Tab-menu

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

KEPADA PEMERINTAH INDONESIA: Segera Laksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan Sahkan RUU Masyarakat Adat

Pada tanggal 16 Mei 2013 yang lalu, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah membacakan keputusan atas Judicial Review terhadap UU 41/1999 tentang Kehutanan yang diajukan oleh AMAN dan 2 Komunitas masyarakat adat. Dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat.
Masyarakat adat di seluruh Indonesia menyambut gembira Putusan MK tersebut dengan melakukan pemasangan plang di wilayah adat secara serentak. Plang itu bertuliskan: “Hutan adat bukan lagi hutan Negara. Masyarakat adat melaksanakan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012”. Selain melakukan pemasangan plang, masyarakat adat juga memulai gerakan rehabilitasi wilayah adat yang telah rusak oleh aktivitas perusahaan pemegang ijin dari Negara.
Sudah 4 bulan berlalu sejak Putusan MK 35/PUU-X/2012 itu dibacakan oleh Mahkamah Konstusi. Namun belum kelihatan langkah konkrit pemerintah untuk melaksanakan Putusan MK tersebut. Surat Edaran Menteri Kehutanan No SE.1/Menhut-II/2013 tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Dinas Kehutanan seluruh Indonesia menegaskan bahwa penetapan kawasan hutan adat tetap berada pada Menteri Kehutanan. Surat Edaran tersebut mensyaratkan Peraturan Daerah untuk untuk penetapan kasawan hutan adat oleh Menhut.
Jika demikian, pengukuhan hutan adat masih sangat panjang sementara proses pelepasan dan konversi kawasan hutan bagi kepentingan industri masih marak dilakukan. Sehingga Keadilan bagi masyarakat adat terus menerus terbaikan.
Oleh karena itu:

Kami menegaskan bahwa masyarakat adat memiliki hak penuh atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, termasuk atas hutan adat. Pengakuan terhadap hak-hak ini, merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi yang melekat pada masyarakat adat dan dijamin oleh UUD 1945.
Kami menyambut baik dan mendukung Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan kembali bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara.
Kami mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 baik di tingkat nasional maupun daerah. Kami juga menuntut DPR RI untuk segera mengesahkan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat.
Kami mendukung sepenuhnya upaya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bekerja sama dengan gerakan masyarakat sipil lainnya dan siapapun untuk memastikan terpenuhinya hak-hak konstitusional masyarakat adat di Indonesia

AKSARA SUMATERA SELATAN “KAGANGA”




Kepulauan Sumatera pernah didatangi bangsa Yunan dari daratan Indo-Cina pada abad Sebelum Masehi. Bangsa ini sebelum datang secara besar-besaran, mereka masuk Nusantara dengan kelompok-kelompok kecil.

Mereka membawa berbagai kebudayaan antara lain falsafah/ajaran Buddha dan aksara/tulisan kaganga. Di Sumatera bagian selatan, khususnya di Sumatera Selatan, aksara kaganga dikenal dengan nama tulisan ulu dalam wilayah pedalaman Batanghari Sembilan di Jambi, dikenal dengan nama tulisan encong, di Aceh dengan tulisan rencong, di Sumatera Utara/Batak dengan tulisan pustaha/tapanuli.
Di wilayah kepulauan nusantara ini yang memakai tulisan kaganga hanya di Pulau Sumatera dan Sulawesi (ada 22 wilayah) dan di luar wilayah tersebut memakai tulisan/aksara pallawa/hanacaraka yang berasal dari India sesudah masuk abad Masehi bersama dengan ajaran/falsafah Hindu, yang kemudian hari berkembang di Pulau Nusa Kendeng/Pulau Jawa sekarang dan Bali. Di pusat Kerajaan Saka/Aji Sai, raja-rajanya adalah titisan penjelmaan Naga Sakti/Nabi Khaidir a.s., dalam rangka mengemban tugas Tuhan Yang Maha Esa dengan menurunkan hukum inti Ketuhanan (falsafah Jaya Sempurna) sepanjang zaman. Jadi masuknya bangsa Yunan terjadi beberapa tahap yang jaraknya berabad-abad serta membaur dengan penduduk asli Nusantara (yaitu Kerajaan Saka/Aji Sai) yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sriwijaya kecil di wilayah pedalaman Bukit Barisan sebelah barat, yaitu Bukit Raja Mahendra (Raje Bendare). Di Pagar Alam Lahat, tepatnya di antara perbatasan 3 provinsi; Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu lokasi tersebut sampai saat ini belum terungkap dan masih merupakan misteri bagi bangsa Indonesia. Untuk mengungkapnya perlu dipelajari tulisannya, yaitu kaganga atau pallawa (hanacaraka).



