Tab-menu

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selamat Tahun baru




Selamat Tahun Baru
(Semoga Tahun ini lebih baik dari Tahun kemaren)



Selamat Buat Teman-temanku yang telah Lulus PNS

Hari ini aku bolak-balik membaca Surat kabar harian Bengkulu, tak lain tak bukan melihat kolom Pengumuman Hasil pengumuman CPNS, walaupun aku tak ukut tes....belum ada minat he..he...
dari pengumuman itu saya membaca nama teman-teman mayoritas yan ikut lulus semua diantaranya, siska, erni, erlianto, dian, milyan, titin, dan masih banyak lagi. saya ikut senang karena mereka telah berhasil menutut Orang tua kita. "kunci berhasil adalah Lulus PNS", mudah-mudahan dalam penentuan kelulusan kaur adalah murni dan trasnparan, aku tidak menuduh.....saya lebih bersyukur lagi kalau kelulusan ini adalah murni...tapi satu saat akan aku buktikan pada teman-teman ini mereka lulus murni atau tidak.
Kalau kaur ingin maju hilangkanlah dari perekrutan PNS memakai uang....tapi satu fakta yang aku dengar dari salah satu orang yang lulus dari PNS tapi bukan teman ini ia mengeluarkan uang sebesar 70 jt agar dia lulus dan ternyata benar dia lulus, enatah dia lulus karena uang itu atau dia memang lulus murni andaipun dia tidak mengeluarkan uang dia tetao juga lulus.
Selamat ya buat teman-teman....................




Konsep siaga Bencana berbasis masyarakat

Kesiap-siagaan ,masyarakat dalam menghadapi bencana upaya pemberdayaan masyarakat agar mampu berinisiatif untuk melakukan tindakan. Kesiapsigaan masyrakat dapat dilkukan melalui pembekalan pengetahuan dan informasi menegenai bencana dan keterapilan untuk pengelolaan bencana. Dengan kesiapsigaan masyarakat, semua potensi dan sumber daya masyarakat dapat dimobilisasi (oleh masyarakat itu sendiri) untuk menghadapi bencana. Dengan demikian masyarakat dapat meminimalkan dampak sosial ekonomi terjadi bencanaDalam hal ini ulayat yang berkerjasama dengan Care indonesia telah melakukan pelatihan dasar managemen risiko bencana dan proyek sphere selama 5 hari pada tanggal 9-14 Desember 2007 di Hotel Rio Asri Bengku kegiatan bertujuan untuk menerapkan seperti konsep diatas, dengan melibatkan berbagai instansi pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah yang harapannya adalah informsi yang didapat, dapat disampaikan secara langung baik melaui intsansi itu sendiri maupun secara person ataupun didalam keluarganya itu sendiri.untuk lebih lengkap dapat di lihat pada blog palang hujau.


PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM MENURUT ADAT SEMENDE

Masyarakat adat suku Semende Marga Ulu Nasal Di Desa muara Dua, merupakan komunitas adat yang masih arif dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayahnya. Kearifan dan pengetahuan lokal tersebut telihat ketika dalam pemilihan lokasi hutan yang akan dikelolanya, dan mereka sadar bahwa lahan yang sudah dibuka harus di hutankan kembali yaitu dengan menananam tanaman keras dan secara fungsi ekologisnya sama dengan tumbuhan hutan.

Dalam sistem pengelolaan sumber daya alam masyarakat ini telah menerapkan sistem pengelolaaan sumber daya alam yang berorentasi pada kepentingan lokal/adat yang tinggal di dalam dan atau disekitarnya yang menerapkan kelestarian dan daya dukung lingkungan, yaitu pola pengelolaaan sumber daya alam yang berasaskan pada prinsip-prinsip Sustainabillity. Masyarakat suku semende juga mempunyai ciri mungkin sama dengan masyarakat Adat lainnya Umumnya Sumatera dalam pengelolaan SDA setiap pembukaan lahan meraka mengikuti pola dari kebun, menjadi Talun dan akhirnya sampai hutan lagi lalu mereka tinggalkan mereka akan membuka lahan baru lagi yang mereka anggap masih subur dalam wilayahnya tersebut, tapi suatu saat mereka akan kembali lagi ketempat yang tadinya mereka hutankan untuk membuka dan mengelolanya begitu seterusnya.

