Tab-menu

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

100% Lahan Kelola Masyarakat Kabupaten Kaur Terancam Tergusur

Kabupaten Kaur memiliki luas wilayah sekitar 236.300Ha. Dari total luasn wilayah tersebut, 143.568,27 hektar (60,76 %) berupa kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung, taman nasional, taman wisata alam, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas. Sisanya sekitar 92.731,73 hektar (39,24%) beruypa areal peruntukan lain, yakni digunakan untuk arela pemukiman, pertanian, perkebunan, dan sebagainya di luar fungsi hutan. Kawasan hutan yang berfungsi sebagai fungsi perlindungan lingkungan dan pengawetan keanekaragama hayati (hutan lindung dan hutan konservasi) adalah seluas 107.342 hektar; sedangkan kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai kawasan budidaya hutan (hutan produksi) adalah 36.266, 27 hektar. (status lingkungan hidup daerah Kabupaten Kaur, 2007)

Sayang, pemerintah kabupaten Kaur hanya tidur melihat persoalan besar yang akan mengancam kabuapaten ini, berdasarkan data 16 nama perusahaan swasta baik perkebunan maupun pertambangan yang telah memegang izin prinsip yang dikeluarkan pemerintah daerah, melihat Sk. izin lokasi total yang akan dikuasai oleh perusahaan ini adalah 125.618 Ha. Dari data ini dapat dilihat bahwa total luasan yang diberikan kepada perusahaan melebihi APL atau areal kelola masyarakat. Jika rencana semua perusahaan ini berjalan mulus maka Kabupaten Kaur akan kehilangan seluruh APL (areal kelola masyarakat) semuanya, bahkan sampai kawasan hutan.

Dampak Sosial

Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit dan pertambangan memang menyediakan kesempatan kerja , namun sistem perkebunan dan pertambangan akan menjadikan petani dan buruh perkebunan tak ubah seperti perbudakan.

Kelapa sawit membutuhkan sekitar 5-7 tahun untuk berbuah. Artinya masyarakat yang bekerja akan mendapatkan bayaran kisaran 30 ribu per hari. Sementara lahan mereka belum menghasilkan namun membutuhkan pupuk dan pestisida, yang dibeli dari perusahaan kelapa sawit. Saat perkebunan mereka mulai berproduksi, pendapatan umum untuk lahan seluas 2 hektar adalah 900ribu per bulan.

Padahal kalau masyarakat mengelola sendiri areal kelolanya seperti karet, Kopi, Lada, cengkeh menghasilkan 500 ribu - 1,5 jt per bulan (data luas areal perkebunan, produksi, produktivitas, jumlah petani dan wujud produktivitas tanaman tahunan menurut jenis usaha tahun 2010) belum lagi ditambah palawija dan padi. Peluang dan kesempatan ini akan menjadi tinggal kenangan jika pemerintah tetap pada pendirianya memaksakan investor berjalan dan inilah bukti nyata bahwa pemerintah lebih pada memikirkan investor dibandingkan masyarakat lokal, yang merupakan program terbaik pemerintah memiskinkan masyarakat

Dampak Ekologis

Kalau saja kita berani berhitung, sebenarnya pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan tidak akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat setempat. Apa yang dilakukan justeru akan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal di masyarakat. Karena lahan akan dikuasai oleh swasta.

Penelitian yang dilakukan Yayasan Telapak Indonesia tahun 2000 misalnya menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah juru selamat, tetapi bencana bagi sumber daya alam dan rakyat, khususnya masyarakat adat. Sebagai contoh, pembukaan lahan perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan adalah penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian negara tidak kurang dari US$ 9,3 juta. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit merampas akses dan

penguasaan tanah-tanah oleh masyarakat adat.

