Setiap masyarkat yang berbeda geografisnya akan mengembangkan pranata-pranata dan kelembagaan yang sesuai dengan kondisi geografisnya masing-masing sebagai salah satu strategi adaptasi dalam berproduksi dan berproduksi. Olah karana itu, menemulenali unsur-unsur sosial budaya suatu masyarakat sanagt epnting dalam prisosnpemberdayaan dan pemabanguana bagi mereka. Mengiangat setiap masyarkat memliki potendi keswadyaaan sendiri-sendiri yang dilandasi oleh latr belakang sosisl budaya yangunikdankhsusus serta kondisi ekologi dan geografis yag berbeda-beda.(lihat Mubyarto, 1994).
Pentingnya budaya lokal dalam proses pembangunan juga dikemukakan oleh colletta (1987), ada tiga alasan pokok mengenai pemenfaatan unsur-unsur budaya lokal dalam melaksanakan pembangunan bagi masyarakat setempat. Pertama, unsur-unsur budaya lokal mempunyai legitimasi tradisional dimata masyarakat binaan yang menjadi sasaran program pemberdayaan dan pembangunan. Kedua, unsur-unsur budaya secara simbolis merupakan untuk komunikasi paling berharga dari penduduk setempat.ketiga,unsur-unsur budaya
mempunyai aneka ragam fungsi (baik yang terwujud maupun yang terpendam) yang sering menjadikannya sebagai sarana yang paling berguna untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak pada permukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud saja (lihat juga Dive, 1985).
Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya, biasanya berupa larangan-larangan (tabu-tab) yang mengatur hubungan sosial maupun hubungan manusia dengan lingkungan Alamnya. Kearifan lokal berfungsi untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan “aset” yang dimiliki suatu masyarakat sehingga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari generasi kegenerasi berikutnya, tanpa harus merusak atau menghabiskan “aset” tersebut. Oleh sebab itu, kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Hal ini merupakan wujud dari kesadaran trehadap hukum kausalitas(sebab-akibat) dan pemahaman terhadap hubungan yang bersifat simbiosis mtualis.
Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya, biasanya berupa larangan-larangan (tabu-tab) yang mengatur hubungan sosial maupun hubungan manusia dengan lingkungan Alamnya. Kearifan lokal berfungsi untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan “aset” yang dimiliki suatu masyarakat sehingga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari generasi kegenerasi berikutnya, tanpa harus merusak atau menghabiskan “aset” tersebut. Oleh sebab itu, kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Hal ini merupakan wujud dari kesadaran trehadap hukum kausalitas(sebab-akibat) dan pemahaman terhadap hubungan yang bersifat simbiosis mtualis.
Setiap masyarakat akan mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya maupun lingkungan alamnya serta sistem pengetahuan yang dimilikinya. Berikut beberapa contoh kearifan lokal yang terdapat pada beberapa etnis di Bengkulu, seperti: Eknik Rejang yang dikenal sejak nenek moyangnya dahulu merupakan masyarakat yang bersomisili di tepian hutan, telah mengembangkan kearifan lokal untuk menjaga kelestarian hutan, berupa zonasi hutan (imbo-lem/hutan dalam-imbo u’ai atau hutan muda – penggea imbo atau hutan pinggiran), aturan-aturan tentang penanaman dan penebangan kayu, serta tata cara pembukaan ladang (lihat tjahjono, dkk, 1999).
Sedangkan etnik Serawaiyang diokenal sebagai tipikal masyarakat peladang, telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang sedemikian. Menurut penjelasan, semula asa sekitar 20 jenis pantangan yang disebut celako humo atau cacat humo ini, namun dalam perkembangandewasa hanya tinggal sekitar 7 jenis yang masih dipertahankan, yaitu: ulu tulung buntu, sepelancar perahu, kijang ngulangi tai, macan merunggu, sepit panggang, bapak menunggu anak, dan nunggu sangkup. Bagi suku bangsa Serawai alasan yang melatar belakangi tabu-tabu celako humo dipahami secara transendental dalam bentuk justification: bahwa siapa yang melanggar pantangan tersebut akan terkena penyakit atau hasil ladangnya akan gagal. Substansi norma-norma yang terkandung didalam celako humo selaain mengandung aturan-aturan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup (dimensi ekologis), juga mengandung etika sosial yang menempatkan sesorang pada kedudukan sosialnya. (lihat tjahjono,). Demikian pula pada etnik Enggano yang berdomisili di wilayah berekosistem pulau/pesisir mempunyai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kelautan, seperti aturan cara penangkapan ikan, lola’ (keong laut), teripang dan pelestarian terumbu karang (lihat tjahjono, 1995).
Sedangkan etnik Serawaiyang diokenal sebagai tipikal masyarakat peladang, telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang sedemikian. Menurut penjelasan, semula asa sekitar 20 jenis pantangan yang disebut celako humo atau cacat humo ini, namun dalam perkembangandewasa hanya tinggal sekitar 7 jenis yang masih dipertahankan, yaitu: ulu tulung buntu, sepelancar perahu, kijang ngulangi tai, macan merunggu, sepit panggang, bapak menunggu anak, dan nunggu sangkup. Bagi suku bangsa Serawai alasan yang melatar belakangi tabu-tabu celako humo dipahami secara transendental dalam bentuk justification: bahwa siapa yang melanggar pantangan tersebut akan terkena penyakit atau hasil ladangnya akan gagal. Substansi norma-norma yang terkandung didalam celako humo selaain mengandung aturan-aturan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup (dimensi ekologis), juga mengandung etika sosial yang menempatkan sesorang pada kedudukan sosialnya. (lihat tjahjono,). Demikian pula pada etnik Enggano yang berdomisili di wilayah berekosistem pulau/pesisir mempunyai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kelautan, seperti aturan cara penangkapan ikan, lola’ (keong laut), teripang dan pelestarian terumbu karang (lihat tjahjono, 1995).