Asal Nama Sumatera

Dalam catatan sejarah yang ada hingga saat ini, Pulau Sumatera ini ditemukan Angkatan Laut Kerajaan Rau (Rao) di India yang bernama Sri Nuruddin Arya Passatan tahun 10 Saka/88 Masehi yang tercantum dalam Surat Peninggalan pada Bilah Bambu tahun 50 Saka/128 M yang ditandatangani Ariya Saka Sepadi, bukan Sri Nuruddin Angkatan Pertama yang datang dari Kerajaan Rao di India.

Karena tidak ada kabar beritanya angkatan pertama, dikirim angkatan kedua yang dipimpin langsung Putra Mahkota Kerajaan Rao di India Y.M. Sri Mapuli Dewa Atung Bungsu tahun 101 Saka/179 Masehi. Dengan 7 armada (kapal), mereka berlabuh di daratan Sumatera tepatnya di Pulau Seguntang atau Bukit Seguntang sekarang di Palembang, Y.M. Sri Mapuli Atung Bungsu memerintahkan Arya Tabing, nakhoda kepal penjalang untuk mendirikan pondokan dan menera (menimbang) semua sungai yang berada di wilayah Pulau Seguntang tersebut. Demi mengikuti amanat Ayahanda Kerajaan Rao di India, berganti-ganti air sungai ditera (ditimbang) Arya Tabing atas titah Y.M. Sri Mapuli Dewa Atung Bungsu, sebelum Arya Tabing menimbang semua air sungai, beliau bertanya kepada YM, sungai mana yang harus ditera (ditimbang), dijawab YM, semua Tera (yang maksudnya semua air sungai yang ada ditimbang). Dari kata-kata beliau itulah asal nama Sumatera hingga saat ini yang tercatat dalam surat lempengan emas tahun 10 Saka/88 Masehi serta surat dari bilah bambu pada tahun 101 Saka/179 Masehi yang sampai saat ini belum ditemukan bangsa Indonesia, dan berkemungkinan sekali bertuliskan/aksara kaganga atau pallawa/hanacaraka di wilayah Sumetera bagian selatan. Setelah ditimbang angkatan Arya Tabing, didapatlah air sungai/Ayik Besemah dari dataran tinggi Bukitraja Mahendra Mahendra (Bukit Raje Bendare) mengalir ke barat dan bermuara di Sungai Lematang wilayah Kota Pagar Alam (Lahat).

Aksara ulu atau kaganga menjadi kekayaan budaya masyarakat tepian sungai di Sumatera bagian selatan, yang antara lain mencakup Sumsel, Bengkulu, dan Lampung. Diperkirakan, aksara itu tumbuh sejak abad ke-12 Masehi dan berkembang pesat pada abad ke-17-19 Masehi. Tulisan itu banyak digunakan untuk menyampaikan ajaran agama, ilmu kedokteran, petuah, dan kearifan lokal lain.


Keberadaan aksara itu menunjukkan, budaya tepian sungai memiliki tradisi intelektualisme cukup tinggi. Lebih unik lagi, aksara kaganga masih digunakan sebagian warga di Bengkulu, seperti di Kabupaten Seluma, Bengkulu Selatan, Kaur, Lebong, dan Kabupaten Rejang Lebong.