Sebuah penelitian lain yang dilakukan Paulus Florus (1999) juga menyimpulkan, bahwa pendapatan tidak tunai penduduk seperti sayuran, padi, umbi-umbian, jagung, kayu bakar, tanaman obat dan lauk pauk (di darat dan di sungai/danau) menjadi hilang ketika seluruh hutan dan areal pertanian dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Dengan perhitungan lengkap, keluarga petani sebenarnya justru mengalami penurunan pendapatan antara 40-60% bila mereka menjadi petani sawit. Artinya, yang untung bukan petani sawit, tetapi pengusaha dan para Bupati (sipil dan militer) yang berkolusi dengan perusahaan.

Masih menurut Florus, perkebunan sawit menghancurkan lingkungan, terutama tanah dan hutan. Akibatnya, pendapatan dan gizi masyarakat akan jauh menurun. Sebelum ada perkebunan sawit, hutan dan tanah yang subur menyediakan bahan makanan, seperti jamur, daun pakis, rebung, sagu, umbi-umbian, madu, bahan obat-obatan, serta aneka jenis binatang buruan di darat dan di sungai yang bisa dikonsumsi. Hutan juga menyediakan bahan untuk membuat pakaian dan berbagai perlengkapan rumah tangga.

PERKAWINAN TUNGGU TUBANG DAN PERKAWINAN AMBIK ANAK

A. Latar Belakang

Adat Tunggu Tubang adalah anak perempuan tertua dari suatu keluarga yang bertugas menunggu dan memelihara serta mengusahakan harta pusaka nenek moyang secara turun temurun. Dimana harta tersebut milik bersama dalam keluarga itu dan sebagai tempat berhimpun atau bermusyawarah anggota keluarga.

Adat Tunggu Tubang merupakan suatu adat yang terdapat pasa masyarakat Semende yang masih berlaku sampai sekarang dan berjalan secara turun temurun, dimana adanya yang terjadi di masyarakat ada yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam dan ada yang sudah menyimpang dari ajaran Islam tetapi masih berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat.

Perkawinan ambik anak, di dalam istilah bahasa asing disebut “Inlijfhuweliijk”. Secara umum, faktor penyebab terjadinya “Perkawinan Ambik Anak” di Kecamatan Pagar Alam ialah faktor adat yang menetapkan bahwa anak perempuan memiliki peranan yang dominan (besar) bagi seorang anak perempuan (istri) dalam suatu keluarga. Peranan yang besar ini dikaitkan dengan pemeliharaan keturunan orang tua dan penguasaan harta benda peninggalan orang tua. Untuk itu selalu diupayakan, agar si istri tetap tinggal di rumah orang tuanya sendiri.

B. Pengertian

1. Perkawinan Tunggu Tubang

Bentuk Perkawinan Tunggu Tubang

Ada dua macam bentuk perkawinan tunggu tubang, yaitu :

a. Perkawinan Tunggu Tubang Anak Tue

“Tubang” artinya tabung yang terbuat dari bambu yang mempunya tutup, kegunaannya untuk menyimpan bahan-bahan makanan sehari-hari. Kemudian tabung tersebut diterjemahkan kepada suatu tempat yang menampung bermacam-macam barang yang berlain-lainnan jenisnya.ut menjaga tabung itu jangan cepat rusak, maka kebiasaaannya tabung itu diletakkan di atas dapur yang masih kena asap api. Dengan demikian maka tunggu tubang diartikan menunggu tabung, maka disamakanlah tempat menampung berbagai bahan. Tunggu Tubang adalah nama jabatan yang diberikan kepada anak perempuan yang tertua sebagai pewaris harta pusaka dari orang tua.

