Perihal harta waris dalam agama Islam mendapat tempat yang layak. Bahkan, pengajaran soal ini merupakan salah satu bagian yang wajib dipelajari kaum muslimin
Perihal waris yang merupakan salah satu hal yang rumit ini memang semestinya dipahami dengan baik. Sebab terkadang kita mendengar bahwa ada keluarga yang sampai ribut karena bertengkar soal harta warisan. Soal aturan dalam Islam bahwa laki-laki mendapatkan setengah dari harta, juga sering menjadi titik picu rumah tangga bertengkar. Apalagi jika anak dari ahli waris sudah berkeluarga. Hasutan dari pihak istri dan tuntutan anak-anak akan makin menambah runyam permasalahan.
Dalam konteks ini, dalam ada istiadat orang Semende, ada yang namanya tunggu tubang. Tunggu tubang ini merupakan sistem kekeluargaan di mana hal untuk menjadi pewaris jatuh kepada pihak perempuan tertua.
Ini disebabkan adat Semendo menganut garis keturunan dari pihak ibu atau yang disebut matrilineal.
Misalnya, seorang ayah memiliki tiga anak. Anak pertama atau si sulung berjenis kelamin laki-laki. Anak kedua perempuan serta anak ketiga
laki-laki. Nah, hak rumah dan tanah jatuh kepada anak perempuan yang urutannya kedua tadi. Akan tetapi, jika tidak ada anak perempuan bagaimana? Kalau ini yang terjadi, pewarisnya bisa diberikan kepada laki-laki tertua atau istri dari anak laki-laki tertua. Kalaupun masih ada yang perempuan, tetapi dia tidak mau, pilihan-pilihan tadi bisa jadi alternatif. Yang penting, jika syarat tidak ada perempuan dalam struktur anak dalam keluarga, semua harus dipecahkan dengan musyawarah, dengan mufakat, dengan pemusyawaratan. Jadinya demokratis. Pada titik inilah, letak demokratis adat dalam suku Semendo ini.
Umumnya orang Semendo mewariskan harta berupa tanah, sawah, dan rumah. Tanah di sini dalam artian yang bisa diusahakan secara produktif. Maka itu, terkenal bahwa orang Semendo itu punya banyak ladang, sawah, atau kebun. Bahkan, secara berseloroh, orang Semendo disebut "James Bond" atau jeme Semende besak di kebon. Maksudnya, orang Semendo besar di kebun.
Tanah yang ada ini harus diusahakan berproduksi, tidak boleh berhenti. Sebab, dari sinilah semua kebutuhan keluarga besar dipenuhi. Kenapa demikian? Karena, mereka yang mendapatkan tunggu tubang tidak boleh menjual harta dan rumah. Rumah itu akan menjadi rumah tua di mana anak beranak akan berkumpul jika ada acara besar keluarga. Rumah itu akan menjadi simbol bahwa bangunan itu menjadi benteng pertahanan terakhir dari semua garis keturunan. Tidak hanya itu juga, tanah yang ada dan terus berproduksi itu juga berguna kalau ada keluarga yang membutuhkan. Artinya, beban mereka yang menjadi tunggu tubang ini berat. Tanah dan rumah tidak boleh dijual, sementara mereka menghidupi keluarga sambil menjadi kepala keluarga jika ada yang membutuhkan uang. Bisa dikatakan wajib hukumnya bagi tunggu tubang untuk memenuhi semua kebutuhan sanak keluarganya. Contohnya begini. Keponakan tunggu tubang butuh biaya untuk sekolah sedangkan orang tua kandung sedang tidak punya uang. Dalam kondisi demikian, perempuan yang menjadi tunggu tubang itu wajib memberikan uang untuk kebutuhan keponakannya tersebut. Demikian pula jika ada yang membutuhkan.
Kalaupun ada persoalan keluarga yang mendesak dan demikian penting, perempuan yang menjadi tunggu tubang juga harus ikut memfasilitasi agar persoalan itu segera diselesaikan.
Secara umum demikianlah sekelumit yang dimaksud dengan tunggu tubang. Kini, sesuai dengan judul pada tulisan yang dibuat ini, apakah dengan mekanisme adat yang demikian, masih relevan dengan kehidupan di masa sekarang. Penulis akan memberikan beberapa di antaranya.
Pertama, kita harus tetap memandang bahwa yang namanya aturan agama adalah mutlak. Adat harus bersendikan syariat. Benarlah kata mereka yang bersuku bangsa Minangkabau, yang mengatakan bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat itu sendinya syariat, sedangkan syariat itu adanya di kitab Allah atau Alquran.