Berdasarkan pola-pola pemanfaatan SDA diatas masyarakat adat semende ini membagi atas jenis hutan :

1. Hutan larangan (Hutan Lindung Adat)

Bagi penduduk desa muara dua suku semende lembak, hutan yang merupakan tempat mata air dilarang dibuka karena kepercayaan mereka bahwa daerah tersebut daerah ulu tulung buntu dimana di tempat itu tempat bermukim makhluk halus/gaib. Bila tempat tersebut dibuka maka makluk halus akan menyerang sipembuka beserta anggota keluarganya serta akan mendapat celaan dari masyarakat adat yang mengetahuinya.

Hutan cadangan (Kawasan keloala Rakkyat)

Hutan ini warisan nenek moyang yang mempunyai telah mempunyai hak milik dan diperuntukan bagi anak cucu mereka.

Hepangan (Repong)

Hepangan adalah luasan lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman buah seperti durian, duku, tembedak, manggis dan lain-lain. Pada hepangan ini berbagai jenis tumbuhan hutan seperti berbagai jenis kayu, rotan dan lain-lain sengaja dibiarkan tumbuh. Hepangan ini warisan dari leluhur yang dititipkan kepada tunggu tubang sebagai pengelola, sedangkan kepemilikannya milik semua ahli waris dari generasi kegenerasi. Semua ahli waris akan menjaga hepangan ini dari tindakan-tindakan yang akan merusaknya. Bila ada ancaman kerusakan yang disebabkan oleh manusia termasuk oleh salah satu ahli waris maka semua ahli waris akan bertindak mencegahnya bahkan bila mungkin mengusirnya.

Himbe (Hutan primer)

Himbe yaitu hutan yang belum pernah dibuka atau dikelola oeh manusia .

Belukae (Hutan skunder)

Hutan ini menurut adat semende terdiri atas belukae mude, belukae tue

belukae mude yaitu areal/lahan yang baru mereka tinggalkan dimana pada lahan tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon semak/perdu. Lahan ini umumnya ditinggalkan berkisar 1- 10 tahun. Sedangkan belukae tue lahan yang ditinggalkan dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu diatas 10 tahun, sehingga telah menjadi hutan bahkan sudah seperti hutan primer. Lahan-lahan ini secara adat ditetapkan milik sipembuka pertama. Bila terjadi pelanggaran maka pelanggar akan diadili secara adat yang diberi sanksi berupa pengusiran dari lokasi tersebut.

Sudah menjadi tradisi mereka bahwa orang pertama yang membuka hutan adalah pemilik yang berhak atas lahan hutan itu. Proses pembukaan hutan diawali dengan pamitan/izin survei lokasi kepada pimpinan adat dan kemudian melakukan ritual adat. Hutan yang akan dijadikan lahan garapan dipilih pada areal-areal yang relatif datar dengan kondisi lahan yang masih subur dengan melihat warna tanah, kotoran cacing dan jenis pohon yang tumbuh diatasnya. Jenis tanah yang mereka pilih berwarna hitam hingga coklat kekuningan, kotoran cacing yang banyak menunjukan bahwa tanah tersebut subur, sementara jenis pohon yang tumbuh diatasnya berupa kayu-kayu lempung sejenis Meranti.

Pembukaan lahan ini dilakukan dengan cara berkelompok yang masing-masing masih memiliki kekerabatan dekat (keterkaitan keluarga). Sebelum melakukan pembukaan lahan terlebih dahulu mereka membagi lahan dengan cara memberi tanda batas lahan masing-masing pembagian yang mereka sebut rintis. Setelah membuat rintis mereka memulai menebangi pohon-pohon kecil (nebas).