Menurut Hilman Hadikosomo, SH dalam bukunya Ensiklopedia Hukum adat dan adat budaya Indonesia :

“Tunggu Tubang adalah anak wanita yang tertua yang menguasai semua harta warisan yang tidak terbagi-bagi, dalam penguasaan harta itu Tunggu Tubang diawasi dan dibantu oleh anak laki-laki tertua yang disebut payung jurai”

Di dusun Tanjung Agung Semende Darat Ulu orang yang berhak menduduki Tunggu Tubang adalah sebagai berikut :

- Anak perempuan yang tertua

- Apabila tidak ada anak perempuan, maka dipilih salah seorang anak laki-laki yang ada

- Apabila terjadi anak tunggal otomatis menjadi Tunggu Tubang

-

b. Perkawinan Tunggu Tubang Ngangkit

Perkawinan Tunggu Tubang Ngangkit ini sama keadaannya dengan Tunggu Tubang Anak Tue, hanya saja perbedaannya Tunggu Tubang ini terjadi apabila tidak ada anak perempuan, hanya mempunyai beberapa orang anak laki-laki di mana dalam perkawinan ini isteri harus ikut suami dan statusnya sama dengan Tunggu Tubang Anak Tue.

Bentuk-bentuk perkawinan tunggu tubang yang penulis uraikan di atas dapat dipecah lagi menjadi empat macam :

a. Tunggu tubang ulat junjung

Tunggu tubang ini adalah suatu jabatan tunggu tubang yang telah menduduki keturunan kedua atau lebih (turun temurun).

b. Tunggu tubang tihi

Tunggu tubang ini adalah suatu jabatan tunggu tubang yang baru satu kali atau dua kali (belum turun temurun).

c. Tunggu tubang tugane

Tunggu tubang tugane adalah suatu jabatan tunggu tubang yang betul-betul menuruti dan menjalankan tuagsnya sebagaimana yang telah ditentukan oleh peraturan tata tertib tunggu tubang.

d. Tunggu tubang ngancur kapur

Tunggu tubang ini adalah suatu jabatan tunggu tubang yang tidak menuruti ketentuan tata tertib tunggu tubang, dan tidak menjalankan tugas dengan sempurna, yakni tidak menuruti adat yang semestinya.

Hak dan Kewajiban Tunggu Tubang

Orang yang menjadi tunggu tubang mempunyai hak sebagai berikut :

1) Memakai dan mengambil manfaat yang tidak ada batasnya, yakni rumah dan sawah

2) Mempunyai hak untuk memperbaiki pusaka tunggu tubang

3) Mempunyai hak suara dalam rapat keluarga (Nunggalkah apik jurai).

Di samping yang tersebut di atas, tunggu tubang juga berkewajiban :

1) Memelihara sebaik-baiknya pusaka tunggu tubang

2) Memelihara nenek sampai ke atas yang ada dalam rumah tunggu tubang tersebut.

3) Memelihara saudara-saudara dari isteri, baik laki-laki atau perempuan asal saja belum kawin.

Dasar-Dasar Tunggu Tubang

Orang yang menjadi tunggu tubang harus mengamalkan dasar-dasar tunggu tubang. Dasar tunggu tubang itu adalah :

a. Memegang pusat “jale” (jala), yang artinya bila dikipaskan batu jale itu bertaburan dan apabila ditarik kembali bersatu. Dengan kata lain, menghimpun semua sanak famili, baik yang jauh maupun yang dekat

b. Memegang kapak, artinya segala pengurusan tidak boleh berbeda-beda antara kedua belah pihak, baik dari pihak suami ataupun dari pihak isteri. Yang keduanya itu harus adil, tidak boleh berat sebelah.

c. Harus bersifat tombak (balau), yang artinya kalau dipanggil atau diperintahkan harus segera melaksanakan, yang menurut kebiasaannya, perintah itu datang dari “Entue Meraje”.

d. Harus bersifat guci yang artinya orang yang menjadi tunggu tubang harus tabah dalam menghadapi segala macam persoalan yang menimpa diri mereka.

e. Memelihara kolam (tebat) yang artinya menggambar ketenangan dan ketentraman dalam rumah tangga, tidak membocorkan rahasia rumah tangga. Walaupun ada problem dalam rumah tangga, harus dijaga jangan sampai bocoro diketahui oleh semua ahli tunggu tubang, terutama kepada “Entue Meraje”. Kesemuanya ini harus dijaga dengan sebaik-baiknya.

