Sistem Perkebunan Skala Besar Sejarah Penjajahan Yang Berulang

0 komentar

Sistem Perkebunan skala besar dewasa ini tidak terlepas dari sejarah panjang penindasan dan penghisapan kaum tani di Indonesia dengan menerapkan sistem pertanian komersial. Sistem tersebut mengganti sistem ekonomi pertanian subsistem yang telah lama berkembang dimasyarakat. Subsistensi merupakan ciri dari sistem pertanian yang dijadikan sarana untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dengan skala terbatas dan tenaga kerjanya si pelaku usaha pertanian itu sendiri. Sistem tersebut mulai berkembang sejak adanya perdagangan hasil pertanian antar daerah dan antar pulau yang penguasaannya dimonopoli oleh raja-raja atau penguasa lokal dengan menguasai pelabuhan sebagai jalur perdagangan. Selanjutnya, dikembangkan secara masif oleh negara penjajah di negeri jajahannya dengan mengadopsi sistem kapitalisme agraria yang berkembang di negara – negara penjajah (eropa).

Komersialisasi pertanian diawali dengan penjelajahan yang dilakukan oleh bangsa – bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol dan Puncaknya Belanda untuk menguasai perdagangan hasil bumi di Nusantara. Pada tahun 1602 melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuman menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada tanah yang disewakan oleh VOC.

Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya. Sistem ini merupakan tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau perseorangan.

Perkembangan selanjutnya dengan diterapkan sistem tanam paksa yang dimotori oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch. Sistem tanam paksa jika kita telusuri mengandung maksud wajib dan paksa. Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan wajib mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan tenaganya untuk kerja diperkebunan. Sistem tanam paksa ini berhasil menyumbang 841 juta gulden kepada Pemerintah Hindia Belanda, sementara itu ditingkat rakyat terserang wabah penyakit dan kelaparan yang sangat hebat. Karena keberhasilan Sistem Tanam Paksa tersebut mengundang kaum liberal yang didominasi oleh Pengusaha Swasta mendorong agar pihak swasta untuk ikut terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Puncaknya dengan dikeluarkannya Undang – Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 (Agraris Wetch). Undang – Undang tersebut mengatur pihak swasta untuk ikut secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya. Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah kemudian didatangkan dari jawa yang dikenal dengan kuli kontrak.
Pada masa Jepang menjajah Nusantara dengan menggantikan penjajahan Belanda, orientasi dari usaha perkebunan berubah dari jenis komoditi ke jenis tanaman pangan. Sehingga, beberapa perkebunan dikonversi menjadi tanaman pangan.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan negara – bangsa yang bernama Republik Indonesia, perkebunan – perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa tempat direbut oleh kaum tani. Namun demikian, melalui KMB (Konferensi Meja Bundar) kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kembali kepada perusahaan – perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Presiden Soekarno melakukan aksi sepihak dengan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing. Lahirnya, UUPA No. 5 tahun 1960 lahir untuk mengatasi dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi dasarnya tanah untuk penggarap merupakan angin segar bagi kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Sayangnya, belum sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th. 1960 dengan salah satunya meredistribusikan perkebunan skala besar yang ditinggalkan oleh Penjajah. Presiden Soekarno kekuasaannya direbut oleh Jendral Besar Soeharto melalui kudeta atas konspirasi negara penjajah pipinan AS dan Inggris.

Pada massa presiden Soeharto perkebunan mulai digalakan dengan mengunakan tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan dan salah satu undang-undangnya adalah di terbitkanya UUPMA yang sangat pro modal. Perkembangan perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, Salah satu konsep yang diterapkan adalah pola PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan plasma. Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Pada tahap ini mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam skema perusahaan. Pada masa pemerintahan megawati kemudian pemerintah menerbitakan UU Perkebunan yang sangat pro pada pemodal sementara pemerintahan SBY-Kalla menerapkan konsep revitalisasi perkebunan yang tidak mempengaruhi apapun karena semangatnya masih tetap pada konsep lama dimana masih diberikan kekuasan sepenuhnya kepada pemodal untuk mengusai dan pemain utama dalam perkebunan.
Dapat disimpulkan bahwa perkebunan skala besar memiliki beberapa syarat pokok yaitu perkebunan membutuhkan lahan yang luas, Tenaga kerja massal, Birokrasi yang efektif , teknologi yang tinggi, dan managemen yang modern.

