A. SEKILAS TENTANG TNBBS
Penetapan TNBBS
Kawasan Lindung Bukit Barisan Selatan (BBS) pada awalnya ditetapkan tahun 1935 sebagai Kawasan Suaka Marga Satwa, melalui Besluit Van der Gouvernour-Generat Van Nederlandseh Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SS I (Sumatra Selatan I). Selanjutnya pada 1 April 1979 kawasan BBS (Bukit Barisan Selatan) ini memperoleh setatus kawasan sebagai Kawasan Pelestarian Alam.
Pada tahun 1982 tepatnya, tanggal 14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/ 1982. Kemudian pada tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/ 1997 tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Kawasan hutan TNBBS meliputi arela seluas + 356.800 Ha, membentang dari ujung selatan Bagian Barat Propinsi Lampung dan memanjang hingga wilayah Provinsi Bengkulu bagian selatan. Menurut Administrasi Pemerintahan kawasan ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tenggamus, Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Kaur Bengkulu. Bagian tengah hingga utara sebelah timur Taman Nasional Bukit Barisan Selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan.
Dari luasan tersebut kawasan taman nasional ini, 18 % luasnya merupakan wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu, sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan. No. 420/ Kpts-II/ 1999, tentang: penunjukan kawasan hutan di wilayah provinsi daerah tingkat I Bengkulu, yaitu seluas 64.711 Ha.
Fungsi Kawasan hutan kelompok hutan pelestarian alam ini sangat banyak antara lain, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Yang memiliki nilai manfaat secara ekonomi, sosial, budaya, dan estitika, baik dirasakan secara langsung maupun tidak.
Secara hidrologi, merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir kedaerah pemukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata air.
Wilayah Adat Semende
Dalam proses penetapannya menjadi kawasan Taman Nasional oleh Pemerintah RI, ada banyak konflik yang timbul berawal dari tidak diikutsertakannya masyarakat lokal/adat disekitar kawasan, terutama dalam proses penetapan tata batas. Ketidak ikutsertaan masyarakat adat ini menyebabkan hak-hak adat yang mempunyai kekuatan hukum atas wilayah adatnya tersebut juga ikut terabaikan bahkan tidak ada pengakuan sama sekali dari Pemerintah.
Di Bengkulu penetapan kawasan taman nasional telah banyak mendapat perotes dari masyarakat. Salah satunya, perotes dari masyarakat adat semende. Protes ini timbul karena hutan ulayat dan wilayah kelolah mereka di tetapkan menjadi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dengan ditetapkannya kawasan TNBBS di wilayah kelola mereka, masyarakat secara otomatis tidak dapat mengelola tanah kelolanya tersebut. Kebun yang sebelumnya dikelola dengan baik dan memberikan manfaat bagi mereka, tidak dapat dikelola kembali. Mereka tidak nyaman dan tenang dalam berusaha bahkan mereka secara paksa diusir dari wilayah tersebut.
Dalam undang-undang dasar 1945 dan perundangan yang mengikutinya jelas diatur dan diakui hak-hak masyarakat adat. Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 dijelaskan, Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Sebagai kekuatan hukum keberadaan Suku Semende Dusun Banding Agung di daerah ini adalah dengan adanya surat Pengakuan dari Pemerintah Belanda tertanggal 22 Agustus 1891 berupa Surat Keterangan yang ditandatangani langsung oleh Van Hille sebagai Contholeur Van Kauer ditujukan kepada Amat sebagai Depati Banding Agung yang bergelar Depati Matjan Negara yang isinya menerangkan bahwa Banding Agung (sebagai wilayah adat Semende) masuk dalam Marga Muara Nasal Bintuhan, Afdeling Kauer dan berada di luar Batas Boss Weizen (BW) serta bukti- bukti lapangan yang menunjukan bahwa lahan tersebut merupakan wilayah kelola mereka.
B. KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI BALAI
Berdasarkan INFORMASI MENGENAL TNBBS dari Balai-TNBBS, tentang kebijaksanaan sektor kehutanan, khususnya bidang perlindungan dan konservasi alam, ada berberapa hal yang dapat digunakan masyarakat untuk terlibat dan meminta dilakukannya revisi kawasan TNBBS, kebijaksanaan tersebut antaralain :
Pengelolaan TNBBS diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, membangun dan memberdayakan masyarakat sekitar Taman Nasional.
Pengelolaan TNBBS dengan parardigma konservasi berbasis masyarakat (Community Based Conservation and Park Management) dilaksanakan dengan merubah fungsi zona-zona tertentu untuk memberikan lebih banyak akses masuk bagi masyarakat dan berperan serta aktif dalam pengelolaan.