2. Perkawinan Ambik Anak

Ada beberapa macam bentuk perkawinan Ambik Anak, yaitu :

a. Perkawinan Ambik Anak dengan Cara “Di tunakka”

Faktor penyebab ialah tidak adanya seorang anak perempuan dalam suatu keluarga, padahal yang dominan dalam suatu keluarga adalah anak perempuan. Oleh karena itu, keluarga laki-laki mengambil seorang anak perempuan dari keluarga lain, agar menjadi menanti dan sekaligus memiliki peranan yang besar dalam keluarga yang baru, si wanita tadi harus rela melepaskan diri dari orang tuanya dari segi hubungan pewarisan. Dengan demikian, di istri terikat dengan keluarga suaminya.

b. Perkawinan Ambik Anak dengan Cara “Penantian”

Faktor penyebab ialah adalah seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki dalam suatu keluarga. pada perkawinan ini, si istri untuk sementara waktu harus berperan penting dalam keluarga dan dalam penguasaan harta benda orang tuanya. Oleh karena itu, keadaan ini dimungkinkan jika si istri masih memiliki adik (saudara) laki-laki yang belum menikah. Selama saudara laki-laki si istri itu belum menikah, selama itu pula ia belum boleh keluar dari lingkungan keluarga orang tuanya. Setelah saudara laku-lakinya itu menikah, barulah ia boleh melepaskan peranannya yang besar dalam lingkungan keluarga orang tuanya itu. Untuk selanjutnya, ia bersama suaminya boleh pindah ke tempat lain sesuai dengan kehendak mereka. Maka peranannya digantikan oleh istri saudara laki-lakinya tadi. Dengan demikian si suami terikat dengan keluarga istrinya untuk sementara waktu.

c. Perkawinan Ambik Anak dengan Cara “Tunggu Jurai”

Faktor penyebabnya ialah adanya harta peninggalan dari orang tua yang tidak dapat dibagi-bagi. Harta peninggalan tersebut harus dimiliki dan dikuasai oleh seorang anak perempuan. Untuk itu, peranan anak perempuan tetap harus besar, meskipun ia telah menika. Ia harus dapat “menunggui” (menjaga dan memelihara) keturunan dan harta benda peninggalan orang tuanya. Apabila ia telah bersuami, maka suaminya itu harus tinggal bersamanya dan terikat dengan keluarga pihak istrinya.

d. Perkawinan Ambik Anak dengan Cara “Semendean”

Faktor penyebabnya ialah karena si suami dan si istri mempunyai peranan yang harus dipegangnya dalam keluarga orang tuanya masing-masing. Oleh karena itu, suami istri tersebut boleh memilih untuk ikut keluarga si suami atau ikut keluarga si istri. Keduanya tidak dipaksa untuk terikat pada salah satu keluarga. Hubungan antara kedua keluarganya bersifat seimbang atau “Semendean”.

Akibat Perkawinan Ambik Anak

Adapun akibat dari Perkawinan Ambik Anak ada dua, yaitu :

1. Akibat Terhadap Pewarisan

Perkawinan Ambik Anak membawa akibat terhadap kehidupan keluarga. Dalam Perkawinan Ambik Anak, seorang suami harus memenuhi segala ketentuan yang berlaku di dusun tempat tinggalnya bersama istri yang merupakan tempat tinggal keluarga isterinya, sebagaimana dikemukakan bahwa yang dominan dalam rumah tangga ialah si isteri.

Sebagai akibat dari Perkawinan Ambik Anak, maka ada sedikit prerbedaan peranan antara suami dan isteri. Suami tetap berkedudukan sebagai kepala keluarga, namun ia tidak begitu dominan dalam penguasaan harta benda. Sedangkan isteri juga tetap berperan dalam penguasaan sebagai ibu rumah tangga sekaligus memiliki dan menguasai harta benda peninggalan orang tua.

