KEPEMIMPINAN MERAJE DAN SIFAT TUNGGU TUBANG

0 komentar

            Kalau calon tunggu tubang resmi menjadi tunggu tubang apabila telah menikah, tidak begitu halnya dengan calon meraje. Peralihan jabatan meraje dan serah terima kepemimpinan dari meraje kepada calon meraje dilaksanakan dalam suatu upacara adat yang disebut dengan mbajii. Dikatakan oleh Na-zaruddin AR, seorang pemuka agama dan guru MTsN Pajarbulan, bahwa “upacara mbajii itu biasanya dilaksanakan setelah selesai masa panen padi dan kopi dengan mengadakan sembelihan hewan kurban be-rupa seekor kerbau atau sapi”. Dilaksanakannya upa-cara mbajii ini setelah panen padi dan kopi dengan maksud agar ada persediaan pangan dan dana yang cukup. Lagi pula, saat itu semua keluarga sedang bergembira karena mempunyai padi yang banyak.
            Pada upacara itu, wakil dari meraje menyam-paikan pengarahan tentang adat Semende, sejarah Semende, dan petuah-petuah penting bagi kehidupan para anak belai. Pada akhirnya dilakukan serah terima jabatan meraje dari meraje kepada calon meraje. Dengan serah terima jabatan ini, maka calon meraje resmi menjadi meraje, dan meraje yang telah habis ja-batannya meningkat menjadi jenang meraje. Demiki-an diuraikan oleh Nazaruddin AR, yang pernah men-jadi Kepala MtsN Pajarbulan itu.
            Sebagai seorang pemimpin jurai, meraje disyaratkan memiliki sifat-sifat baik sehingga dapat menjadi contoh dan suri tauladan bagi para anak belai yang dipimpinnya. Menurut Burdin Amin, Kepala Madrasah Ibtidaiyah Raudhatun Nashihin di Aremantai, sifat-sifat meraje itu antara lain :
1)     Adil dan tidak berat sebelah
2)     Bijaksana dalam mengambil keputusan
3)     Mengayomi para anak belai
4)     Bertindak sabar dan ulet
5)     Berwibawa dan bertindak tegas
6)     Cerdas dan tanggap mengatasi persoalan
2. Sifat Tunggu Tubang
            Dalam adat Semende, peran tunggu tubang sangat penting. Oleh sebab itu, seorang tunggu tubang selaku orang yang diberi mandat untuk menjaga dan mengurus harta pusaka jurai, hendaklah bersifat kreatif, dinamis, dan ulet bekerja. Oleh karenanya, dia harus mempunyai sifat-sifat seperti yang dimaksudkan oleh Lambang Adat Semende. Menurut Thohlon Abdul Rauf (1989: 211-213) dan Barmawi HMS (1989: 4-12), lambang adat Semende itu ada lima, yaitu :
1)     Pusat pumpunan jale
Rumah tunggu tubang adalah sentral dan pusat silaturrahmi dari seluruh keluarga besar, gan-tungan harapan seluruh anggota jurai, dan pen-jaga utama harta pusaka nenek moyang. Selain itu pula, rumah tunggu tubang menjadi tempat kem-bali dan berkumpul seluruh anggota keluarga pa-da saat-saat dan kejadian-kejadian tertentu. Deng-an demikian, tali silaturrahmi di antara sesama anggota keluarga tidak terputus, meskipun banyak yang merantau dan bahkan menetap di rantauan. Tunggu tubang harus bersifat bagaikan pusat pumpunan jala dimaksudkan agar sewaktu-waktu dapat menarik dan menghimpun seluruh anggota jurai untuk berkumpul dan bersilaturrahmi.
2)     Kampak, bukan pahat
Tunggu tubang, harus bersifat seperti kampak karena kampak adalah alat untuk bekerja. Dengan bersifat seperti kampak, tunggu tubang harus be-kerja keras untuk memberi manfaat yang se-banyak-banyaknya bagi keluarga besar, apit jurai, dan sanak famili lainnya.
