Kearifan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Suku semende (Tulisan 2)

2komentar

Proses pembukaan hutan dan pemanfaatan lahan dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan secara adat. Pembukaan hutan dan pemanfaatan lahan diawali dengan mencari hutan yang memenuhi persyaratan.

Pertama, lokasinya tidak jauh dari sungai yang besar. Hal ini sesuai dengan kebiasaan bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari tidak perlu membeli, seperti pemenuhan kebutuhan ikan. Itulah sebabnya orang Sumende selalu berusaha untuk memperhatikan kelestarian lingkungan sehingga debit air sungai tidak menurun. Stabilnya debit air ini memunculkan suatu mitos, yaitu tabu mengatakan “ada sumur kering”. Apabila ada sumur kering, maka masyarakat berpikiran akan terjadi suatu bencana. Mitos ini menjadi pedoman hidup orang Sumende untuk memperhatikan kelestarian lingkungan. Dalam pengelolaan sumber daya alam digunakan cara-cara yang arif agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan yang akhirnya mengakibatkan sumur menjadi kering.

Kedua, lahan dengan jenis tanah hitam yang banyak mengandung humus. Tanah yang berwarna keputih-putihan dan berpasir (regosol) dihindari karena merupakan jenis tanah yang tidak subur.

Ketiga, posisi lahan miring ke arah matahari terbit sehingga lebih cepat mendapatkan sinar matahari di pagi hari, sedangkan di siang dan sore hari tidak lagi disinari matahari sehingga tidak menyebabkan petani cepat kelelahan. Lahan yang juga memenuhi syarat, adalah: Lahan datar yang menghadap matahari; Agak bergembang (karena kumpulan humus); Lahan datar di bawah bukit (tulang pematang); serta Lahan yang tidak langsung terkena panas. Meskipun demikian, orang Sumende menghindari pembukaan hutan yang kemiringannya sangat tajam karena akan menimbulkan terjadinya erosi.

Keempat, hutan ditumbuhi pohon yang besar seperti pohon ndelong dan meranti. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa tumbuhnya pohon yang besar berarti memiliki akar yang dalam (panjang), dan ini pertanda unsur tanahnya tidak berbatu (cadas). Sehingga diperkirakan kesuburan tanah tidak hanya ada dipermukaan saja. Secara tradisional, lahan yang diyakini subur adalah yang ditumbuhi jenis tumbuhan tertentu, yaitu pohon kayu yang lembut (tenam, arah, kalup/meranti, marsawa, makasar, merambung) yang biasanya tumbuh di atas pematang, pepiu/cecabi dan lengkenai yang tumbuh di bawah pohon-pohon besar. Sedangkan semak dan belukar merupakan tanda bahwa lahan tersebut kurang subur. Melalui pengetahuan pemilihan lahan seperti ini menyebabkan orang Sumendo sangat terikat pada hutan dan tidak sembarangan membuka hutan. Setelah lahan yang memenuhi syarat diperoleh maka dilakukan pengukuran dan pembagian hutan sesuai dengan banyaknya anggota kelompok yang akan bersama-sama membuka hutan. Setelah tercapai kesepakatan tentang luas hutan yang akan dibuka, barulah pembukaan hutan dimulai. Pembukaan hutan tidak dapat dilakukan begitu saja melainkan ada aturannya. Pada masa pemerintahan Marga, membuka lahan harus seijin Pasirah untuk memperoleh Surat Pancung Alas. Selain ijin secara formal, juga ada tidak formal dengan meminta ijin kepada penghuni hutan yang di dalam bahasa daerahnya disebut bebesut. Bebesut dilakukan dengan cara membawa sedekah (biasanya memotong ayam) di atas lahan yang akan dibuka, membaca surat Al-Fatihah, dan diakhiri dengan makan bersama. Jadi bukan sedekah lepas yaitu dengan menaruh sedekah di lahan yang dituju. Apabila ijin telah diperoleh, barulah Kepala Tebang memulai pembukaan hutan. Hutan dibuka dengan terlebih dahulu memotong ranting dan dahan pohon yang besar, setelah itu dilakukan penebangan batang pohon. Tujuannya adalah agar ketika batang ditebang dan roboh, tidak akan mengenai pohon-pohon yang kecil yang ada di sekitarnya. Biasanya pohon-pohon kecil yang ada tidak semua ditebang. Pohon-pohon yang masih kecil ini akan bermanfaat untuk mempertahankan kesuburan tanah, mencegah erosi, dan mempercepat kembalinya kesuburan tanah ketika lahan tersebut diistirahatkan (bero). Jenis pohon biasanya disisakan atau tidak ditebang adalah pohon ndelong. Pohon ini terkenal cepat besar, sehingga lahan akan cepat menghutan. Penebangan dilakukan pada musim panas sehingga pohon yang telah tumbang dapat mengering, untuk selanjutnya dibakar. Untuk mempercepat pembakaran, cabang-cabang pohon dipotong-potong, ditumpuk dan dibiarkan kering oleh panas matahari. Pembakaran dilakukan untuk membersihkan daun-daun, ranting, cabang, dan sebagian batang, agar dapat dilakukan penanaman. Hasil yang diperoleh dari pembukaan hutan oleh orang Sumende bukan lahan yang bersih dari pepohonan.