Berdasarkan peranan isteri seperti itu, maka harta benda dalam Perkawinan Ambik Anak semuanya dimiliki oleh isteri. Meskipun demikian, setelah berumah tangga, ada pula harta benda yang disebut “harta bersama”. Kedua macam harta tersebut berbeda dalam hal orang yang berhak menerimanya sebagai harta warisan. Penjelasan tentang harta tersebut adalah sebagai berikut :

a. Harta yang dimiliki oleh isteri

Harta semacam ini hanya diwariskan kepada anak perempuan yang menunggu atau tinggal di rumah orang tuanya. Selain dia, menurut adat tidak berhak menerimanya. Harta tersebut memang tidak untuk dibagi-bagikan, tetapi hanya untuk diambil manfaatnya.

b. Harta bersama

Harta ini dapat diwariskan kepada semua orang yang berhak menerimanya. Jika suami meninggal, maka yang berhak menerima warisan ialah isteri, anak-anak, bapak ibu dan ahli waris lainnya. Demikian pula halnya jika isteri yang meninggal maka yang berhak menerima warisan ialah suami, anak-anak, bapak, ibu dan ahli waris lainnya.

2. Akibat Terhadap Hubungan dengan Orang Tua

Perkawinan Ambik Anak selain berakibat terhadap pembagian harta waris bagi anak-anak, juga berakibat terhadap sistem kekeluargaaan. Seorang suami atau isteri terlepas hak dan tanggung jawabnya terhadap keluarga orang tuanya, sehingga berakibat pula terhadap hak warisnya dari orang tuanya itu. Seorang suami umpamanya, tidak berhak lagi atas warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.

Hubungan keluarga antara seorang anak laki-laki dengan orang tuanya masih tetap berlangsung, walaupun sebagai akibat dari Perkawinan Ambik Anak yang dilakukannya, ia tidak mempunyai hubungan yang menyangkut harta waris.

Dari segi tanggung jawab terhadap orang tua, mungkin sekali seorang anak tidak akan dapat memikul secara penuh, karena ia telah berkeluarga. Meskipun demikian, ia harus tetap berusaha untuk berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Sedapat mungkin ia menyempatkan diri untuk berkunjung kepada kedua orang tuanya itu untuk mengetahui keadaannya. Dari segi ini, tampaknya masih dapat dikatakan sesuai dengan ajaran Islam.

Pemutusan hubungan pewarisan antara orang tua dan anaknya yang melakukan Perkawinan Ambik Anak merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Menurut syariat Islam, hubungan waris mewarisi antara orang tua dan anaknya tetap berlaku dan wajib dilaksanakan. Pengecualian hanya ada, jika terdapat pegnhalang bagi salah satu untuk mewarisi harta peninggalan.

di ambil dari hasil skripsi : Anonim

SEJARAH KAUR (ASAL MULA BINTUHAN)

Kini Nama ”Bintuhan” Merupakan ibukota Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu.
Dulu Bintuhan Ibukota Kecamatan Kaur Selatan,Kabupaten Bengkulu Selatan Provinsi Bengkulu.

KONON Dahulu kala cerita nya : BINTUHAN berasal Kata Bin”tuan yang mana dahulu Masyarakatnya / warga nya banyak terserang wabah penyakit BINTUK (kini Pilek),penyakit ini mewabah hampir keseluruh Kewedanaan Kaur(zaman Belanda)sehingga masyarakat menyebutnya penyakit BINTUK..karena semua masyarakat merata banyak terkena penyakit ini dan disebut= Bintuan.
Tapi Asal Penyakit ini DULU disebabkan oleh Virus Atau Bakteri apa Masyarakat tidak / belum mengetahui,(Kini Depkes sudah tahu Penyebabnya).

Karena Perkembangan zaman akhirnya orang daerah lain datang/bekunjung dan di tanya mau kemana? Mereka menjawab mau ke daerah ini dan menyebut : ke BINTUAN...lama kelamaan karena Ejaan Yang Disempurnakan (Bahasa Indonesia) dan memperhalus bahasa di ganti lah Nama daerah ini dengan Nama BINTUHAN.

