Kalau calon tunggu tubang
resmi menjadi tunggu tubang apabila telah menikah, tidak begitu halnya
dengan calon meraje. Peralihan jabatan meraje dan serah terima
kepemimpinan dari meraje kepada calon meraje dilaksanakan dalam
suatu upacara adat yang disebut dengan mbajii. Dikatakan oleh
Na-zaruddin AR, seorang pemuka agama dan guru MTsN Pajarbulan, bahwa “upacara mbajii
itu biasanya dilaksanakan setelah selesai masa panen padi dan kopi dengan
mengadakan sembelihan hewan kurban be-rupa seekor kerbau atau sapi”. Dilaksanakannya
upa-cara mbajii ini setelah panen padi dan kopi dengan maksud agar ada
persediaan pangan dan dana yang cukup. Lagi pula, saat itu semua keluarga
sedang bergembira karena mempunyai padi yang banyak.
Pada upacara itu, wakil dari meraje
menyam-paikan pengarahan tentang adat Semende, sejarah Semende, dan
petuah-petuah penting bagi kehidupan para anak belai. Pada akhirnya
dilakukan serah terima jabatan meraje dari meraje kepada calon meraje.
Dengan serah terima jabatan ini, maka calon meraje resmi menjadi meraje,
dan meraje yang telah habis ja-batannya meningkat menjadi jenang
meraje. Demiki-an diuraikan oleh Nazaruddin AR, yang pernah men-jadi Kepala
MtsN Pajarbulan itu.
Sebagai seorang pemimpin jurai,
meraje disyaratkan memiliki sifat-sifat baik sehingga dapat menjadi
contoh dan suri tauladan bagi para anak belai yang dipimpinnya. Menurut
Burdin Amin, Kepala Madrasah Ibtidaiyah Raudhatun Nashihin di Aremantai,
sifat-sifat meraje itu antara lain :
1)
Adil dan tidak berat sebelah
2)
Bijaksana dalam mengambil keputusan
3)
Mengayomi para anak belai
4)
Bertindak sabar dan ulet
5)
Berwibawa dan bertindak tegas
6)
Cerdas dan tanggap mengatasi
persoalan
2. Sifat Tunggu
Tubang
Dalam adat Semende, peran tunggu
tubang sangat penting. Oleh sebab itu, seorang tunggu tubang selaku
orang yang diberi mandat untuk menjaga dan mengurus harta pusaka jurai,
hendaklah bersifat kreatif, dinamis, dan ulet bekerja. Oleh karenanya, dia
harus mempunyai sifat-sifat seperti yang dimaksudkan oleh Lambang Adat
Semende. Menurut Thohlon Abdul Rauf (1989: 211-213) dan Barmawi HMS
(1989: 4-12), lambang adat Semende itu ada lima, yaitu :
1) Pusat pumpunan
jale
Rumah tunggu
tubang adalah sentral dan pusat silaturrahmi dari seluruh keluarga besar,
gan-tungan harapan seluruh anggota jurai, dan pen-jaga utama harta
pusaka nenek moyang. Selain itu pula, rumah tunggu tubang menjadi tempat
kem-bali dan berkumpul seluruh anggota keluarga pa-da saat-saat dan
kejadian-kejadian tertentu. Deng-an demikian, tali silaturrahmi di antara
sesama anggota keluarga tidak terputus, meskipun banyak yang merantau dan
bahkan menetap di rantauan. Tunggu tubang harus bersifat bagaikan pusat
pumpunan jala dimaksudkan agar sewaktu-waktu dapat menarik dan menghimpun
seluruh anggota jurai untuk berkumpul dan bersilaturrahmi.
2) Kampak, bukan
pahat
Tunggu tubang, harus bersifat seperti kampak
karena kampak adalah alat untuk bekerja. Dengan bersifat seperti kampak, tunggu
tubang harus be-kerja keras untuk memberi manfaat yang se-banyak-banyaknya
bagi keluarga besar, apit jurai, dan sanak famili lainnya.
