak mampu lagi dihadirkan lantaran rumah sebagai simbolnya sudah hilang. Demikian pula dengan segenap peninggalan keluarga, mungkin foto, benda peninggalan, serta silsilah keluarga tidak ada lagi. Dari pengalaman penulis saja, kekerabatan orang Semendo ini cukup kuat. Ada bahkan seorang kerabat penulis yang membuat tembe. Tembe itu garis silsilah keluarga. Dari moyang hingga cicit. Sehingga, sampai ke masa yang akan datang, sampai ke beberapa garis keturunan, masih bisa dilacak siapa saja kerabat yang ada. Sebuah keuntungan yang luar biasa bukan, jika dilihat dari sisi aset keluarga. Dari sini, penulis beranggapan untuk masalah ini, ada baiknya adat ini dikembangkan. Semata-mata agar semua keluarga punya tempat untuk berkumpul.
Ketiga, pemecahan masalah juga mudah dilakukan. Adanya tanggung jawab yang besar dari tunggu tubang membuat permasalahan yang ada pada keluarga besar akan terpecahkan. Tentu saja harus melibatkan tetua dari keluarga, misalnya uwak atau paman. Sering juga kita mendengar bahwa ada keluarga yang sulit sekali untuk memecahkan persoalan lantaran tidak ada yang dituakan atau dimintakan saran. Dengan adanya tunggu tubang, terbuka peluang untuk memecahkan semua persoalan dalam rumah tangga.

Keempat, secara ekonomi, ada topangan. Dengan kewajiban untuk meneruskan kebun dan ladang yang ada, membawa pengaruh pada perekonomian keluarga besar. Memang bukan berarti keluarga yang menjadi tunggu tubang tidak bisa menikmati, dia tetap bisa menikmati, tetapi harus juga memikirkan masa depan pewarisnya.

Umumnya, dengan kebun kopi atau cengkih, bahkan kini cokelat, atau pula padi, secara ekonomi, keluarga tunggu tubang juga tidak kekurangan. Dengan berusaha, tentu dia akan berpikir untuk meneruskan harta dan tanah ini kepada anak perempuan berikutnya. Dari sini kita mendapat pelajaran bahwa adat ini juga “memaksa” orang tua untuk meninggalkan harta yang cukup. Tentu bukan dalam artian berpikir pragmatis soal harta, melainkan lebih kepada tanggung jawab bahwa begitu dia mati, rumah dan tanah tetap hars ada demi kelanjutan ekonomi keluarga. Model ini juga membawa pengaruh yang positif bahwa harta yang ada benar-benar pas peruntukkannya. Tidak dipakai untuk sesuatu yang mubazir. Atau, dijual untuk keperluan pribadi. Adanya aset ini penulis kira merupakan langkah maju dari berpikirnya orang-orang Semendo. Bahwa dia harus memikirkan betapa esok hari atau di tahun yang akan datang kehidupan akan sulit. Jika tidak ditinggalkan harta dan tanah–tentunya juga termaktub pemahaman agama dan moralitas yang baik–anak-cucu akan kesulitan dalam mengarungi kehidupan. Sebuah proses berpikir yang visioner dan sebaiknya memang harus terus dilakukan. Paling tidak dengan budaya tunggu tubang ini ada usaha agar ada yang ditinggalkan sepeninggal diri orang itu. Oleh sebab itu, dari sini saja, hemat penulis, tunggu tubang masih relevan untuk diteruskan.

Sulmin Dulsari, warga Bandar Lampung bersuku Semende
Kutipan Dari Surat Kabar Lampung