Kisah Ini Saya dapat Cerita dari tokoh Masyarakat Bintuhan (Waktu itu Kecamatan Kaur selatan) dan kisah ini hanya sepengetahuan saya karena saya di lahirkan di Bintuhan Tahun 1971, jika ada Tambo atau Kisah Sebenarnya saya Penulis (THABRANI SAKILA dalam group FB BINTUHAN INDONESIA) belum mengetahui,oleh sebab ini kita perlu melihat data dan mengumpulkan Informasi sebagai bahan sejarah nama Bintuhan yang ada untuk Kita Ketauhi bersama di Kabupaten Kaur.

Adapun seingat kami penulis sekitar tahun 80an kira-kira Cuma ada tiga Kecamatan : Kecamatan Kaur Utara di padang Guci. Kecamatan Kaur Tengah di Tanjung Iman, Kecamatan Kaur Selatan di BINTUHAN.

Nama Bintuhan Ini Cukup Unik kalau kita Cermati dan Kaji secara logika keagaamaan Islam bermakna BIN artinya ANAK,sedangkan TUHAN=ALLAH (TUHAN YANG ESA) Pencipta seisi Langit dan Bumi.
Jadi Arti Keseluruhan Bintuhan secara Logika = AnakTuhan.
Jangan diartikan Masyarakat / Warga Bintuhan sebagai Anak Tuhan Salah Besar Tuhan Tidak Beranak dan Tidak Diperanakan,(Tuhan Maha Esa).

Tapi Kalau Warganya / Masyarakat nya kini Sudah Bercampur Baur dari Berbagai Suku dan Ras dan sudah menjadi masyarakat yang Moderen karena sebagai Pusat Ibukota Kabupaten Kaur.
Nah..Mudah-mudahan Warganya / Masyarakat nya sesuai dengan namanya tetap berkeyakinan menjalankan Agama Islam sesuai dengan ajaranya dan tidak melupakan Kultur sejarah kebudayaan walaupun Zaman semakin Moderenisasi yang mengglobalisasi.amin....

Sekali lagi kita sama berharap mudah-mudahan BINTUHAN sebagai Ibukota Kabupaten Kaur tetap Berbenah Diri Membangun disegala sektor sehingga sejajar dengan Ibukota Kabupaten yang lain yang ada di Indonesia.

Penduduk Kaur terbentuk dari orang-orang yang berasal dari dataran tinggi Perbukitan Barisan, yaitu orang Rejang dan orang Pasemah (Palembang), orang Lampung, dan orang Minangkabau. Minangkabau yang masuk melalui Indrapura masuk sampai ke daerah Kaur (Bengkulu). Di sini mereka bercampur dengan kelompok lain yang berasal dari Palembang, sehingga membentuk suatu identitas baru, yaitu orang Kaur.

Misalnya, di Marga Muara Nasal (Kaur) sebagian penduduknya berasal dari Minangkabau. Menurut cerita rakyat, daerah pesisir pantai ini mulanya dihuni oleh suku Buai Harung (Waij Harung) dari landschap Haji (Karesidenan Palembang). Sejak sekitar abad ke-18, mereka mendirikan kolonisasi pertama di muara sungai Sambat yang selanjutnya berkembang sampai ke Muara Nasal. Akan tetapi, pada saat daerah itu diambil alih oleh orang-orang dari Pagaruyung yang masuk melalui Indrapura, sebagian dari mereka terdesak ke Lampung. Mereka bercampur dengan penduduk setempat sehingga dikenal sebagai orang Abung. Sebagian lain suku Buai Harung bercampur dengan orang Minangkabau dan menjadi orang Kaur.

