Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan :
- Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’ulama di Perdipe, Sumatera Selatan.
- Mereka berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa,  Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan  Kepulauan Mindanau.
- Hasil Mudzakarah ini memunculkan perluasan  dakwah Islam yang berakibat terkikisnya faham anismisme dan budaya  jahiliyah di masyarakat.
- Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa.
- Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya  Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik.
 
A. Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M
Berdasarkan  arsip kuno berupa kaghas (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu)  yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim,  Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad  Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa  pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama  yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang  mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.
Menurut  buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah,  Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 –  17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan  Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang  diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik  devide et impera berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang  berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di  daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada  tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe  (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera  Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi  persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib  di Asia Tenggara.
Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda”  konon adalah sebutan bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata  belanda berasal dari dua suku kata ”belah” (memecah) dan ”nde”  (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya  dengan kata ”semende” dari dua suku kata ”same” (satu) dan ”nde”  (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.
B. Siapakah Syech Nurqodim al-Baharudin
Syech  Nurqodim al-Baharudin adalah cucu dari Sunan Gunung Jati dari Putri  Sulungnya Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Empu  Eyang Dade Abang. Syech Nurqodim al-Baharudin kecil, beserta ketiga  adiknya dididik dengan aqidah Islam dan akhlaqul karimah oleh orang  tuanya di Istana Plang Kedidai yang terletak di tepi Tanjung Lematang.
Sewaktu  remaja beliau digembleng oleh para ’ulama dari Aceh Darussalam yang  sengaja didatangkan ayahnya. Ketika tiba masanya menikah beliau  menyunting gadis dari Ma Siban (Muara Siban), sebuah dusun di kaki  Gunung Dempo yang memiliki situs Lempeng Batu berukir Hulu Balang  menunggang Kuda dengan membawa bendera Merah Putih (lihat buku ”5000  tahun umur merah putih” karya Mister Muhammad Yamin). Setelah  bermufakat, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya, keluarga dan  sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh, sebagai wilayah yang  direncanakan beliau untuk menjadi Pusat Daerah Semende.
Menurut  salah seorang keturunan beliau yang masih ada sekarang-TSH Kornawi Yacob  Oemar-, dalam sebuah makalahnya dinyatakan bahwa, Syech Baharudin  adalah pencipta adat Semende. Sebuah adat yang mentransformasi perilaku  rumahtangga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga pencetus falsafah ”jagad  besemah libagh semende panjang”, yaitu ”Negara Demokrasi” pertama di  Nusantara (1479-1850). Akan tetapi ”negara” itu runtuh akibat peperangan  selama 17 tahun (1883-1850) malawan kolonial Belanda.
Sebelum ke  Tanah Besemah, Syech Baharudin bermukim di Pulau Jawa dan hidup satu  zaman dengan Wali Songo. Beliau sangat berpengaruh di di bahagian tengah  dan selatan Pulau Jawa. Sedangkan Wali Songo pada masa sebelum  berdirinya Kerajaan Bintoro Demak memiliki pengaruh di Pantai Utara  Pulau Jawa. Tertulis dalam Kitab Tarikhul Auliya, bahwa untuk mendirikan  kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa-yaitu Demak, maka ada 16 orang  wali bermusyawarah di Masjid Demak termasuk pula Syech Baharudin dan  beberapa wali dari Pulau Madura.
Dalam musyawarah itu Sunan Giri  menginginkan agar dibentuk suatu negara Kerajaan dengan mengangkat Raden  Fatah sebagai raja /sulthan dengan alasan negara baru tersebut tidak  akan diserbu balatentara Majapahit, mengingat Raden Fatah adalah anak  dari raja Majapahit. Konon dari 16 wali tersebut, 9 orang yang mendukung  pendapat ini dan tujuh orang yang berbeda pemahaman dalam strategi  dakwahnya termasuk Syech Baharudin.
Syech Baharudin (Puyang Awak)  menginginkan suatu daulah seperti Madinah al Munawarah pada masa  Rosulullah SAW. Namun demi menjaga persatuan ummat Islam yang kala itu  jumlah belum banyak, beliau memutuskan untuk hijrah (melayur) ke Pulau  Sumatera. Dari tanah Banten beliau menyeberang ke Tanjung Tua-ujung  paling selatan Pulau Sumatera-. Kemudian menyusuri pesisir timur, yaitu  daerah Ketapang-Menggala-Komering-Palembang-Enim dan Tiba di Tanah  Pasemah lalu menetap disana tepatnya di Perdipe.
