Tunggu tubang, adalah “satu
jabatan dalam struktur adat Semende yang biasanya dijabat oleh anak perempuan
tertua dengan tugas menjaga dan mengurus harta pusaka jurai”. Telah
menjadi kesepakatan adat bahwa yang menjabat sebagai tunggu tubang itu
adalah anak perempuan tertua. Walaupun dia mempunyai banyak kakak laki-laki
bahkan kendatipun ia merupakan anak terkecil dan satu-satunya anak perempuan.
Lalu bagaimana seandainya dalam
suatu ke-luarga tidak mempunyai anak perempuan? Dalam keadaan seperti itu,
seorang anak laki-laki dipilih dan ditunjuk orang tuanya untuk menjadi tunggu
tubang. Lalu pilihan itu disampaikan kepada pihak meraje untuk
dimusyawarahkan agar disetujui dan ditetapkan. Tunggu tubang seperti
ini, dalam adat Semende disebut “tunggu tubang ngangkit”.
Bilamana suatu keluarga tunggu
tubang tidak mempunyai anak seorang pun, maka kedudukan tunggu tubang
dialihkan kepada adik perempuan dari tunggu tubang itu. Pengalihan
kedudukan tunggu tubang ini pun harus dilaksanakan dalam musyawarah jurai
yang dipimpin oleh meraje. Perlu diketahui, bahwa “seseorang mulai
menjabat sebagai tunggu tubang apabila telah menikah, kalau dia belum
me-nikah masih disebut bakal atau calon tunggu tubang”, demikian
diungkapkan oleh Mualim Basyroh, seorang pemuka agama sekaligus pemuka adat di
Pulau Panggung. Jabatan dan kedudukan tunggu tubang ini melekat kepada
suami isteri, bukan kepada isteri saja atau kepada suami saja kalau dia ngangkit.
Kedudukan tunggu tubang yang
telah dijabat oleh seseorang dapat dialihkan kepada saudaranya yang lain
apabila dia melanggar aturan adat dan atau ajaran agama. Hal ini terjadi jika
terhadap pelanggaran itu sudah diperingatkan oleh meraje dan disidangkan
dalam musyawarah apit jurai. Di antara pelanggaran adat yang terhitung
besar adalah menjual harta pusaka dan tidak menghormati meraje.
Seperti halnya meraje, tunggu tubang juga mempunyai hak dan
kewajiban tertentu dalam adat Semende, yaitu :
1.
Kewajiban Tunggu Tubang
a.
Menjaga dan Mengurus Harta Pusaka
Ini adalah tugas pokok tunggu
tubang untuk menjaga dan mengurus harta pusaka jurai yang
sekurang-kurangnya terdiri dari sebuah rumah dan sebidang sawah. Banyak
anggapan dari masyarakat selain Semende, termasuk tokoh-tokoh agama, bahwa
“harta pusaka itu diwariskan kepada tunggu tubang”, tetapi pada
hakikatnya tidaklah demikian. Dia hanya ditugaskan menurut adat untuk menjaga
dan meng-urus harta pusaka tersebut dengan hak pakai dan menikmati
hasil-hasilnya. Perbedaannya yang men-dasar dengan harta warisan adalah bahwa
harta pusaka keluarga itu tidak boleh dijual atau digadaikan. Lain halnya
dengan harta warisan yang boleh dijual, digadaikan, atau diberikan kepada orang
lain oleh warisnya bila dikehendakinya.
b. Menjaga dan
Mengurus Orang Tua
Biasanya dalam keluarga Semende,
orang tua tinggal di rumah pusaka yang ditempati tunggu tubang. Adalah
menjadi kewajiban bagi tunggu tubang untuk menjaga dan mengurus orang
tua itu, melengkapi keperluannya, mengobati dan memba-wanya ke dokter jika ia
sakit. Ada kalanya pula, di rumah pusaka itu masih ada kakek dan atau nenek tunggu
tubang. Mereka ini pun harus diperlakukan sama dengan orang tua tadi oleh tunggu
tubang.
Dikatakan oleh H. Muhammad Din,
Ketua Lembaga Adat Kecamatan Aremantai, bahwa “wa-laupun begitu, sewaktu-waktu
orang tua itu dapat berkunjung dan bertandang ke rumah anak-anaknya yang lain,
tapi hanya dalam waktu yang tidak lama”.