Setelah selesai menebas untuk sementara mereka membiarkannya selama lebih kurang 3 bulan yang disebut gantung akae, maksudnya agar akar yang merambat diantara pepohonan yang mereka tebas dibiarkan lapuk terlebih dahulu. Setelah selesai proses gantung akae maka mereka melakukan penebangan terhadap pohon-pohon besar. Biasanya dalam proses penebangan mereka bergotong royong. Selesai menebang pohon-pohon besar ini, dilakukan pemotongan terhadap cabang-cabangnya yang mereka sebut meredah, lalu dilakukan proses pengeringan dengan membiarkan beberapa waktu agar pohon-pohon yang sudah ditebang menjadi kering dalam bahasa mereka ampae hebe. Ampae hebe berlangsung lebih kurang 2 sampai 3 bulan tergantung cuaca, untuk kemudian dilakukan pembakaran.

Proses pembakaran dilakukan dengan terkendali untuk mencegah kebakaran yang lebih luas, dalam kurun waktu ampae hebe mereka membuat sekat bakar yang disebut pengekasan. Pembuatan sekat bakar ini umumnya dilakukan pada sekeliling lahan dengan lebar sekat 4 depe (5 meter).

Pembakaran lokasi secara adat terlebih dahulu dilakukan ritual atau upacara jampi ayik, dimana air dengan ukuran 3 liter diberi mantera lalu dipercik-percikan pada sekeliling dengan maksud agar api tidak menyebar atau menjalar ketempat lain yang tidak diinginkan. Setelah upacara selesai maka dilakukan pembakaran lahan, pembakaran lahan ini biasanya dilakukan pagi hari atau sore hari dengan pertimbangan kelembaban udara tinggi dan hembusan angin tidak kencang. Penyulutan api dengan menggunakan musal bambu yang dimulai dari melawan arah angin, titik mata api diupayakan sebanyak mungkin maksudnya agar nyala api tidak terlalu besar.

Kegiatan selanjutnya adalah manduk. Manduk adalah membersihkan lahan dari sisa-sisa pohon yang tidak terbakar. Sisa-sisa pohon seperti cabang, ranting, pohon-pohon kayu yang ukurannya relatif kecil digunduk-gundukan lalu dibakar. Setelah beberapa hari dari proses pembersihan lahan ini dimana kodisi lahan sudah tidak hangat/panas akibat pembakaran maka kaum perempuan mulai menaburkan benih sayur-mayur seperti, cabe (Capsicum annum L) , Terong (Solanum spp.), tomat (Eugenia spp.) Timun (Cucumus sativus L), pepaya (Carica papaya) dll. Tindakan selanjutnya adalah penugalan dengan menggunakan kayu sejenis pancang yang diruncing ujungnya (tanam padi darat). Penugalan ini diawali dengan upacara Ritual Nembai Nugal. Upacara ini dimaksudkan agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik dan terbebas dari serangan hama dan penyakit. Dalam upacara ini disediakan sejenis sesajian berupa Serabi empat puluh, bubue sembilan, lemang tujuh batang, satu bumbung air, junjung dan benih-benih padi yang direndam dengan air selasih atau kemangi. Lalu baca mantera tolak bala. Selanjutnya penugalan dengan tujuh mata tugal yang diisi dengan benih padi. Setelah itu segala kegiatan dilahan tersebut diistirahatkan selama 7 hari. Kemudian kegiatan penugalan dilanjutkan hingga selesai. Dalam masa pemeliharaan tanaman padi ini biasanya digunakan untuk membuat gubuk peristirahatan.

Masa panen padi setelah padi berumur 6 bulan. Panen padi juga diawali dengan upacara ritual nembai ngetam. Sesajian ini berupa serabi 40, bubue 9, lemang 7 batang, air satu gelas. Lalu dibaca mantera dengan membakar menyan. Upacara ini diakhiri dengan menuai padi sebanyak 7 langgum (kepalan tangan).