Disepanjang  perjalanan, sebagai seorang mubaligh beliau selalu mendatangi  tempat-tempat dimana masyarakat masih belum mengenal agamaTauhid dan  akhlaqul qarimah, untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam dengan  metode yang sangat sederhana yaitu memepergunakan kultur budaya  masyarakat setempat sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh seluruh  lapisan masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat beberapa suku  di perdalaman Sumatera Bagian Selatan, Puyang Awak adalah penyebar agama  Islam yang sangat kharismatik. Nama beliau menjadi legenda dari  generasi ke generasi terutama sikap beliau yang menunjukkan rasa peduli  dan kasih sayang yang sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan  Allah.
Di tanah Pasemah pada waktu itu, Puyang Awak melihat pola  hidup masyarakat sangat jauh dari kehidupan yang islami.Adanya  praktek-praktek perbudakan dikalangan masyarakat.Perampokan dan  penjarahan bagkan penculikan terhadap wanita dan anak-anak dari  suku-suku lain disekitar Basemah [dalam bahasa basemah disebut ’nampu’]  untuk dijadikan budak [dalam bahasa pasemah disebut ’pacal’], dianggap  suatu kebanggaan. Bahkan ada satu keluarga besar yang memiliki ratusan  ekor kerbau dan sapi serta puluhan orang pical, pada waktu ia mengadakan  suatu pesta pernikahan anaknya, dengan pesta besar-besaran dengan  menyembelih puluhan ekor sapi dan kerbau. Untuk menambah ’kebanggaan’  dari keluarga tersebut, maka diumumkan bahwa yang punya hajatan juga  akan ’menyembelih seorang pacal’. Suatu bentuk kedzaliman yang melebihi  perbuatan kaum jahiliyah Suku Quraisy di Kota Mekkah pada zaman nabi  Muhammad SAW.
Pola hidup masyarakat Basemah yang liar, zalim, dan  biadab seperti itu, bukan hanya diceritakan kembali secara  turun-tumurun dari generasi ke generasi, melainkan tercatat pula pada  tulisan-tulisan kuno aksara ka-ga-nga yang dijadikan benda-benda pusaka  oleh tua-tua adat dari suku-suku sekitar Basemah, antara lain di daerah  Enim. Intinya memperingatkan warga agar berhati-hati dan selalu waspada  terhadap kedatangan para perampok dari Basemah yang sering menjarah  harta benda serta menculik wanita dan anak-anak mereka. Bahkan selain  itu Marco Polo [abad12], membuat catatan khusus tentang Basemah yang  berbunyi..’Basma, where the people’s like a beast withuot law or  religion....’ [basemah, penduduknya bagaikan binatang buas, tanpa aturan  atau agama ]
Puyang Awak yang memperhatikan kehidupan suku  Basemah yang liar, zalim tanpa hukum dan agama tersebut, justru  berpendapat bahwa di tanah basemah inilah tempat yang tepat untuk  menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an  yang diturunkan ALLAH SWT kepada nabi Muhammad SAW, untuk  meng-agama-kan masyarakat yang belum beragama.
Akan tetapi perlu  kita fahami bahwa metode yang dipergunakan oleh Puyang Awak dalam  menyebarkan ajaran Islam yang mendasar tersebut, tidak mempergunakan  bahasa Arab, melainkan beliau rumuskan kedalam bahasa Pasemah yang cukup  dikenal sampai saat ini yaitu ’falsafah GANTI nga TUNGGUAN [Akhlakul  Karimah].
C. Hubungan Darah Syaikh Baharudin dengan Sunan Gunung Jati
Mengutip dari buku ”Kisah Walisongo”, Karya Baidhowi Syamsuri, terbitan Apollo Surabaya didapatkan data sebagai berikut.