Kondisi Petani Plasma Hari Ini
Konsep perkebunan inti rakyat/plasma (PIR) diterapkan dalam beberapa skema antara lain skema NES ( Nucleus Estate Smalholder) yang dibiayai oleh Bank Dunia pada tahun 1977, selanjutnya dikenal program PIR trans dimana perkebunan rakyat dipadukan dengan transmigrasi melaui inpres / 1/ tahun 1985. Pada tahun 1995 kemudian juga dikenalkan konsep KKPA ( Koperasi Kredit Primer Anggota ) yang sumber dananya 75 % berasal dari KLBI dan 25 % berasal dari Bank. Perkebunan skala besar khususnya sawit mulai semakin masif pembukaanya di Indonesia sejak tahun 1997- sampai sekarang. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif (biofuel). Hingga saat ini Indonesia memiliki luasan kebun sawit hampir 7,6 juta pada tahun 2007 dan akan melakukan ekspansi lagi dengan target luasan sampai dengan 20 juta ha untuk seluruh Indonesia hingga tahun 2025. Sementara ekspor CPO pada tahun 2006 mencapai 12,1 juta ton dan pada tahun 2007 Indonesai kemudian menjadi negara pengekspor terbesar didunia mengalahkan Malaysia. Dari jumlah luasan sawit tersebut hanya dikuasai oleh 8 holding perusahaan swasta besar yang menguasai 54 % sementara perkebunan milik pemerintah mengusai 12 % dan perkebunan rakyat menguasai 34 % pada tahun 2006 (data Sumber: Dirjenbun dalam BisInfocus 2006) . Dari 54 % pengusaan lahan oleh swasta 75,9% dikusasi oleh pihak asing terutama pengusaha asal Malaysia. Kontrol terhadap tanah mereka dapatkan melaui pengusaan HGU ( hak guna usaha ) yang diterbitkan oleh pemerintah bagi Pengusaha Perkebunan untuk memonopoli tanah hingga ratusan tahun dengan dikeluarkanya UUPM pada tahun 2007.

Kondisi petani sawit hari ini merupakan bagian dari proses panjang perkembangan perkebunan skala besar yang mopolistik dimana dalam membangun perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit dibutuhkan syarat – syarat yang harus terpenuhi seperti yang dipaparkan sebelumnya. Tanah yang berada dalam satu areal hamparan yang sangat luas menjadi salah satu syarat pokok dalam membangun perkebunan kelapa sawit, sementara sesunguhnya tanah-tanah yang ada di Indonesia sudah dikuasai oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara tradisional dan turun temurun. Sehingga untuk memperoleh tanah-tanah yang luas tersebut sebagai syarat untuk pembukaan kebun sawit dilakukan dengan cara-perampasan hal ini bisa dibuktikan dalam mendapatkan tanah yang luas perusahaan perkebunan melakukan; (1) perampasan tanah dan kekayaan alam rakyat dengan cara kekerasan;(2) Perampasan menggunakan keterbelakangan masyarakat dengan cara menipu dengan pesona janji;(3) Perampasan dengan berkedok jual beli tanah (ganti rugi). Disamping itu dalam operasi merampas tanah masyarakat, Perusahaan mendapatkan previlege dari negara melalui kebijakan – kebijakan yang dibuat dan juga menurunkan aparatusnya (aparat birokrasi, aparat kepolisian dan aparat negara).