Kampak juga
melambangkan keadilan karena kedua sisinya yang sama-sama tajam, tidak seperti
pahat yang hanya tajam sebelah. Dengan bersifat seperti kampak yang kedua
sisinya tajam itu, diharapkan agar tunggu tubang, bersifat adil kepada
kedua belah familinya, yakni kepada famili sebelah laki-laki (sang suami) dan
kepada famili sebelah perempuan (sang isteri). Jadi tidak bersifat seperti
pahat yang tajam sebelah dan atau bekerja untuk satu pihak, yang berarti tidak
ber-sifat adil. Istilah Semende untuk ini adalah “Jangan asah pahat”.
3) Kujur bukan
balau
Kujur adalah
suatu jenis benda pusaka seperti tombak kecil. Kujur melambangkan kewibawaan,
kepatuhan, kesetiaan, kejujuran, dan keikhlasan. Tunggu tubang harus
memiliki sifat ini agar dihormati dan disegani orang sekampung hala-man; serta
Setia dan taat kepada ibu, bapak, mertua, dan para meraje. Dia harus
menurut perintah ke manapun dan kapan pun perintah itu diberikan. Laksana kujur
itu bilamana ditom-bakkan ke lembah dia meluncur ke lembah, jika ditombakkan ke
gunung dia meluncur ke gunung, bila ditombakkan malam hari dia meluncur ma-lam,
dan jika ditombakkan siang hari dia melun-cur siang hari. Begitulah sifatnya
yang berkarakter sami’na wa atho’na.
4) Guci
Guci
adalah tempat penyimpanan bahan makan-an yang sewaktu-waktu dapat dimasak dalam
waktu yang relatif singkat dan mudah bila ada tamu atau keluarga yang datang ke
rumah, ter-utama pada malam hari, sehingga tidak perlu pergi ke pasar atau
warung untuk membeli lauk pauk untuk menjamu tamu yang datang.
Guci
melambangkan penampilan yang anggun, bersih, rapi, indah, sabar, dan mampu
menyim-pan rahasia. Orang luar tidak akan tahu isi guci itu apakah busuk,
manis, masam, pedas, asin, atau harum karena tertutup kuat, rapat lagi rapi. Tunggu
tubang dilambangkan dengan guci agar mampu memiliki sifat dan penampilan
guci itu. Tunggu tubang harus mampu mengolah keadaan keluarga sehingga yang
buruk dapat menjadi baik, dan yang baik dapat menjadi semakin baik. Kebusukan
atau kejahatan dalam keluarga harus disimpan rapi dan ditutup rapat agar tak
menyebar ke luar rumah.
Dalam
pelaksanaan adat, apabila terjadi hal-hal yang tidak baik dan bersifat di luar
kebiasaan, maka akan diadakan musyawarah jurai, yang dalam istilah
Semende disebut “Tetunggal apit jurai” atau “Diapik
juraikah”. Dengan demi-kian tak ada hal-hal yang tidak baik yang
d-isimpan atau dirahasiakan apabila permasalah-annya telah menjadi besar.
5) Pauk penuh air,
bukan pauk kering
Pauk adalah
kolam atau tebat untuk tempat beternak ikan. Kalau airnya penuh akan terlihat
indah dan menarik, memikat hati untuk mandi dan bermain-main. Air yang gemirih,
di hulunya ada mata air dan di hilirnya ada pancuran akan memikat orang untuk
berhajat mandi, mencuci, atau hanya melihat keindahan alam di sekitar pauk itu.
Selain itu, pauk yang penuh airnya melambangkan kedalaman, sehingga orang tidak
tahu apa isinya; ketenangan dan kesabaran sehingga tidak mudah mengeluh. Tunggu
tubang harus bersifat seperti pauk penuh berisi air untuk dapat menghayati
dan bersifat dengan apa-apa yang dilambangkannya.
Demikianlah sifat-sifat yang harus
dimiliki oleh suami isteri yang menjadi tunggu tubang. Kelima sifat tunggu
tubang ini semestinya juga dipakai dan dijadikan pegangan oleh seluruh
orang Semende, meskipun dia bukan tunggu tubang, di manapun berada untuk
dapat menjalani kehidupan di dunia ini dengan baik.