Adalah  dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan  Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau  Syaikh Dzathul Kahfi-seorang Ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon  dan mendirikan Perguruan Islam. Karena kedua anak Raja Siliwangi  tersebut tidak mendapat izin dari sang ayah, maka mereka melarikan diri  ke Gunung Jati untuk belajar tentang Islam. Setelah cukup lama menuntut  ilmu, keduanya diperintahkan sang syaikh untuk membuka hutan di selatan  Gunung Jati yang kemudian dijadikan pedukuhan yang akhirnya menjadi  ramai. Tempat ini kemudian dinamakan ”Tegal Alang-Alang” dan Pangeran  Walang Sungsang diberi gelar ”Pangeran Cakra Buana” serta diangkat  sebagai pimpinannya.
Syaikh Kahfi atau Datuk Kahfi memerintahkan  kepada kedua muridnya tersebut untuk menunaikan haji ke Mekkah  dilanjutkan dengan belajar Islam kepada Syaikh Bayanillah. Akhirnya Rara  Santang menikah dengan seorang penguasa Mesir keturunan Bani Hasyim  yang bernama Sultan Syarif Abdullah-dikenal juga dengan Sultan Syarif  Abdullah Maulana Huda. Rara Santang namanya diganti dengan Syarifah  Mudaim. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang putra, Syarif  Hidayatullah dan adiknya Syarif Nurullah.
Setelah Sultan Syarif  Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh putra keduanya Syarif  Nurullah, karena putra pertamanya Syarif Hidayatullah tidak suka naik  takhta dan lebih memilih pulang ke tanah Jawa beserta ibunya untuk  mendakwahkan Islam. Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian dikenal  dengan nama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama Senopati Demak Bintoro,  yaitu Fatahillah yang melakukan penyerangan dan pengusiran Bangsa  Portugis dari Sunda Kelapa.
Sedangkan Pangeran Cakra Buana  setelah tinggal tiga tahun di Mesir kembali ke Jawa dan mendirikan  negeri baru yaitu Caruban Larang. Prabu Siliwangi sebagai penguasa Jawa  Barat telah merestui tampuk pemerintahan putranya ini dan memerinya  gelar ”Sri Manggana”.
Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung  Jati telah sampai ke negeri Cina, dimana terdapat undang-undang yang  melarang rakyatnya memeluk Islam. Disana beliau membuka praktek sistem  pengobatan. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudhu dan sholat.  Orang cina kemudian mengenalnya sebagai sinshe dari jawa yang sakti dan  berilmu tinggi. Akhirnya banyak diantara penduduknya memeluk Islam,  termasuk seorang menteri Cina bernama Pai Lian Bang. Bahkan Kaisar Cina  meminta Sunan Gunung Jati untuk menikahi putrinya yang bernama Ong Tien.  Sunan Gunung Jati tidak mau mengecewakan sang kaisar, maka pernikahan  tersebut dilangsungkan, kemudian ia pulang ke Jawa beserta Ong Tien.
Keberangkatannya  ke Jawa dikawal dua Kapal Kerajaan yang dikepalai murid Sunan Gunung  Jati, Pai Lian Bang. Kapal yang ditumpangi oleh Sunan Gung Jati berangat  lebih dahulu dan singgah di Sriwijaya karena tersiar kabar bahwa  adipati Sriwijaya yang berasal dari Majapahit bernama Ario Damar atau  Ario Abdillah (nama Islamnya) telah meninggal dunia. Makam beliau dapat  kita lihat sampai sekarang di Jalan Ariodillah Palembang. Sedangkan Ario  Abdillah ini adalah anak tiri dari Fatahillah.
Karena kedua  putra dari Ario Abdillah telah menetap di Jawa, maka Sunan Gunung Jati  mengharapkan agar rakyat Sriwijaya berkenan mengangkat Pai Lian Bang  sebagai adipati supaya tidak ada kekosongan kepemimpinan. Pai Lian Bang  tidak menolak atas pengangkatannya, ia berkata : ”...seandainya bukan  Sunan Gunung Jati sebagai guruku yang menyuruhku, maka aku tidak akan  mau diangkat menjadi adipati...”.