Sesuai kebijaksanaan teknis tersebut, maka strategi pengelolaan TNBBS dikembangkan dengan menjalankan dan meningkatkan fungsi kawasan TNBBS yang titik prioritasnya, pengelolaan:
Dalam rangka meningkatkan pengelolaan dan menjalankan fungsi-fungsi kawasan diperlukan upaya-upaya pemantapan kawasan terutama tata batas;
Pengembangan TNBBS diarahkan tidak saja pada aspek-aspek lingkungan hidup, tetapi juga untuk perlindungan dan pembangunan masyarakat baik yang secara indigenous berada dalam kawasan maupun yang berada di sekitar kawasan TNBBS;
Dalam rangka pengelolaan TNBBS perlu terus digalang dan ditingkatkan upaya-upaya koordinasi dan kemitraan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan;
Dalam rangka mencapai pengelolaan diperlukan uapaya-upaya pengenalan, pemberian informasi, penyamaan persepsi dan promosi untuk menarik minat, menumbuhkan apresiasi dan dukungan seluruh pihak terkait dan masyarakat luas terhadap keberadaan, integritas dan pengelolaan kawasan TNBBS.
C. MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pengurusan hutan di Indonesia bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan Tujuan pengelolaan hutan adat oleh Masyarakat Hukum Adat adalah untuk mewujudkan keberadaan sumber daya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial budaya dan menjamin ekologi yang sehat dan lestari, serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, khususnya terhadap anggota masyarakat hukum adat setempat dan atau sekitarnya.
Untuk mendapat hak melakukan pengelolaan hutannya, ada berberapa kriteria keberadaan masyarakat hukum adat yang harus dipenuhi, unsur-unsur tersebut antaralain:
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) dan bertempat tinggal di dalam wilayah hukum adat yang bersangkutan;
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat (Struktur Kelembagaan Adat) yang masih berfungsi;
Mempunyai wilayah hutan adat yang jelas batas-batasnya dan diakui/disepakati oleh masyarakat dan antar masyarakat hukum adat di sekitarnya;
Ada pranata hukum adat yang berkaitan dengan hutan dan masih ditaati, dan masih diberlakukannya peradilan adat;
Masyarakat yang bersangkutan masih melaksanakan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan di hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari dan atau masih adanya hubungan religi dan hubungan kemasyarakatan dengan hutan adatnya.
Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan. Dan setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan.
D. HAK DAN KEWAJIBAN
Masyarakat adat dalam keikutsertaannya melakukan kontrol dan akses terhadap pengelolaan sumberdaya alam terutama hutan, menurut Rancangan Undang-undang tentang Hutan Adat disebutkan, masyarakat berhak :
Mengelola hutan yang berada dalam wilayah hukum adatnya;
Mempraktekkan pengetahuan, teknologi dan kearifan setempat dalam mengelola hutan;
Memperoleh pendampingan dan fasilitasi dari pemerintah dan atau pemerintah daerah dan LSM dalam rangka pemberdayaannya;
Memperoleh perlindungan dari pemerintah dan atau pemerintah daerah;
Berpartisipasi dalam pengurusan hutan dan pengawasan hutan.
Masyarakat Hukum Adat yang diakui keberadaannya wajib:
Memelihara dan menjaga hutan dari kerusakan;
Memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya;
Melakukan rehabilitasi dan rekoisasi hutan adat;
Sesuai tahapan pemanfaatan hutan adat, membayar pajak bumi dan bangunan atas lahan hutan adat.
E. PARTISIPASI MASYARAKAT
Hutan adat sebagaimana yang diakui Undang-Undang Kehutanan adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Namun Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dan dengan keberadaannya diberbolehkan:
Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selain melakukan pengelolaan hutan di wilayah hukum adat, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan melalui pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yaitu hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan dengan menitikberatkan kepentingan menyejahterakan masyarakat.
Kawasan hutan yang dapat dijadikan areal hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan produksi, hutan lindung dan kawasan pelestarian alam (termasuk TAMAN NASIONAL) pada zonasi tertentu, yang tidak dibebani hak-hak lain di bidang kehutanan.
F. PENUTUP
Kelemahan dalam pengelolaan yang selanjutnya menimbulkan permasalahan-permasalahan klasik yang menghambat pengembangan Taman Nasional di Bengkulu dan Indonesia secara umum adalah Penetapan kawasan Taman Nasional yang tidak melibatkan masyarakat disekitar hutan.