Hingga saat ini jumlah petani sawit di Indonesai ada sekitar 3 juta orang (Dirjenbun 2006) dan mengusai 34 % luasan kebun, namun sayangnya petani belum menduduki posisi yang strategis dalam hal menentukan kebijakan perkebunan sawit. Sejak awal mereka ditipu dengan janji kesejahteraan ketika menjadi petani sawit. Masyarakat harus memberikan dan menyerahkan tanah untuk mendapatkan kebun sawit biasanya harus menyerahkan lahan 7,5 ha atau lebih untuk mendapatkan kebun sawit seluas 2 ha. Tapi kebun tersebut bukannya diperoleh secara gratis tapi harus dibayar dengan utang kredit yang ditentukan oleh perusahaan dan pemerintah tanpa berkonsultasi dengan petani. Persoalan makin rumit ketika masa konversi dimana kebun yang diserahkan tidak layak ataupun konversi sengaja diperlambat dan di ulur-ulur. Belum lagi ketika mereka sudah menerima kebun insfrastruktur kebun petani sangat tidak layak dimana jalan dan fasilitas kebun yang tidak dibangun, sarana produksi berupa pupuk juga sangat sulit di dapatkan, lembaga KUD yang menjadi organisasi ekonomi petani justru melakukan penghisapan terhadap anggota petani, pelatihan budidaya kebun yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan sama sekali tidak diberikan. Hal ini mengakibatkan produktifitas petani sangat rendah sementara pemotongan biaya harga mutu TBS dilakukan oleh perusahaan. Dalam penentuan harga juga petani tidak dilibatkan dalam menentukan komponen harga TBS.
Sistem hari ini apabila dibandingkan dengan sistem tanam paksa pada jaman kolonial masih memiliki beberapa keuntungan dimana status lahan pada jaman tanam paksa masih dimiliki oleh petani, sementara pada pola PIR seluruh tanah petani diserahkan keperusahaan dan dikembalikan hanya 2 ha untuk petani plasma itupun harus dibayar dengan kredit sementara sis tanahnya menjadi bagain dari kebun inti yang di HGU kan oleh perusahaan dan dinggap sebagai tanah negara. Pada Sistem tanam paksa bibit dan alat kerja di sediakan oleh pemerintah kolonial sementara pada pola PIR bibit dan segala macam keperluan kebun harus dibayar melaui kredit oleh petani.

Kondisi tersebut sengaja diarahkan oleh kaum kapitalis monopolis untuk menguasai kontrol akan tanah dan mengarah pada kemiskinan akibat tidak adanya alat produksi oleh petani sehingga akan menjadi buruh di perkebunan dengan upah yang rendah. Perusahaan inti merupakan centrum (pusat) kegiatan perkebunan dimana kebun plasma milik petani sangat tergantung pada kebun inti karena kebun plasma hanya merupakan unit-unit kecil pendukung kebun inti. Hubungan produksinya bersifat vertikal sehingga hubungan antar unit-unit kebun plasma terputus dan sulit mengkonsolidasikan diri.

Sistem Perkebunan Skala Besar Merupakan Penguasaan Tanah Oleh Tuan Tanah Tipe Baru.
Sistem perkebunan skala besar kelapa sawit mewarisi sistem ekonomi politik usang yang mengandalkan monopoli atas tanah (sistem ekonomi politik feodal) dengan menjadikan pemilik perkebunan sebagai tuan tanah yang memonopoli penguasaan tanah yang sangat luas, serta mengendalikan kekuasaan Politik diwilayah tersebut. Pemenuhan kebutuhan sangat berorientasi pasar dengan upaya pemenuhan komsumsi negara-negara barat sementara kebutuhan di tingkat rakyat bukan menjadi tujuan utama pembangunan perkebunan sawit. Contoh sederhananya pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri yang sangat susah didapatkan kalaupun ada dengan harga yang mahal hingga mencapai 10.000 / liter. Dalam relasi produksinya perkebunan besar menggunakan sistem kapitalisme dengan mempekerjakan buruh yang dibayar dengan uang. Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa majikan didalam pemilik perusahaan perkebunan merupakan tuan tanah ”tipe baru” baik yang dijalankan oleh perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Istilah tuan tanah ”tipe baru” digunakan karena perusahaan perkebunan menguasai tanah yang sangat luas, dia tidak bekerja ditanah tersebut secara langsung dan hasilnya sangat berlebih yang diambil dari penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh dan petani berupa nilai lebih dengan mengambil waktu dan hasil kerja kaum buruh, serta produk lebih dengan mengambil hasil produksi yang dari petani kelapa sawit (Monopoli proses budidaya dan monopoli hasil produksinya). Jadi, tuan tanah ”tipe baru” dalam relasi produksi didalam sistem perkebunan skala besar merupakan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem ini dan petani sawit hanya menjadi objek hisapan untuk pemenuhan kebutuhan TBS. Perusahaan mendapatkan nilai lebih dari selisih harga CPO ( Rp. 8000 ) dan kernel (Rp. 4500 / kg) sementara petani hanya memperoleh harga TBS dengan harga yang sangat rendah yaitu berkisar pada harga Rp. 1500- Rp. 2000 / Kg sebelum di potong dengan mutu TBS yang di terapkan oleh perusahaan.