Selesai panen padi kegiatan seterusnya munggas yaitu membersihkan batang-batang padi dari lahan. Lalu lahan tersebut ditanami dengan tanaman kebun seperti cengkeh (Eugenia aromatica), kopi (Coffea arabica), lada (Piper ninglum L.) sebagai tanaman pokok . Disamping itu juga mereka menanaman tanaman keras seperti Durian (Durio zebitinus), manggis (Garcinia mangostana), Duku (Lansium spp.), petai (Parkia speciosa), Rambutan (Nephylium lappaceum L.) dll. Tanaman buah-buahan ini mereka tanam karena mereka sadar bahwa tanaman kebun tersebut dalam waktu relatif singkat (7 – 10 tahun) tidak akan produktif lagi, dan tanaman buah-buahan akan mulai menghasilkan. Tanaman buah-buahan ini mereka sebut hepangan. Pada hepangan ini akan tumbuh berbagai jenis tumbuhan hutan seperti kayu, rotan dll. Hepangan ini akan diwariskan dari generasi kegenerasi.

Tunggu Tubang

Masyarakat adat suku semende lembak desa muara dua menganut adat tunggu tubang.

Dalam adat tunggu tubang tidak ada pembagian warisan. Harta warisan yang ditinggalkan secara langsung akan diturunkan dari generasi kegenerasi (harta warisan akan diwariskan pada tunggu tubang-tunggu tubang generasi selanjutnya yaitu anak perempuan tertua dari keturunan tunggu tubang) . Tunggu tubang adalah ahli waris yang mempunyai hak kelola terhadap semua harta warisan, sementara hak milik tetap pada semua ahli waris (anak-anak pewaris).

Dalam adat suku semende lembak desa muara dua, tunggu tubang adalah anak perempuan tertua, semenetara anak laki adalah jenang jurai (pemimpin keluarga). Jenang jurai ini didalam memimpin keluarga dibawah naungan dan kontrol meraje/ payung jurai (saudara laki-laki dari ibu). Persoalan-persolan keluarga dalam adat tunggu tubang ini diselesaikan melalui musyawarah angota keluarga.

Harta warisan ini secara adat tidak dapat diperjual belikan karena menurut kepercayaan mereka akan memutuskan amalan orang tua, dan akan mendapat hukuman/kutukan dari yang maha kuasa. Disamping itu harta warisan ini adalah simbol sejarah dan aset perekat atau pemersatu keluarga.



Album keluarga Ku


Album ini ketika Usia aku baru 5 Tahun.
Bapak dan Ibu masih terlihat Gagah.
Sedangkan di depanku adalah adek Perempuanku
aku merasa sangat kasihan sekali dia diturunkan kedunia karena menanggung penderitaan, walaupun usianya sudah 2 Tahun dia hanya bisa menagis. jangankan untuk bisa duduk telungkup aj seperti itu susah, dia Cacat Lumpuh.
Mungkin Allah kasihan melihat dia, akhirnya Allah kembali Mengambilnya.

Kampung Ku Sayang

Aku mencoba sedikit untuk bercerita tentang kampungku.

Sejarah Kampungku.
Aku akan memulai cerita ini pada Tahun 1987an.
sebenarnya kampungku sudah ada sebelum tahun 1987 tepatntnya di Tepi sungai Air Nasal bersebelahan dengan Desa Tj. Betuah, menurut cerita bapak, dulu anatara Desa Tj. Beringin dan Tj. Baru (benteng) selalu ada perkelahian antar masyarakat hal ini disebkan karena saling mengolok-olok bahasa,

Pada Tahun 1987 terjadi banjir Besar yang mengakibatkan kerugian cukup besar bagi masyarakat tj. Beringin dan Tj Baru, Menurut ibu, keluarga kami juga mengalami kerugian yang cukup besar juga, Kopi yang di titipkan pada Wak (kakak Ibu) sebanyak 3 Ton (3000kg) terbawa oleh air semua padahal kopi itu merupakan hasil pertama Bapak dan Ibuku berkebun, saat itu harga Kopi cukup mahal yaitu 8000 rupiah per kilogramnya, tapi harga motor aja masih 3000jtan, harga minyak tanah 200/ltr, semen 2500/sak, jadi harga kopi saat itu sangat membantu sekali karena 1 kg aj dapat di tukar dengan banyak kebutuhan.