Dengan bekal ilmu selama  menjadi menteri di Cina, Pai Lian Bang berhasil membangun Sriwijaya.  Pesantren dan madrasah benar-benar dikembangkannya dan beliau menjadi  Guru Besar dlam Ilmu Ketatanegaraan. Murid-muridnya cukup banyak yang  datang dari Pulau Jawa dan Sumatera termasuklah seorang cucu Sunan  Gunung Jati dari Putrinya Panembahan Ratu yang dinikahi oleh Danuresia  (Empu Eyang Dade Abang) yang bernama Syaikh Nurqodim al Baharudin (di  sumsel dikenal dengan Puyang Awak). Pada akhirnya setelah Pai Lian Bang  wafat, Sriwijaya diganti nama menjadi PALEMBANG yang diambil dari nama  PAI LIAN BANG.
D. Latar Belakang Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu Tempo Dulu
Setiap  ulama yang shohih dapat dikenali langkah-langkahnya yang senatiasa  menyusuaikan dengan panduan Alqur-an dan sunnah Rosul. Demikian pula  analisis kami terhadap gerakan yang dibangun Syaikh Nurqodim  al-Baharudin. Dengan segala keterbatasannya selaku manusia biasa dan  dengan kesemangatannya selaku hamba Allah yang diberi amanah ke’ulamaan  beliau telah berupaya membangun tata kehidupan masyarakat madani yang di  contohkan Rosulullah Muhammad SAW. Inilah latar belakang pokok  mudzakarah tersebut yaitu ingin mewujudkan tata kehidupan masyarakat  yang diatur dengan Syariat Dinullah dengan panduan dari Rosulnya. Beliau  tidak bermaksud membangun kekuasan dengan sistem kerajaan. Namun  masyarakat madani yang tunduk pada kepemimpinan Allah dan Rosul dengan  ’Ulama sebagai Ulil Amrinya.
Kemudian dengan melihat situasi dan  kondisi perkembangan Islam di Eropa, Afrika, Asia, hingga wilayah  Nusantara memberikan peluang yang besar kepada para ’ulama untuk  menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, sehingga memberi corak  tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya kestabilitasan dan  perbaikan sistem kehidupan yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi,  pemerintahan dan keamanan, militer dan ilmu pengetahuan merupakan salah  satu effect positif penyebaran melalui Dakwah dan Jihad.
Di  rumpun melayu, khususnya setelah terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah  Sumatera Selatan akibat runtuhnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit,  dan terjadinya peralihan kekuasaan dari kerajaan Demak ke Pajang dan  Mataram, sementara di wilayah Besemah (Pagaralam) masyarakat mengalami  disintegrasi nilai-nilai kebudayaan yang mengakibatkan terciptanya  kekacauan dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan sehingga mereka  kehilangan norma dan aturan yang mengatur tatanan kehidupan sosial. Hal  ini yang menjadi faktor kedua dan mengilhami proses penyebaran Islam di  wilayah Besemah dan Semendo oleh para ’ulama melalui proses mudzakarah.
Demikianlah  dua latar pokok munculnya pertemuan ulama pada masa itu, yaitu ittiba  kepada panduan Allah dan Rosul dengan gambaran dalilnya antara lain  Surah al Anfal ayat 72, mengenai perintah iman, hijrah dan jihad.  Selanjutnya kedua, yaitu kondisi dunia dan ummat yang menghendaki para  ’ulama agar bersepakat mengangkat Islam.
E. Lokasi dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama Tempo Dulu
Keberadaan  dan kegiatan dakwah yang dilakukan beliau lama-kelamaan mulai tersebar.  Bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang aulia yang  bernama Syaikh Nur Qodim Al Baharudin. Banyaklah penghulu agama / pemuka  agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Puyang Nur Qodim  untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh akhirnya diresmikanlah oleh  Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang menjadi ”dusun Paradipe” (para  penghulu agama) tahun1650 M / 1072 H sekarang dinamakan dusun Tue. Dari  perluasan daerah inilah disebut wilayah jagad Semende Panjang Basemah  Libagh.
Kegiatan pembukaan wilayah oleh Syaikh al Baharudin antara lain :
1.  Pembukaan dusun dan Wilayah Pertanian Pagaruyung yang dipimpin oleh  Puyang Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Tanah Minang Kabau.
