Banyak lulusan Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), menganggur pasca menyelesaikan studynya. Berburu peluang menjadi Pegawai Negeri, salah satu penyebabnya. Jika tak lewat, mereka memilih menganggur sampai dibuka kembali formasi pekerjaan “keramat” itu.
Bagi sebagian masyarakat ‘tradisional’ di Indonesia, rekrutmen PNS dipandang sebagai indikator bahwa perekonomian bagus karena negara mampu membiayai dan mempekerjakan banyak orang. Di beberapa tempat, banyak yang rela menjual tanah dan sawah agar anak-anaknya bisa bersekolah dengan harapan agar menjadi PNS.
Sebagian lagi, ingin menjadi PNS justru karena meyakini akan adanya peluang korupsi, ‘posisi yang basah’. Bagi PNS yang berkategori ini (dan ini bukan abdi rakyat) cenderung akan menggunakan seribu satu cara agar dapat diterima, termasuk dengan membayar. Uang sogok tadi dianggap modal dasar untuk dikembalikan nanti di kemudian hari, apabila telah punya NIP, dan dengan cara bagaimana pun. Sudah lazim memang dikatakan orang bahwa seleksi menjadi PNS itu sangat diwarnai peluang KKN. Sejumlah orang dalam, terutama yang berada di dalam atau dekat dengan lingkaran biro kepegawaian, disinyalir memainkan posisi tawarnya untuk mencari untung pribadi. Sekian juta tarifnya, bayar di depan, itu pun tanpa jaminan lulus. Banyak yang kapok dengan praktek buruk ini, apalagi mereka yang sempat tertipu, sampai menjual kebun atau apa.
Anehnya lagi, banyak orang yang rela membuang-buang hartanya demi PNS ! Banyak dari mereka rela mengeluarkan uang hingga seratus juta rupiah ! (masuk logika gak?), walaupun sekarang seleksi penerimaan PNS sudah lebih baik dari yang dulu-dulu, tetapi masih banyak orang yang goblok, di bumi pertiwi ini. “Berapa habis,”? atau “Siapa atau ada gak orang dalam,”? Itulah opini publik atau suara spontan dari masyarakat terhadap proses penerimaan PNS.
Saya heran akan motivasi yang begitu tinggi untuk menjadi PNS di tengah kondisi di atas, di mana kompetensi kurang dihargai, korupsi yang begitu parah, nepotisme yang sudah menjadi budaya dan not to mention the low salary. Kalau dipikir dengan hukum ekonomi kayanya gak make sense sama sekali. Karena pengorbanan yang harus dikeluarkan besar sekali, untuk pekerjaan yang …
Akibatnya, bagi sebagian orang, praktek buruk ini telah menjadi faktor penyangkal (repellent factor) di mata calon-calon abdi rakyat yang baik-baik dan bermutu tinggi untuk berkarir sebagai abdi rakyat. Banyak lulusan pendidikan tinggi yang berkualitas secara a priori telah alergi lebih dahulu sebelum mencoba.
Karena sejumlah praktek buruk tadi, kesan tentang PNS di mata rakyat umum sering kali sangat miring atau negatif. Sebagian elemen masyarakat bahkan dengan ikhlas menisbatkan korupsi kepada semua abdi rakyat, tanpa pandang bulu. Apalagi dalam keseharian, ketika berurusan dengan birokrasi dari mulai kelurahan hingga yang paling tinggi, ternyata banyak saja PNS, apakah disebut oknum atau bukan, yang dengan tegas dan tega menentukan tarif atas sebuah pelayanan yang tidak ada ketentuan hukumnya. Padahal, ketika ia telah digaji, semestinya semua itu tidak lagi perlu.
Menurut analisis R. Mangun seperti yang pernah ditulisnya dalam sebuah artikel yang diterbitkan Harian Kompas, masyarakat kita masih mewarisi mental inlander dari jaman kolonial dulu, di mana orang dididik untuk menjadi patuh dan taat pada pemerintah sehingga bisa menjadi ambtenaar (PNS di jaman kolonial). Menjadi ambtenaar itu jabatan terhormat di masyarakat waktu itu, dan rupanya masih terbawa hingga sekarang.
Yang juga masih terbawa adalah paradigma bahwa mereka adalah bagian dari kekuasaan (penguasa), bukan pelayan rakyat atau pembayar pajak. Berdasarkan sebuah penelitian tentang cita-cita pelajar di dunia. Di Amrik, jika ditanya cita-citanya, para pelajar di sana mengatakan mereka ingin menjadi pengusaha, eksekutif perusaahaan multi nasional, pengacara, dll. Di Iran, pelajarnya ingin menjadi ulama dan tokoh syiah. Di Indonesia, pelajarnya ingin menjadi PNS.
Dan jika seandainya jumlah PNS dikurangi dan rekrutmen dibatasi, image pemerintah di mata rakyat akan anjlok. Dampak lainnya, bisa jadi angka partisipasi pendidikan akan menurun. Dalam skala yang lebih akut, hal ini bisa menyebabkan destabilisasi mata uang rupiah akibat merosotnya kepercayaan kepada pemerintah.
Sebagian besar PNS di negeri ini pendidikannya SMA (35%) sementara yang Sarjana hanya 28,9%. Lebih menyedihkan lagi, PNS bergelar S2 dan S3 hanya 2,5% dan 0,2% saja. Artinya, selain jumlahnya besar, kualitasnya pun masih perlu dipertanyakan. Terlebih lagi, ongkos yang dikeluarkan untuk menggaji mereka begitu mahal—-lebih dari Rp 100 triliun per tahun.
Andaikata saya adalah pemerintah, maka birokrasi yang efisien adalah prioritas pertama saya. Selama ini permasalahan tersebut tidak pernah mendapat sorotan yang memadai dan hanya menjadi wacana. Agar tak hanya jadi sekedar polemik, kebijakan tersebut harus di-lock dengan konstitusi. Memang tidak ada jaminan presiden selanjutnya akan meneruskan program ini, namun setidaknya program ini bisa lebih menggigit. Memang tidak ada jaminan program ini akan berhasil 100%, namun setidaknya rakyat bisa menilai dengan lebih proporsional.
Kita bukan negara yang kaya sehingga uang yang ada harus dibelanjakan dengan ketat dan tepat. Selain itu, untuk menjadi negara yang lebih baik, pegawainya juga harus kompeten dan tidak korup. Dan salah satu jalan yang paling logis adalah efisiensi birokrasi.
Jadi pada intinya, PNS bukan satu-satunya tempat untuk menerapkan ilmu dan mencari makan. Masih banyak kesempatan dan ruang untuk membuat usaha sendiri. Tak mudah memang. Tapi bukannya tak mungkin, kan?
Sumber :http://www.facebook.com/note.php?note_id=154770737298