Penebangan hutan biasanya dilakukan pada bulan April-Mei (musim panas). Pada bulan Juli dan Agustus dilakukan pembakaran dan pada bulan oktober dilakukan penanaman padi. Padi mulai ditanam ketika mulai tampak bintang Waluku. Padi yang ditanam adalah padi varietas lokal jenis tambun yang tingginya mencapai satu meter dan umurnya mencapai enam bulan. Setelah dua kali ditanami padi, maka untuk menjaga kesuburan tanah, lahan ditanami dengan tanaman lain seperti kopi. Ketika padi belum berbunga, di sela-sela tanaman padi ditanami kopi. Cara penanaman kopi seperti itu akan menyebabkan tanaman kopi bertahan hidup karena memperoleh embun dari tanaman padi, dan ketika padi sudah mulai di panen akar kopi sudah menguat. Orang-orang Sumende hanya sekali memanfaatkan lahan untuk ditanami padi, selebihnya lahan dijadikan kebun kopi. Sebelum kopi berumur 2 tahun, di sela-sela tanaman kopi ditanami palawija dan tanaman pembayang (pelindung) seperti dadap atau jengkol. Tanaman pembayang mulai ditanam ketika kopi mulai bercabang untuk pertama kalinya. Setelah berumur 2 tahun, kopi mulai berbunga perdana. Setelah hasil kopi mulai menurun, lahan tersebut ditinggalkan untuk diistirahatkan (bero). Biasanya dalam waktu 2-3 tahun lahan tersebut akan menghutan kembali karena dengan jenis pepohonan yang disisakan untuk tidak ditebang yaitu pohon ndelong, maka lahan cepatmenghutan kembali dan siap dibuka lagi.

Tata cara pembukaan hutan seperti ini kondusif bagi kelestarian hutan. Hanya saja tatacara ini sudah banyak ditinggalkan, salah satunya dipengaruhi digantikannya peran lembaga adat dengan lembaga formal (birokrasi pemerintah) untuk pembukaan hutan. Akibatnya keterikatan masyarakat Sumende terhadap nilai-nilai yang selama ini mengatur perilaku untuk membuka hutan mulai memudar.

Share this article :

+ komentar + 2 komentar

Oktober 31, 2012

Semoga Kearifan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Suku semende tetap tejaga dan pengelolaan SDA berkelanjutan hanya bisa dilakukan jika mengedepankan kearifan lokal..

Salam Hangat kunjungi balek ya http://www.loenbun.com

Oktober 31, 2012

Semoga Kearifan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Suku semende tetap tejaga dan pengelolaan SDA berkelanjutan hanya bisa dilakukan jika mengedepankan kearifan lokal..

Salam Hangat kunjungi balek ya http://www.loenbun.com

Posting Komentar
 
Kaur Semende Maje Nasal : Semende | imrodili | Surel
Copyright © 2010. KAUR SEMENDE - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger Published by Dracoola Media
Thanks To LoenBun