Usulan dari Kades (arjo) ke Dinas Sosial pada saat itu adalah Ibu Haryati Subagio sebagai Mensos, agar Desa ini dipindahkan, Pihak pemerintah menanggapinya bahakan Ibu menteri langsung terjun kelapangan untuk menyakisikan dan meresmikan Perpindahan Desa kami.
Masih Tahun 1987 Akhirnya Kampungku dipindahkan ke Wilayah Maje lebih kurang 5 km dari desa sebelumnya, pada saat itu umurku 4 tahun...
aku merasa kurang nyaman sekali di daerah ini,karena udaranya sangat panas sekali dan tidak ada lagi tempat mencari ikan karena jauh dari air sungai.

Tahun berganti Tahun Umurku memasuki Usia sekolah, Pada memasuki umur 7 Tahun aku disekolahkan oleh bapak ibuku di SDN Tanjung beringin saat itu SDN tanjung beringin masih bergabung dengan SDN TJ. Baru, SDN Tj. beringin masuknya siang dan Tj. Baru Pagi. awalnya kami masih saling menerima dua sekolah dalam 1 tempat karena belum lama di landa banjir...tapi suasananya sangat memanas, mulai timbul komplik antar suku lagi, akhirnya pada saat itu kepala sekolahnnya Pak Hasan mengusulkan untuk bangun sekolah Baru SDN tj. beringin.akhirnya di penuhi...pada saat aku kelas 2 SD.


Tahun-tahun Berganti....
Rindu kehidupan di kampung…. dulu bahkan pernah terbersit keinginan untuk tidak kembali kekampung halamanku, kekurangan fasilitas yang menghambat kemajuan, kesulitan mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan, perasaan tidak aman karena keprimitifan pola pikir sebagian masyarakat kampungku yang masih menganggap suku mereka yang terbaik sehingga sering memancing keributan, kecemburun sebagian masyarakat yang malas bekerja terhadap keberhasilan pendatang yang tekun bekerja yang juga sering memancing keributan juga, benar-benar membuatku ingin tinggal sejauh jauhnya dari kampung halamanku itu, tapi…tidak untuk saat ini, aku begitu ingin berada disana, berjuang bersama masyarakatku untuk memajukan kampung halmanku. maafkan aku kampung halamanku, jika aku sempat melupakanmu…jika aku tak kembali, lalu siapa yang akan memperbaikimu, siapa yang akan memajukanmu? Siapa yang akan menjadikanmu sebagai kebanggaan?


Hal-hal yang sangat aku sayangkan dari kampung halamanku kesadaran sebagian besar masyarakat yang masih kurang untuk memberikan pendidikan bagi putra-putri mereka padahal bila dilihat dari sisi finansial mereka mampu untuk menghantarkan para generasi penerus bangsa itu hingga mencapai jenjang perguruan tinggi, Mungkin segala sesuatu memang membutuhkan proses….semoga saja aku dan juga teman-teman yang sekarang sedang menempuh pendidikan bisa memberikan contoh yang baik dan menjadi motivator bagi masyarakat dilingkungan sekitar bahwa penddikan adalah perlu tidak hanya untuk menggapai cita-cita tetapi juga sebagai sarana pembelajaran dalam kehidupan.

Di samping itu juga kesediahan yang mendalam buat diriku adalah disaat-saat ibu dan Babakku ingin sekali menyekolahkan anaknya, namun anaknya tidak mau lagi sekolah dengan alasan tidak mampu lagi menghadapi buku...hal ini juga banyak terjadi pada orang tua lain.
semoga tulisan ini menjadikan inspirasi....