Yang Paling Diuntungkan Oleh Sistem Perkebunan Sawit Skala Besar
Struktur sosial yang ada di perkebunan sawit yaitu terdiri dari 1).Tuan tanah tipe baru atau perusahaan yang memonopoli tanah 2). petani sawit ( plasma yang di bagi dalam 3 kategori yaitu buruh tani, petani plasma, dan petani bertanah / non sawit, 3) dan buruh industri merupakan sistem sosial yang ada di perkebunan sawit hari ini. Apabila dilihat dari sudut kepentingannya jelas yang paling berkepentingan adalah pihak perusahaan perkebunan karena mereka yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari sistem tersebut. Disusul oleh elit – elit yang menjadi parasit yang diuntungkan oleh sistem tersebut. Sedangkan buruh kebun / tani, petani plasma, buruh industri perkebunan merupakan pihak yang hadir dipaksa oleh sistem tersebut dan keadaan saat ini sudah menjadi bagian yang terlanjur berada dalam lingkaran sistem perkebunan skala besar dan masyarakat lain terutama petani non plasma / non sawit merupakan pihak yang tidak terlalu berkepentingan terhadap sistem tersebut karena tidak memiliki relasi langsung terhadap sistem perkebunan tersebut, namun demikian sebagai bagian kolektif kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk perluasan perkebunan ataupun dihambatnya proses produksi (budidaya).

Menggalang Persatuan Melawan Sistem Perkebunan Skala Besar
Dari pemaparan sejarah dan kondisi petani sawit hari ini dimana petani sawit belum mempunyai posisi yang kuat secara politik dan ekonomi akibat pengusaan lahan yang dimonopoli oleh kaum kapitalis melaui kaki tangan yang ditancapkan yaitu birokrasi negara dan kaum –kaum parasit ditingkat desa merupakan kaum yang sangat diuntungkan dalam perkebunan sawit skala besar. Situasi hari ini dimana posisi petani plasma telah masuk dalam sistem ini harus berusaha keras untuk keluar dari ikatan sistem perkebunan skala besar tersebut dengan melakukan perbaikan terhadap kondisi kebun dengan mengupayakan penyediaan sarana produksi dan infrasrtuktur kebun baik dengan upaya swadaya sendiri ataupun menuntut tanggung jawab perusahaan. Pemenuhan akan pupuk bersubsidi bagi petani dan penyediaan benih yang gratis bagi petani mutlak harus dilakukan oleh negara untuk meningkatkan produktivitas petani. Dalam waktu kedepan perjuangan melawan kaum penidas tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara sektoral oleh petani plasma sendiri, tapi penting untuk mengalang kekuatan rakyat dengan memadukan kekuatan buruh, tani, pemuda dan mahasiswa serta kaum perempuan. Tujuan utamanya adalah menghancurkan kekuasan feodalistik yang merupakan watak yang paling menonjol dalam sistem perkebunan skala besar yang dikuasai oleh tuan tanah tipe baru dan membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan imprealisme. Perjuangan demokratis adalah perjuangan yang memiliki karakter luas, menghimpun segenap potensi demokratis massa dari seluruh sektor, semua golongan untuk bersatu padu merebut hak-hak demokratis yang selama ini belum dipenuhi oleh pemerintah yang berkuasa.

Sumber :http://waseng.wordpress.com/sistem-perkebunan-skala-besar-“sejarah-penjajahan-yang-berulang”
Share this article :
 
Kaur Semende Maje Nasal : Semende | imrodili | Surel
Copyright © 2010. KAUR SEMENDE - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger Published by Dracoola Media
Thanks To LoenBun