Kasus di Kabupaten Kaur, masyarakat adat semende harus rela diusir hanya karena mereka tidak terlibat dalam penetapan batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Semua orang mengetahui dan memahami bahwa aturan di Indonesia langkap dan cukup baik, jika semua dijalankan dengang sungguh-sungguh. Namun banyak hal yang mengakibatkan penyimpangannya. Karena itu, jika penegak hukum dan pemangku kebijakan tidak aktif dalam menerima aspirasi masyarakat maka masyarakat adat-lah yang harus aktif menyampaikan aspirasi dan keinginannya.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Catatan WALHI 2005. Lingkunganku Lingkunganmu Lingkungan Kita Semua. Eksekutif Daerah WALHI Bengkulu. Bengkulu.
Anonim, ----, Mengenal TNBBS. Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kotaagung-Tanggamus Lampung.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Nomor: 420/ Kpts-II/ 1999. tentang: penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi daerah tingkat I Bengkulu seluas 920.964 (sembilan ratus dua puluh ribu sembilan ratus enam puluh empat) Hektar. Jakarta.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Nomor: 677/Kpts-II/1998. tentang hutan kemasyarakatan. menteri kehutanan dan perkebunan. Jakarta.
Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2000. Tentang Hutan Adat. Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia, 1999. Undang-undang tentang Kehutanan Nomor: 41 tahun 1999. Depatremen Kehutanan. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah Nomor: 32 tahun 2004. Jakarta.
Yohar.S, 2003. Peta Konflik pengelolaan sumberdaya Alam di Provinsi Bengkulu. Eksekutif daerah WALHI Bengkulu. Bengkulu.
--------------------------------------------------------------------------------
(*) Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya, Membangun Dukungan Multi Pihak dalam Pengelolaan Keruangan Kawasan TNBBS oleh Masyarakat Adat Suku Semende di Wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Diselenggarakan oleh Yayasan Konservasi Sumatera (YKS) Bengkulu. Tanggal 12 - 13 April 2006 di Gedung LPMP Jl. Zainul Arifin No. 01 Bengkulu.
(**) Direktur Eksekutif WALHI Bengkulu.
Informasi lebih lanjut silahkan menghubungi:
Jln. Letkol Santoso No. 60 A, RT 1 RW 1. Pasar Melintang Bengkulu 38115.
Telp/Fax : (0736) 347150.
Email : walhi_bkl@telkom.net
Penetapan TNBBS
Kawasan Lindung Bukit Barisan Selatan (BBS) pada awalnya ditetapkan tahun 1935 sebagai Kawasan Suaka Marga Satwa, melalui Besluit Van der Gouvernour-Generat Van Nederlandseh Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SS I (Sumatra Selatan I). Selanjutnya pada 1 April 1979 kawasan BBS (Bukit Barisan Selatan) ini memperoleh setatus kawasan sebagai Kawasan Pelestarian Alam.
Pada tahun 1982 tepatnya, tanggal 14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/ 1982. Kemudian pada tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/ 1997 tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Kawasan hutan TNBBS meliputi arela seluas + 356.800 Ha, membentang dari ujung selatan Bagian Barat Propinsi Lampung dan memanjang hingga wilayah Provinsi Bengkulu bagian selatan. Menurut Administrasi Pemerintahan kawasan ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tenggamus, Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Kaur Bengkulu. Bagian tengah hingga utara sebelah timur Taman Nasional Bukit Barisan Selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan.
Dari luasan tersebut kawasan taman nasional ini, 18 % luasnya merupakan wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu, sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan. No. 420/ Kpts-II/ 1999, tentang: penunjukan kawasan hutan di wilayah provinsi daerah tingkat I Bengkulu, yaitu seluas 64.711 Ha.
Fungsi Kawasan hutan kelompok hutan pelestarian alam ini sangat banyak antara lain, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Yang memiliki nilai manfaat secara ekonomi, sosial, budaya, dan estitika, baik dirasakan secara langsung maupun tidak.
Secara hidrologi, merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir kedaerah pemukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata air.
Wilayah Adat Semende
Dalam proses penetapannya menjadi kawasan Taman Nasional oleh Pemerintah RI, ada banyak konflik yang timbul berawal dari tidak diikutsertakannya masyarakat lokal/adat disekitar kawasan, terutama dalam proses penetapan tata batas. Ketidak ikutsertaan masyarakat adat ini menyebabkan hak-hak adat yang mempunyai kekuatan hukum atas wilayah adatnya tersebut juga ikut terabaikan bahkan tidak ada pengakuan sama sekali dari Pemerintah.