MEMBANGUN SYSTEM PENGAMAN HUTAN

Masyarakat lokal memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya. Hal ini tentu saja diatur dalam aturan-aturan adat yang berlaku didaerahnya masing-masing dan diwariskan secara turun temurun. Aturan-aturan ini tentunya telah mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungan sekitarnya. Namun aturan-aturan ini tentunya semakin memudar hal ini disebabkan banyaknya masyarakat dari luar yang datang dan sebagian masyarakat terpengaruh dengan budaya luar yang memilki kepentingan terhadap sumber daya alam yang terdapat didaerah mereka.Maraknya pembukaan hutan dan penebangan liar baik oleh para pendatang dari luar daerah maupun masyarakat lokal berdampak pada meningkatnya laju kerusakan hutan dan penurunan kualitas hutan yang berdampak pada ancaman, kekeringan, banjir, longsor, kebakaran hutan dan tidak stabilnya debit air.
Kegiatan dua bulan ini adalah Pendampingan dan memfasilitasi terbentuknya sistem pengaman hutan disekitar TNBBS khususnya Desa Ulak Bandung Dusun Air Kemang Kecamatan Muara Sahung Kabupaten Kaur propinsi bengkulu . Inisiasi Kelompok Pengaman Hutan di Desa Ulak Bandung merupakan tindak lanjut hasil perencanaan desa yang telah dilakukan bulan agustus tahun 2006.
Dengan semakin besarnya ancaman dan kerusakan hutan yang berdampak pada gangguan keseimbangan ekosistem TNBBS tentunya perlu disusun mekanisme bersama melalui proses-proses yang dapat mendorong dan memfasilitasi masyarakat untuk membangun mekanisme bersama dalam memaksimalkan dan memanfaatkan potensi-potensi yang dimiliki oleh desa/dusun, menyusun data bese desa-desa dikawasan penyanggah TNBBS utara, serta membangun kesadaran kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang terdapat kabupaten kaur, menginisiasi dan mendorong masyarakat untuk dapat meningkatkan perekonomian dan alternatif pendapatan lain: menginventarisir kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang dapat menjaga kelangsungan ekosistem dan bermanfaat bagi masyarakat: melakukan pendokumentasian terhadap aktifitas-masyarakat dan melakukan diseminasi informasi antara masyarakat dengan pemerintah dan para pihak.
Dalam rangka mendukung proses pencapaian tujuan diatas maka diperlukan k YUBajian kondisi dusun dari setiap aspek yang melibatkan seluruk unsur masyarakat desa/dusun, hal ini dikarenakan masyarakatlah yang lebih mengetahui dan memahami secara nyata tentang kondisi dusun/desa. kajian desa/dusun ini adalah melihat dan mengenali potensi desa, masalah desa, dan melihat peluang-peluang yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam memanfaatkan potensi dan menyelesaikan/mencari jalan keluar masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat, khususnya terhadap isu kehutanan.
Kegiatan ini juga sejalan dengan program pemerintah kabupaten kaur yang tertuang dalam melalui SK Bupati Nomor 318 Tahun 2006 tentang pembentukan tim terpadu pemberantasan ilegal logging.
Posting : www.ulayat.or.id

Kegiatan HUT di Desa Tj Beringin Kab.Kaur


Dalam Rangka Memerihakan Ulang Tahut Republik indonesia, beberapa kegiatan dilakasanakan setiap tahunya de Desa tanjung Beringin. Kegiatan ini terlaksana atas partisipasi Masyarakat Tras Sos Lalang Lebar. Kegiatan ini terlaksana atas sumbanagan dari masyarakat(KK) adapun bentuk kegiatanya adalah Bola Kaki, Bola Volly, Takraw, Bola kaki dangdut, Lari karung, sepeda tangkas, Gerak jalan indah, senam kesehatan, dan masih banyak lagi. pada malam 18 selalu diadakan malam Hiburan masyarakat.
Patut kita berbanga desa yang ada di kabuapten kaur hanya desa ini,yang bisa ngadakan even besar pertandingan,kecamatan saja kalah untuk peserta pemain dan penonton.
Semoga ini tetap berlanjut.....Hidup Tras sos Lalang Lebar...