Kampak juga melambangkan keadilan karena kedua sisinya yang sama-sama tajam, tidak seperti pahat yang hanya tajam sebelah. Dengan bersifat seperti kampak yang kedua sisinya tajam itu, diharapkan agar tunggu tubang, bersifat adil kepada kedua belah familinya, yakni kepada famili sebelah laki-laki (sang suami) dan kepada famili sebelah perempuan (sang isteri). Jadi tidak bersifat seperti pahat yang tajam sebelah dan atau bekerja untuk satu pihak, yang berarti tidak ber-sifat adil. Istilah Semende untuk ini adalah “Jangan asah pahat”.
3)     Kujur bukan balau
Kujur adalah suatu jenis benda pusaka seperti tombak kecil. Kujur melambangkan kewibawaan, kepatuhan, kesetiaan, kejujuran, dan keikhlasan. Tunggu tubang harus memiliki sifat ini agar dihormati dan disegani orang sekampung hala-man; serta Setia dan taat kepada ibu, bapak, mertua, dan para meraje. Dia harus menurut perintah ke manapun dan kapan pun perintah itu diberikan. Laksana kujur itu bilamana ditom-bakkan ke lembah dia meluncur ke lembah, jika ditombakkan ke gunung dia meluncur ke gunung, bila ditombakkan malam hari dia meluncur ma-lam, dan jika ditombakkan siang hari dia melun-cur siang hari. Begitulah sifatnya yang berkarakter sami’na wa atho’na.
4)     Guci
Guci adalah tempat penyimpanan bahan makan-an yang sewaktu-waktu dapat dimasak dalam waktu yang relatif singkat dan mudah bila ada tamu atau keluarga yang datang ke rumah, ter-utama pada malam hari, sehingga tidak perlu pergi ke pasar atau warung untuk membeli lauk pauk untuk menjamu tamu yang datang.
Guci melambangkan penampilan yang anggun, bersih, rapi, indah, sabar, dan mampu menyim-pan rahasia. Orang luar tidak akan tahu isi guci itu apakah busuk, manis, masam, pedas, asin, atau harum karena tertutup kuat, rapat lagi rapi. Tunggu tubang dilambangkan dengan guci agar mampu memiliki sifat dan penampilan guci itu. Tunggu tubang harus mampu mengolah keadaan keluarga sehingga yang buruk dapat menjadi baik, dan yang baik dapat menjadi semakin baik. Kebusukan atau kejahatan dalam keluarga harus disimpan rapi dan ditutup rapat agar tak menyebar ke luar rumah.
Dalam pelaksanaan adat, apabila terjadi hal-hal yang tidak baik dan bersifat di luar kebiasaan, maka akan diadakan musyawarah jurai, yang dalam istilah Semende disebut Tetunggal apit jurai” atau “Diapik juraikah”. Dengan demi-kian tak ada hal-hal yang tidak baik yang d-isimpan atau dirahasiakan apabila permasalah-annya telah menjadi besar.
5)     Pauk penuh air, bukan pauk kering
Pauk adalah kolam atau tebat untuk tempat beternak ikan. Kalau airnya penuh akan terlihat indah dan menarik, memikat hati untuk mandi dan bermain-main. Air yang gemirih, di hulunya ada mata air dan di hilirnya ada pancuran akan memikat orang untuk berhajat mandi, mencuci, atau hanya melihat keindahan alam di sekitar pauk itu. Selain itu, pauk yang penuh airnya melambangkan kedalaman, sehingga orang tidak tahu apa isinya; ketenangan dan kesabaran sehingga tidak mudah mengeluh. Tunggu tubang harus bersifat seperti pauk penuh berisi air untuk dapat menghayati dan bersifat dengan apa-apa yang dilambangkannya.
            Demikianlah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh suami isteri yang menjadi tunggu tubang. Kelima sifat tunggu tubang ini semestinya juga dipakai dan dijadikan pegangan oleh seluruh orang Semende, meskipun dia bukan tunggu tubang, di manapun berada untuk dapat menjalani kehidupan di dunia ini dengan baik.
Share this article :
 
Kaur Semende Maje Nasal : Semende | imrodili | Surel
Copyright © 2010. KAUR SEMENDE - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger Published by Dracoola Media
Thanks To LoenBun