Di Bengkulu penetapan kawasan taman nasional telah banyak mendapat perotes dari masyarakat. Salah satunya, perotes dari masyarakat adat semende. Protes ini timbul karena hutan ulayat dan wilayah kelolah mereka di tetapkan menjadi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dengan ditetapkannya kawasan TNBBS di wilayah kelola mereka, masyarakat secara otomatis tidak dapat mengelola tanah kelolanya tersebut. Kebun yang sebelumnya dikelola dengan baik dan memberikan manfaat bagi mereka, tidak dapat dikelola kembali. Mereka tidak nyaman dan tenang dalam berusaha bahkan mereka secara paksa diusir dari wilayah tersebut.
Dalam undang-undang dasar 1945 dan perundangan yang mengikutinya jelas diatur dan diakui hak-hak masyarakat adat. Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 dijelaskan, Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Sebagai kekuatan hukum keberadaan Suku Semende Dusun Banding Agung di daerah ini adalah dengan adanya surat Pengakuan dari Pemerintah Belanda tertanggal 22 Agustus 1891 berupa Surat Keterangan yang ditandatangani langsung oleh Van Hille sebagai Contholeur Van Kauer ditujukan kepada Amat sebagai Depati Banding Agung yang bergelar Depati Matjan Negara yang isinya menerangkan bahwa Banding Agung (sebagai wilayah adat Semende) masuk dalam Marga Muara Nasal Bintuhan, Afdeling Kauer dan berada di luar Batas Boss Weizen (BW) serta bukti- bukti lapangan yang menunjukan bahwa lahan tersebut merupakan wilayah kelola mereka.
B. KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI BALAI
Berdasarkan INFORMASI MENGENAL TNBBS dari Balai-TNBBS, tentang kebijaksanaan sektor kehutanan, khususnya bidang perlindungan dan konservasi alam, ada berberapa hal yang dapat digunakan masyarakat untuk terlibat dan meminta dilakukannya revisi kawasan TNBBS, kebijaksanaan tersebut antaralain :
Pengelolaan TNBBS diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, membangun dan memberdayakan masyarakat sekitar Taman Nasional.
Pengelolaan TNBBS dengan parardigma konservasi berbasis masyarakat (Community Based Conservation and Park Management) dilaksanakan dengan merubah fungsi zona-zona tertentu untuk memberikan lebih banyak akses masuk bagi masyarakat dan berperan serta aktif dalam pengelolaan.
Sesuai kebijaksanaan teknis tersebut, maka strategi pengelolaan TNBBS dikembangkan dengan menjalankan dan meningkatkan fungsi kawasan TNBBS yang titik prioritasnya, pengelolaan:
Dalam rangka meningkatkan pengelolaan dan menjalankan fungsi-fungsi kawasan diperlukan upaya-upaya pemantapan kawasan terutama tata batas;
Pengembangan TNBBS diarahkan tidak saja pada aspek-aspek lingkungan hidup, tetapi juga untuk perlindungan dan pembangunan masyarakat baik yang secara indigenous berada dalam kawasan maupun yang berada di sekitar kawasan TNBBS;
Dalam rangka pengelolaan TNBBS perlu terus digalang dan ditingkatkan upaya-upaya koordinasi dan kemitraan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan;
Dalam rangka mencapai pengelolaan diperlukan uapaya-upaya pengenalan, pemberian informasi, penyamaan persepsi dan promosi untuk menarik minat, menumbuhkan apresiasi dan dukungan seluruh pihak terkait dan masyarakat luas terhadap keberadaan, integritas dan pengelolaan kawasan TNBBS.
C. MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pengurusan hutan di Indonesia bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan Tujuan pengelolaan hutan adat oleh Masyarakat Hukum Adat adalah untuk mewujudkan keberadaan sumber daya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial budaya dan menjamin ekologi yang sehat dan lestari, serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, khususnya terhadap anggota masyarakat hukum adat setempat dan atau sekitarnya.
Untuk mendapat hak melakukan pengelolaan hutannya, ada berberapa kriteria keberadaan masyarakat hukum adat yang harus dipenuhi, unsur-unsur tersebut antaralain:
Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) dan bertempat tinggal di dalam wilayah hukum adat yang bersangkutan;
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat (Struktur Kelembagaan Adat) yang masih berfungsi;
Mempunyai wilayah hutan adat yang jelas batas-batasnya dan diakui/disepakati oleh masyarakat dan antar masyarakat hukum adat di sekitarnya;
Ada pranata hukum adat yang berkaitan dengan hutan dan masih ditaati, dan masih diberlakukannya peradilan adat;
Masyarakat yang bersangkutan masih melaksanakan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan di hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari dan atau masih adanya hubungan religi dan hubungan kemasyarakatan dengan hutan adatnya.
Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan. Dan setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan.
D. HAK DAN KEWAJIBAN
Masyarakat adat dalam keikutsertaannya melakukan kontrol dan akses terhadap pengelolaan sumberdaya alam terutama hutan, menurut Rancangan Undang-undang tentang Hutan Adat disebutkan, masyarakat berhak :
Mengelola hutan yang berada dalam wilayah hukum adatnya;
Mempraktekkan pengetahuan, teknologi dan kearifan setempat dalam mengelola hutan;
Memperoleh pendampingan dan fasilitasi dari pemerintah dan atau pemerintah daerah dan LSM dalam rangka pemberdayaannya;
Memperoleh perlindungan dari pemerintah dan atau pemerintah daerah;
Berpartisipasi dalam pengurusan hutan dan pengawasan hutan.
Masyarakat Hukum Adat yang diakui keberadaannya wajib:
Memelihara dan menjaga hutan dari kerusakan;
Memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya;
Melakukan rehabilitasi dan rekoisasi hutan adat;
Sesuai tahapan pemanfaatan hutan adat, membayar pajak bumi dan bangunan atas lahan hutan adat.
E. PARTISIPASI MASYARAKAT
Hutan adat sebagaimana yang diakui Undang-Undang Kehutanan adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Namun Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dan dengan keberadaannya diberbolehkan:
Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selain melakukan pengelolaan hutan di wilayah hukum adat, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan melalui pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yaitu hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan dengan menitikberatkan kepentingan menyejahterakan masyarakat.
Kawasan hutan yang dapat dijadikan areal hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan produksi, hutan lindung dan kawasan pelestarian alam (termasuk TAMAN NASIONAL) pada zonasi tertentu, yang tidak dibebani hak-hak lain di bidang kehutanan.
F. PENUTUP
Kelemahan dalam pengelolaan yang selanjutnya menimbulkan permasalahan-permasalahan klasik yang menghambat pengembangan Taman Nasional di Bengkulu dan Indonesia secara umum adalah Penetapan kawasan Taman Nasional yang tidak melibatkan masyarakat disekitar hutan.
Kasus di Kabupaten Kaur, masyarakat adat semende harus rela diusir hanya karena mereka tidak terlibat dalam penetapan batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Semua orang mengetahui dan memahami bahwa aturan di Indonesia langkap dan cukup baik, jika semua dijalankan dengang sungguh-sungguh. Namun banyak hal yang mengakibatkan penyimpangannya. Karena itu, jika penegak hukum dan pemangku kebijakan tidak aktif dalam menerima aspirasi masyarakat maka masyarakat adat-lah yang harus aktif menyampaikan aspirasi dan keinginannya.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Catatan WALHI 2005. Lingkunganku Lingkunganmu Lingkungan Kita Semua. Eksekutif Daerah WALHI Bengkulu. Bengkulu.
Anonim, ----, Mengenal TNBBS. Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kotaagung-Tanggamus Lampung.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Nomor: 420/ Kpts-II/ 1999. tentang: penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi daerah tingkat I Bengkulu seluas 920.964 (sembilan ratus dua puluh ribu sembilan ratus enam puluh empat) Hektar. Jakarta.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Nomor: 677/Kpts-II/1998. tentang hutan kemasyarakatan. menteri kehutanan dan perkebunan. Jakarta.
Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2000. Tentang Hutan Adat. Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia, 1999. Undang-undang tentang Kehutanan Nomor: 41 tahun 1999. Depatremen Kehutanan. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah Nomor: 32 tahun 2004. Jakarta.
Yohar.S, 2003. Peta Konflik pengelolaan sumberdaya Alam di Provinsi Bengkulu. Eksekutif daerah WALHI Bengkulu. Bengkulu.
--------------------------------------------------------------------------------
(*) Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya, Membangun Dukungan Multi Pihak dalam Pengelolaan Keruangan Kawasan TNBBS oleh Masyarakat Adat Suku Semende di Wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Diselenggarakan oleh Yayasan Konservasi Sumatera (YKS) Bengkulu. Tanggal 12 - 13 April 2006 di Gedung LPMP Jl. Zainul Arifin No. 01 Bengkulu.
(**) Direktur Eksekutif WALHI Bengkulu.
Informasi lebih lanjut silahkan menghubungi:
Jln. Letkol Santoso No. 60 A, RT 1 RW 1. Pasar Melintang Bengkulu 38115.
Telp/Fax : (0736) 347150.
Email : walhi_bkl@telkom.net