Partisipasi Rakyat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

A. SEKILAS TENTANG TNBBS
Penetapan TNBBS
Kawasan Lindung Bukit Barisan Selatan (BBS) pada awalnya ditetapkan tahun 1935 sebagai Kawasan Suaka Marga Satwa, melalui Besluit Van der Gouvernour-Generat Van Nederlandseh Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SS I (Sumatra Selatan I). Selanjutnya pada 1 April 1979 kawasan BBS (Bukit Barisan Selatan) ini memperoleh setatus kawasan sebagai Kawasan Pelestarian Alam.
Pada tahun 1982 tepatnya, tanggal 14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/ 1982. Kemudian pada tahun 1997 melalui SK Menteri Kehutanan No. 185/Kpts-II/ 1997 tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).

Kawasan hutan TNBBS meliputi arela seluas + 356.800 Ha, membentang dari ujung selatan Bagian Barat Propinsi Lampung dan memanjang hingga wilayah Provinsi Bengkulu bagian selatan. Menurut Administrasi Pemerintahan kawasan ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tenggamus, Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Kaur Bengkulu. Bagian tengah hingga utara sebelah timur Taman Nasional Bukit Barisan Selatan berbatasan dengan Propinsi Sumatera Selatan.

Dari luasan tersebut kawasan taman nasional ini, 18 % luasnya merupakan wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu, sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan. No. 420/ Kpts-II/ 1999, tentang: penunjukan kawasan hutan di wilayah provinsi daerah tingkat I Bengkulu, yaitu seluas 64.711 Ha.

Fungsi Kawasan hutan kelompok hutan pelestarian alam ini sangat banyak antara lain, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Yang memiliki nilai manfaat secara ekonomi, sosial, budaya, dan estitika, baik dirasakan secara langsung maupun tidak.

Secara hidrologi, merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir kedaerah pemukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata air.


Wilayah Adat Semende
Dalam proses penetapannya menjadi kawasan Taman Nasional oleh Pemerintah RI, ada banyak konflik yang timbul berawal dari tidak diikutsertakannya masyarakat lokal/adat disekitar kawasan, terutama dalam proses penetapan tata batas. Ketidak ikutsertaan masyarakat adat ini menyebabkan hak-hak adat yang mempunyai kekuatan hukum atas wilayah adatnya tersebut juga ikut terabaikan bahkan tidak ada pengakuan sama sekali dari Pemerintah.
Di Bengkulu penetapan kawasan taman nasional telah banyak mendapat perotes dari masyarakat. Salah satunya, perotes dari masyarakat adat semende. Protes ini timbul karena hutan ulayat dan wilayah kelolah mereka di tetapkan menjadi kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Dengan ditetapkannya kawasan TNBBS di wilayah kelola mereka, masyarakat secara otomatis tidak dapat mengelola tanah kelolanya tersebut. Kebun yang sebelumnya dikelola dengan baik dan memberikan manfaat bagi mereka, tidak dapat dikelola kembali. Mereka tidak nyaman dan tenang dalam berusaha bahkan mereka secara paksa diusir dari wilayah tersebut.

Dalam undang-undang dasar 1945 dan perundangan yang mengikutinya jelas diatur dan diakui hak-hak masyarakat adat. Dalam Undang-Undang Kehutanan No. 41 tahun 1999 dijelaskan, Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Sebagai kekuatan hukum keberadaan Suku Semende Dusun Banding Agung di daerah ini adalah dengan adanya surat Pengakuan dari Pemerintah Belanda tertanggal 22 Agustus 1891 berupa Surat Keterangan yang ditandatangani langsung oleh Van Hille sebagai Contholeur Van Kauer ditujukan kepada Amat sebagai Depati Banding Agung yang bergelar Depati Matjan Negara yang isinya menerangkan bahwa Banding Agung (sebagai wilayah adat Semende) masuk dalam Marga Muara Nasal Bintuhan, Afdeling Kauer dan berada di luar Batas Boss Weizen (BW) serta bukti- bukti lapangan yang menunjukan bahwa lahan tersebut merupakan wilayah kelola mereka.