2.  Pembaharuan dusun serta pemekaran Wilayah Peghapau yang dipimpin oleh  Puyang Prikse Alam, dan Puyang Agung Nyawa beserta Puyang Tuan Kuase  Raje Ulieh dari negeri Cina yang nama aslinya Ong Gun Tie
3.  Pembukaan Dusun dengan pemukiman di dusun Muara Tenang oleh Putra Sunan  Bonang dari Jawa. Di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang Ratu  oleh Puyang Nakanadin, di Tanjung Raye oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan  Guru Sakti Gumai serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kacik berpusat  di Pardipe
4. Pemekaran pembukaan wilayah Marga Semende, Muare Saung dan Marga Pulau Beringin (OKU).
5. Pembukaan wilaya Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajar Bulan Segirin Bengkulu
6.  Pembukaan dusun dan wilayah pertanian di Lampung yakni Marga Semende  Waitenang, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende  Peghung dan Marga Semende Ulak Rengas (Raje Mang Kute) Muchtar Alam..
Pendiri Adat Semende
a. Ratu Agung Umpu Eyang Dade Abang (Bapak Nur Qodim – Puyang Awak).
-      Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin, bertempat tinggal di Perapau dan Muara Danau.
- Puyang Mas Penghulu Ulama Panglima Perang dari Gheci Mataram Jawa.
- Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Minang Kabau (Sumbar).
- Puyang Sang Ngerti Penghulu Agama dari Tebing Rindu Ati Bangkahulu (Bengkulu).
- Puyang Perikse Alam dari Lubuk Dendan Mulak Basemah.
- Puyang Agung Nyawe.
- Puyang Lurus Sambung Ati dari gunung Puyung Banten Selatan Jabar.
- Tuan Kuase Raje Ulie Depati Penanggungan.
- Puyang Lebi Abdul Kahar dari Pulau Panggung.
- Tuan Mas Pangeran Bonang Muara Tenang.
- Regan Bumi Nakanadin samewali Tanjung Raya.
- Tuan Kecil dari Tanjung Laut.
Mengenai  hasil keputusan yang di dapat, antara lain adalah munculnya rumusan  kesepakatan ulama mengenai tahapan waktu kaderisasi ummat dan masa  tegaknya daulah Islam di Rumpun Melayu. Rumusan ini menggunakan bahasa  melayu setempat yang tercatat sampai saat ini dan mengandung pesan yang  amat kuat, yaitu ”Tujuh Ganti Sembilan Gilir”. Terjemahnya adalah tujuh  generasi dan sembilan masa pergiliran Kesultanan”. Satu generasi adalah  sekitar 40 tahun sehingga makna tujuh ganti adalah 280 tahun masa  pengkaderan atau persiapan ummat ummat Islam untuk bangkit dan mengusir  penjajah dari Eropa. Terbukti sekitar 300 tahun kemudian dari tahun 1650  penjajah belanda angkat kaki dari negeri ini. Kemudian Kesultanan  Mataram sebagai pusat komunikasi dari kesultanan lain di rumpun melayu  diberi batas amanah sampai ke 9 kepemimpinan untuk selanjutnya  menegakkan Syariat Islam secara total.
Data mengenai ulama yang  hadir antara lain 40 ulama Malaka yang berangkat dari Johor, utusan  Mataram Raden Seto dan Raden Khatib dan beberapa utusan lain dari  Pagaruyung dan beberapa dari wilayah Rumou Melayu lainnya. Lokasi  Mudzakarah Ulama ini adalah di Dusun Perdipe (Para Dipo; para penghulu  agama).
Demikianlah sekelumit data yang diperoleh,  setelah dilakukan eksplorasi data literatur dan lapangan. Namun demikian  segala sumber keterangan apabila bukan bersumber selain Al-Qur'an akan  ditemukan ikhtilaf (perbedaan) seperti yang dijelaskanNYa dalam Surah  Annisa 82. Maka kami pun membuka segala kesempatan untuk melengkapi,  mengkoreksi dan meluruskan data sejarah in
 
 
2 komentar:
Terimekasih atas ada nya tulisan ini namun masih perlu waktu bagi saya utk membacanya, insya Allah nanti tentu sangat berguna risalah ini.
tks..untuk postingnye, pacak dijadikah rujukan untuk mengetahui dan memahami secare historis Semende dan adat istiadatnye sehigge para generasi mude tak kehilangan jati diri dalam rangke pembentukan watak serta pribadi yang berkarakter yang berlandaskan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan rasulnya........
Posting Komentar