"Tunggu Tubang", Pewarisan Matrilineal Suku Semende

0 komentar

PAGI masih sangat dini, tetapi kesibukan di sebuah rumah di Desa Datar Lebar, Kecamatan Semende Darat Ulu, sekitar 100 kilometer dari kota Muara Enim, Sumatera Selatan, sudah dimulai.
RUMILASINAWATI (50) sibuk menjaga nyala kayu bakar di dalam tungku. Berulang kali dia meniupkan udara melalui sebatang bambu. Putrinya, Wahilah (27), sibuk mengaduk isi panci di atas tungku. Namun, aktivitasnya itu berulang kali dihentikan oleh tangisan Sariah, putrinya yang baru berusia dua pekan.
Mak Rum, Yu Wahilah, dan Sariah adalah tiga generasi perempuan yang akan mewarisi tradisi tunggu tubang dalam adat masyarakat Semende.
Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia terbitan LP3ES (1997) menyebutkan, Suku Semendo atau Semende berasal dari kata se yang berarti satu dan mende yang berarti induk atau ibu. Masyarakat suku ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Semende Darat yang bermukim di daerah Kabupaten Muara Enim, dan Semende Lembak yang bermukim di Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Tempat bermukim masyarakat Semendo adalah dataran tinggi yang diapit jajaran Pegunungan Bukit Barisan. Dari segi administratif, wilayah itu termasuk dalam Kecamatan Semende Darat Ulu, Semende Darat Laut, dan Semende Darat Tengah.
Desa Datar Lebar berada di salah satu sudut Kecamatan Semende Darat Ulu. Di sebelah utara terdapat Desa Cahaya Alam, desa terakhir sekaligus paling utara dari jajaran desa di kecamatan itu. Satu-satunya jalan aspal yang menuju ke Datar Lebar diapit oleh deretan rumah panggung.
Dengan tradisi tunggu tubang yang mereka anut, dalam ensiklopedi tersebut masyarakat Semendo dikategorikan sebagai salah satu penganut prinsip kekerabatan matrilineal, sebagaimana masyarakat Minangkabau.
"Sesuai dengan tradisi tunggu tubang, anak perempuan paling tua menjadi pemegang hak warisan keluarga. Warisan berupa rumah dan sawah itu tidak boleh dijual," papar Muhammad, suami Mak Rum.
Anak perempuan tertua mengacu ke anak perempuan pertama yang dilahirkan dalam keluarga. Artinya, bisa jadi anak perempuan tertua itu dalam urutan keluarga memiliki kakak laki-laki.
Tradisi yang telah berjalan selama ratusan tahun itu, lanjut Muhammad, bertujuan untuk memastikan bahwa harta keluarga berupa rumah dan sawah tetap bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota keluarga (jurai) dari generasi ke generasi.
Tradisi ini agaknya didasarkan pada filosofi bahwa perempuanlah yang melahirkan kehidupan dan berasal dari rahim, maka perempuan pula yang dipercaya untuk memeliharanya.
Mak Rum adalah pewaris tunggu tubang generasi ketiga. Rumah panggung yang ditempati keluarga itu adalah rumah warisan yang sejak dahulu kala juga ditempati oleh nenek buyut mereka. Status Muhammad sebagai menantu yang menikahi pewaris tunggu tubang mengharuskannya "mengalah", ikut tinggal di rumah warisan itu.
Sejumlah suku di Sumatera juga mengenal istilah semendo atau nyemendo. Dalam adat Orang Rimba, suku asli di Jambi, calon menantu laki-laki terlebih dulu diuji dengan mengabdi di keluarga pihak perempuan, sebelum para tetua mengizinkan mereka tinggal bersama.
Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi laki-laki Semendo yang ingin menyunting gadis pewaris tunggu tubang. Pihak laki-laki harus menyerahkan perbie atau mahar kepada pihak perempuan. Bisa berupa seekor kerbau atau sapi, perhiasan emas, dan peralatan rumah tangga.
"Persyaratan ini harus dipenuhi. Kalau sampai akad nikah pihak laki-laki tidak bisa memberikan persyaratan itu, dihitung utang," tutur Yu Wahilah.