Sebenarnya bila disadari, tugas
menjaga dan mengurus orang tua ini adalah suatu kehormatan bagi tunggu
tubang. Orang tua telah mendidik, mengasuh, dan menyekolahkan dia se-jak
kecil hingga dewasa. Oleh karenanya, adalah kesempatan yang baik bagi tunggu
tubang untuk berbakti dan berbuat baik ke-pada keduanya pada hari tuanya.
c. Menghormati Meraje dan Mematuhi Perintahnya
Tunggu tubang sebagai ujung
tombak pelak-sanaan adat harus mematuhi segala perintah meraje dan
menghormatinya. Dahulu ada kebiasaan pada setiap selesai salat Jum’at di masjid
dusun, meraje akan berkunjung ke rumah tunggu tubang untuk
me-lihat dan mengetahui keadaan tunggu tubang seke-luarga serta
menanyakan hal-hal yang perlu dike-tahuinya. Pada saat itu tunggu tubang
melaporkan segala sesuatunya dan meminta petunjuk tentang apa yang seharusnya
dilakukan. Sebelum pulang, meraje memberikan nasihat dan petunjuk serta
jalan keluar terha-dap segala masalah yang dihadapi.
Ditambahkan oleh Aswi Rasyid,
seorang guru dan pemuka masyarakat desa Muara Tenang, bahwa “dalam menyambut
kedatangan meraje itu, tunggu tubang senantiasa harus menghormati
dan memulia-kannya. Segala apa yang dinasihatkannya harus dide-ngarkan dengan
baik dan apa yang diperintahkannya harus dipatuhi dan dilaksanakan”.
d. Mematuhi dan
Menjalankan Aturan Adat
Kewajiban lain yang menjadi tugas
dan kewa-jiban tunggu tubang ialah mematuhi dan menjalankan aturan adat.
Maksudnya, segala sesuatu yang ber-kenaan dengan adat Semende yang mencakup Rukun
Semende, Adab Semende, Tungguan Semende, serta Sifat dan Lambang Tunggu
Tubang (yang akan diuraikan kemudian) harus senantiasa dimengerti dan
dilaksanakan oleh tunggu tubang.
2. Hak-hak Tunggu
Tubang
a. Menikmati Harta Pusaka
Telah diuraikan di muka bahwa tugas tunggu
tubang adalah menjaga dan mengurus harta pusaka jurai yang minimal
terdiri dari sebuah rumah dan sebidang sawah. Ia harus menjaga dam memperbaiki
rumah itu agar jangan rusak, mengolah dan menger-jakan sawah agar menghasilkan
padi yang melimpah untuk kehidupan keluarga. Akan tetapi, menurut Abdullah
Sukuni, seorang pemuka masyarakat dan ahli dalam masalah adat Semende,
“kewajiban yang berat itu disertai pula dengan hak untuk menikmati harta pusaka
tersebut”. Tunggu tubang diberi hak untuk menempati rumah pusaka sebagai
kediaman keluarganya serta menikmati hasil sawah untuk kehidupan mereka
sehari-hari.
Walaupun tungu tubang diberi
hak untuk menikmati harta pusaka, sekali-kali dia tidak berhak untuk menjual
atau menggadaikannya. Hal itu dise-babkan karena harta pusaka tersebut adalah
milik bersama seluruh anggota jurai, hanya saja dikuasakan menurut adat
kepada tunggu tubang untuk menjaga dan mengurusnya.
b. Menjadi Tempat Kembali Para Anggota Jurai
Rumah pusaka yang diamanatkan kepada
tunggu tubang untuk menjaga dan menunggunya, menurut Abdullah Sukuni,
tidak boleh kosong dan ditinggalkan terlalu lama, karena sewaktu-waktu atau
dalam keadaan tertentu ada anggota jurai akan datang untuk sesuatu urusan.
Ada kalanya pula rumah pusaka itu dijadikan tempat untuk suatu keperluan
keluarga, seperti hajatan pernikahan, ada musibah kematian, atau ziarah ke
makam nenek moyang.
Untuk itulah, persediaan padi di
lumbung sawah tunggu tubang harus selalu ada agar dapat menjamu para
anggota jurai yang datang. Oleh karenanya, padi hasil panen sawah tunggu
tubang harus disimpan dalam lumbung serta tidak boleh dijual semuanya,
kecuali sekedar untuk memenuhi keper-luan yang sangat mendesak