Maka, kalau ada orang Semendo yang dengan kuat memegang tradisi agama Islam dengan tidak menganut paham tunggu tubang, kita juga harus bisa memandangnya secara bijak, itu pilihan, dan kita harus menghormati. Akan tetapi, buat mereka yang berkukuh bahwa ini adat dan harus diikuti, juga tidak menjadi masalah. Apalagi, meskipun sudah modern, tetap saja kebanyakan orang Semendo tetap menganut adat ini. Kalaupun tidak secara saklek, tetap saja orang tua sudah berpesan bahwa tanah dan rumah yang mengelola si anu sambil menunjuk anak perempuan tertuanya.
Kedua, manfaat dari adanya rumah besar. Dengan ketiadaan hak dari tunggu tubang untuk menjual rumah dan tanah, berakibat pada terpeliharanya warisan yang bersejarah. Dengan adanya rumah tua, semua anak dan cucu masih dapat berkumpul. Rumah tua itulah yang menjadi perlambang bahwa meskipun sudah merantau jauh ke negara atau daerah lain, tetap ada satu rumah untuk berkumpul bersama. Inilah nikmatnya berkumpul bersama. Coba saja bandingkan dengan beberapa keluarga yang lain, yang begitu bapaknya meninggal, rumah dan tanah langsung dijual untuk dibagi-bagi. Akhirnya tidak ada lagi tempat untuk keluarga besar berkumpul. Lambang sejarah dalam keluarga juga hilang. Kenangan akan masa lalu tidak mampu lagi dihadirkan lantaran rumah sebagai simbolnya sudah hilang. Demikian pula dengan segenap peninggalan keluarga, mungkin foto, benda peninggalan, serta silsilah keluarga tidak ada lagi. Dari pengalaman penulis saja, kekerabatan orang Semendo ini cukup kuat. Ada bahkan seorang kerabat penulis yang membuat tembe. Tembe itu garis silsilah keluarga. Dari moyang hingga cicit. Sehingga, sampai ke masa yang akan datang, sampai ke beberapa garis keturunan, masih bisa dilacak siapa saja kerabat yang ada. Sebuah keuntungan yang luar biasa bukan, jika dilihat dari sisi aset keluarga. Dari sini, penulis beranggapan untuk masalah ini, ada baiknya adat ini dikembangkan. Semata-mata agar semua keluarga punya tempat untuk berkumpul.
Ketiga, pemecahan masalah juga mudah dilakukan. Adanya tanggung jawab yang besar dari tunggu tubang membuat permasalahan yang ada pada keluarga besar akan terpecahkan. Tentu saja harus melibatkan tetua dari keluarga, misalnya uwak atau paman. Sering juga kita mendengar bahwa ada keluarga yang sulit sekali untuk memecahkan persoalan lantaran tidak ada yang dituakan atau dimintakan saran. Dengan adanya tunggu tubang, terbuka peluang untuk memecahkan semua persoalan dalam rumah tangga.
Keempat, secara ekonomi, ada topangan. Dengan kewajiban untuk meneruskan kebun dan ladang yang ada, membawa pengaruh pada perekonomian keluarga besar. Memang bukan berarti keluarga yang menjadi tunggu tubang tidak bisa menikmati, dia tetap bisa menikmati, tetapi harus juga memikirkan masa depan pewarisnya.
Umumnya, dengan kebun kopi atau cengkih, bahkan kini cokelat, atau pula padi, secara ekonomi, keluarga tunggu tubang juga tidak kekurangan. Dengan berusaha, tentu dia akan berpikir untuk meneruskan harta dan tanah ini kepada anak perempuan berikutnya. Dari sini kita mendapat pelajaran bahwa adat ini juga "memaksa" orang tua untuk meninggalkan harta yang cukup. Tentu bukan dalam artian berpikir pragmatis soal harta, melainkan lebih kepada tanggung jawab bahwa begitu dia mati, rumah dan tanah tetap hars ada demi kelanjutan ekonomi keluarga. Model ini juga membawa pengaruh yang positif bahwa harta yang ada benar-benar pas peruntukkannya. Tidak dipakai untuk sesuatu yang mubazir. Atau, dijual untuk keperluan pribadi. Adanya aset ini penulis kira merupakan langkah maju dari berpikirnya orang-orang Semendo. Bahwa dia harus memikirkan betapa esok hari atau di tahun yang akan datang kehidupan akan sulit. Jika tidak ditinggalkan harta dan tanah--tentunya juga termaktub pemahaman agama dan moralitas yang baik--anak-cucu akan kesulitan dalam mengarungi kehidupan. Sebuah proses berpikir yang visioner dan sebaiknya memang harus terus dilakukan. Paling tidak dengan budaya tunggu tubang ini ada usaha agar ada yang ditinggalkan sepeninggal diri orang itu. Oleh sebab itu, dari sini saja, hemat penulis, tunggu tubang masih relevan untuk diteruskan. n
Sulmin Dulsari, warga Bandar Lampung bersuku Semende
Kutipan Dari Surat Kabar Lampung