Penduduk yang bermukim di Kaur juga merupakan percampuran antara orang dari sekitar Bengkulu dengan orang Pasemah. Misalnya, di dusun Muara Kinal (Marga Semidang), keberadaan penduduk dimulai dengan berdirinya pemukiman orang-orang dari sekitar Bengkulu (onderafdeeling Bengkulu). Pemukiman ini bergabung dengan pemukiman orang Gumai yang berasal dari Pasemah Lebar dan menjadi satu marga, yaitu marga Semidang Gumai.Pergerakan penduduk dari daerah sekitar menuju Bengkulu terus terjadi sampai sekitar abad ke-19, yaitu percampuran orang Pasemah dan orang Kaur yang dimulai dari kedatangan orang Pasemah yang mendirikan pemukiman di hulu sungai Air Tetap (Marga Ulu Tetap). Selanjutnya, mereka bergabung dengan orang Kaur yang bermukim di Marga Muara Tetap, dan gabungan dua marga ini menjadi Marga Tetap.

Di Kaur terdapat juga orang-orang dari daerah Semendo Darat dari Dataran Tinggi Palembang (Marga-marga Sindang Danau, Sungai Aro, dan Muara Sabung). Mereka bertempat tinggal di Muara Nasal, sekitar 15 km ke arah mudik dari Sungai Nasal, dan bernama Marga Ulu Nasal. Penduduk Marga Ulu Nasal terbentuk dari campuran orang-orang dari daerah Semendo Darat dan Mekakau (Palembang). Kemudian di daerah Manna terdapat orang Serawai, yang menurut legenda berasal dari Pasemah Lebar (Pagar Alam). Mereka berpindah dan bermukim di dusun Hulu Alas, Hulu Manna, Padang Guci, dan Ulu Kinal (daerah Manna). Daerah pantai Lais mendapatkan tambahan penduduk yang berasal dari Minangkabau. Kedatangan mereka diperkirakan berkaitan dengan kedatangan pangeran dari Minangkabau ke daerah orang Rejang dan mereka menjadi cikal bakal Kerajaan Sungai Lemau. Selain itu, di daerah pantai juga terdapat orang Melayu, mereka memiliki daerah pemukiman sendiri yang disebut dengan ‘pasar’ dan dipimpin oleh seorang datuk.

Di daerah pesisir orang Melayu juga bercampur dengan orang Rejang sehingga pemukiman-pemukiman orang Melayu ini masuk dalam pemerintahan marga. Meskipun demikian, dusun-dusun tersebut tetap dengan sebutannya ‘pasar’, seperti pasar Seblat, pasar Kerkap dan di pimpin oleh seorang datuk, tetapi dusun-dusun tersebut adalah bagian dari pemerintahan marga. Orang Rejang, orang Pasemah, orang Minangkabau, dan orang Lampung selanjutnya terikat dalam satu kesatuan wilayah, yaitu Keresidenan Bengkulu. Mereka tersebar di daerah-daerah Bengkulu sebagai berikut:

1). Kelompok orang Rejang sebagian besar bermukim di daerah Rejang dan Lebong, dan sebagian lain berada di pesisir pantai bagian sebelah Barat dari Bukit Barisan, Lembak Beliti di Selatan, Seblat dan sampai ke Sungai Ipuh di sebelah Utara.

2). Kelompok Orang Pasemah atau Midden Maleiers yang dapat dibedakan menjadi:

(a).Orang Pasemah bermukim di bagian hulu sungai Manna, Air Kinal, dan Air Tello, dan di daerah aliran sungai Kedurang, dan sungai Padang Guci.
(b)Orang Serawai berada di daerah Manna, Bengkulu-Seluma, dan Rejang.
(c) Orang Semendo berada di daerah muara sungai Sungai Luas (Kaur)

(d) Orang Mekakau bermukim di hulu Air Nasal (Kaur) dan di marga Way Tenong (Krui).

(e) Orang Kaur bertempat tinggal di pesisir pantai daerah Kaur
(f)Orang Lampung bertempat tinggal di marga Way Tenong, sebagian besar daerah Krui, dan di aliran sungai Nasal (Kaur).
(g)Orang Minangkabau, terutama berada di daerah Muko-Muko.
(sumber :http://ndrietheoutsiders.blogspot.com/2010/01/sejarah-kaur-asal-mula-bintuhan.html)