TIDAK ada kepastian, sejak kapan tradisi tunggu tubang dijalankan oleh masyarakat Semendo. Para tetua di daerah itu menyebutkan daerah Semendo mulai dibuka sekitar tahun 1650. Syekh Nurqodim Al-Bahardin disebut sebagai pionir yang menurunkan masyarakat Semendo, yang mayoritas Muslim.
Thohlon Abdul Rauf dalam buku Jagad Basemah Lebar Semende Panjang (2001) menyebutkan, anak perempuan tertua sebagai pewaris tunggu tubang, harus mampu memaknai tugasnya sebagaimana yang disimbolkan dalam lambang adat Semendo.
Lambang itu terdiri atas guci yang yang berisi jala, kapak, tombak, dan ember penuh air. "Guci yang berisi berbagai peralatan itu, melambangkan seorang perempuan pewaris tunggu tubang harus mampu menyimpan segala rahasia keluarga, baik maupun aibnya," ujar Muhammad.
Sebagai anak perempuan tertua, dia harus bisa tahan terhadap segala masalah dan menjadi ujung tombak pertahanan keluarga. Jika terjadi masalah, ibarat kapak dia harus mampu menyelesaikannya secara adil, tidak berat sebelah. "Dia juga harus mampu seperti jaring yang menghimpun seluruh anggota keluarga," ucap Muhammad.
Ketika orangtuanya telah sepuh atau meninggal, pewaris tunggu tubang bertanggung jawab atas kesejahteraan adik- adiknya yang masih tinggal di rumah itu. Dia harus mengelola sawah, yang hasilnya digunakan untuk membiayai keperluan anggota keluarga.
Seandainya muncul permasalahan dalam keluarga, perempuan pewaris tunggu tubang harus mendengarkan pendapat saudara laki-lakinya. Anak laki-laki, dalam adat berkedudukan sebagai ahli meraje atau pihak yang dimintai pendapatnya atas suatu perkara. Biasanya keputusan atas masalah- masalah besar dilakukan oleh ahli meraje.
"Namun jika anggota keluarga yang beradik kakak itu jumlahnya banyak, bisa dilakukan perjanjian antarsaudara supaya tidak terjadi perselisihan tentang harta warisan yang lain," kata Muhammad.
MENJADI seorang pewaris tunggu tubang tidak membuat seorang perempuan Semendo menjadi istimewa dan berkuasa. Dalam kehidupan sehari-hari, selain harus mengurus rumah tangganya sendiri, perempuan pewaris tunggu tubang dibebani tanggung jawab mengelola sawah dan kebun kopi.
Kewajibannya sebagai penunggu rumah dan pengelola sawah warisan mengharuskan perempuan pewaris tunggu tubang "bertahan" di kampung halaman mereka. Namun, menurut Wahilah, perkembangan zaman memungkinkan bagi perempuan Semendo yang menjadi pewaris tunggu tubang untuk keluar dari rumah.
"Ada juga pewaris tunggu tubang yang tinggal di luar kampung karena bekerja. Tetapi, dia tetap harus mengupah orang untuk mengurus sawah, sedangkan rumah ditempati oleh anggota keluarganya," ungkap Wahilah.
Menurut Wahilah, hal semacam ini tidak dipandang sebagai pelanggaran karena tidak diatur secara ketat dalam adat.
Bagi perempuan-perempuan muda di Semendo, tradisi tunggu tubang di satu sisi menjadi semacam kungkungan baru untuk kemajuan mereka. Nasmah, misalnya, menyebutkan, kakak perempuannya yang menjadi pewaris tunggu tubang keberatan jika harus tinggal di kampung. "Katanya percuma sekolah tinggi-tinggi kalau hanya tinggal di rumah. Tetapi, kakak belum berani bilang ke ayah," ujarnya.
Tradisi tunggu tubang yang telah berjalan ratusan tahun berada di persimpangan pergulatan, antara mewujudkan aktualisasi diri dan menjalankan kewajiban adat bagi perempuan pewarisnya. (doty damayanti)

Sumber Surat kabar Kompas
Share this article :
 
Kaur Semende Maje Nasal : Semende | imrodili | Surel
Copyright © 2010. KAUR SEMENDE - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger Published by Dracoola Media
Thanks To LoenBun