Aksara itu disebut ulu karena banyak berkembang dalam masyarakat yang tinggal di hulu sungai di pedalaman. Para peneliti asing kerap menyebutnya kaganga karena pedoman aksaranya menggunakan huruf ka, ga, nga, dan seterusnya. Aksara ini memiliki 19 huruf tunggal dan delapan huruf pasangan. Huruf-huruf ditulis dengan ditarik ke kanan atas sampai sekitar 45 derajat.

Menurut peneliti ahli Museum Negeri Bengkulu, Sarwit Sarwono, aksara kaganga dikembangkan setelah aksara palawa. Kaganga banyak digunakan masyarakat kelas menengah, seperti keluarga pesirah, dukun, kaum intelektual, dan kaum agama. Di Museum Negeri Bengkulu saat ini terdapat 124 naskah kaganga.(ilham khoiri)

Hutan adat dibabat, masyarakat adat semende saling babat

Rakyat Bengkulu Rabu, 13 November 2013

Nyawa Yurdi (45) warga Desa Muara Dua Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur nyaris melayang. Lelaki ini terkena luka bacok yang cukup parah di beberapa bagian tubuhnya yakni dua luka dikepala, dua dilengan kakan dan kiri dan satu di punggung.

Data Terhimpun, sebelumnya aksi pembacokan itu, korban yang meruakan satu mandor di perkebunan PT.Ciptamas Bumi Selaras (CBS) ribut mulut dengan pelaku di dekat lokasi lahan milik pelaku di ulu nasal. keduanya ribut karena masalah tapal batas lahan kebun, korban sendiri sedang melakukan penggusuran lahan untuk perusahaan.

Cerita ini merupakan kisah pahit masyarakat adat semende, yang tergusur dari tanahnya sendiri.

Puyang Semende memperoleh daerah pemukiman baru (cerita rakyat)


Puyang Semende (nenek moyang, turunan pertama, cikal bakal) mengembara mencari tempat baru, karena di tempat lama selalu mengalami gagal panen...
Alkisah, puyang Semende tiba di daerah Semende sekarang ini, yang saat itu diduduki penduduk asli.
Puyang Semende membawa sebatang tongkat dua ruas bambu dan sebuah tempurung buah labu.
Ruas tongkat bambu bagian bawah diisi tanah, bagian atas diisi air.
Tempurung buah labu diisi gabah hampa dari padi gagal panen.
Setelah menyapa penduduk asli, puyang Semende bertanya:
+"Apakah labu ini berisi?"
(maksud puyang Semende adalah gabah hampa tersebut)
labu diguncang kuat-kuat sehingga kedengaran bunyinya.
-"Iya, berisi", kata penduduk asli
(maksud mereka labu itu ada isinya)
+"Apa penuh?"
(maksud puyang Semende adalah bernas bukan hampa)
-"Iya penuh"
Puyang Semende lalu menumpahkan "gabah hampa" yang ternyata telah berubah menjadi "gabah bernas"
Terima kasih!
+"Tahukan anda bahwa: tanah dan air di sini adalah milik saya?!"
(Puyang Semende menghentakkan tongkat bambunya ke tanah, penduduk asli mengira yang dimaksud adalah daerah tersebut; tanah air = negeri, country),
Penduduk asli sangat terkejut, karena ekspresi muka puyang Semende demikian seriusnya.
-"Anda berani sumpah?"
+"Sumpah demi langit dan bumi, bahwa tanah dan air di sini (dia hentakkan lagi tongkatnya ke tanah)
+"Adalah milik saya. Kalau salah, saya mati!", tegasnya.
Penduduk asli ketakutan karena puyang Semende ternyata tidak mati.
Mereka yakin puyang Semende sangat sakti.
Mereka minta ampun agar tidak dibunuh dan segera meninggalkan tempat itu.
Demikianlah, puyang Semende mendapatkan tempat pemukiman baru untuk anak cucunya hingga sekarang.
Daerah tersebut kemudian dikenal sebagai pusat penghasil "beras Semende".
Gabah yang tadinya hampa dan berubah jadi bernas adalah cikal bakal benihnya.

*Diangkat dari cerita rakyat suku Semende, Sumatera Selatan - oleh: Syekhfani