B. KEBIJAKSANAAN DAN STRATEGI BALAI
Berdasarkan INFORMASI MENGENAL TNBBS dari Balai-TNBBS, tentang kebijaksanaan sektor kehutanan, khususnya bidang perlindungan dan konservasi alam, ada berberapa hal yang dapat digunakan masyarakat untuk terlibat dan meminta dilakukannya revisi kawasan TNBBS, kebijaksanaan tersebut antaralain :
Pengelolaan TNBBS diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan, membangun dan memberdayakan masyarakat sekitar Taman Nasional.
Pengelolaan TNBBS dengan parardigma konservasi berbasis masyarakat (Community Based Conservation and Park Management) dilaksanakan dengan merubah fungsi zona-zona tertentu untuk memberikan lebih banyak akses masuk bagi masyarakat dan berperan serta aktif dalam pengelolaan.
Sesuai kebijaksanaan teknis tersebut, maka strategi pengelolaan TNBBS dikembangkan dengan menjalankan dan meningkatkan fungsi kawasan TNBBS yang titik prioritasnya, pengelolaan:
Dalam rangka meningkatkan pengelolaan dan menjalankan fungsi-fungsi kawasan diperlukan upaya-upaya pemantapan kawasan terutama tata batas;
Pengembangan TNBBS diarahkan tidak saja pada aspek-aspek lingkungan hidup, tetapi juga untuk perlindungan dan pembangunan masyarakat baik yang secara indigenous berada dalam kawasan maupun yang berada di sekitar kawasan TNBBS;
Dalam rangka pengelolaan TNBBS perlu terus digalang dan ditingkatkan upaya-upaya koordinasi dan kemitraan mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan;
Dalam rangka mencapai pengelolaan diperlukan uapaya-upaya pengenalan, pemberian informasi, penyamaan persepsi dan promosi untuk menarik minat, menumbuhkan apresiasi dan dukungan seluruh pihak terkait dan masyarakat luas terhadap keberadaan, integritas dan pengelolaan kawasan TNBBS.
C. MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pengurusan hutan di Indonesia bertujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Sedangkan Tujuan pengelolaan hutan adat oleh Masyarakat Hukum Adat adalah untuk mewujudkan keberadaan sumber daya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial budaya dan menjamin ekologi yang sehat dan lestari, serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata, khususnya terhadap anggota masyarakat hukum adat setempat dan atau sekitarnya.
Untuk mendapat hak melakukan pengelolaan hutannya, ada berberapa kriteria keberadaan masyarakat hukum adat yang harus dipenuhi, unsur-unsur tersebut antaralain:

Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap) dan bertempat tinggal di dalam wilayah hukum adat yang bersangkutan;
Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat (Struktur Kelembagaan Adat) yang masih berfungsi;
Mempunyai wilayah hutan adat yang jelas batas-batasnya dan diakui/disepakati oleh masyarakat dan antar masyarakat hukum adat di sekitarnya;
Ada pranata hukum adat yang berkaitan dengan hutan dan masih ditaati, dan masih diberlakukannya peradilan adat;
Masyarakat yang bersangkutan masih melaksanakan pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan di hutan sekitarnya untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari dan atau masih adanya hubungan religi dan hubungan kemasyarakatan dengan hutan adatnya.
Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan. Dan setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan.
D. HAK DAN KEWAJIBAN
Masyarakat adat dalam keikutsertaannya melakukan kontrol dan akses terhadap pengelolaan sumberdaya alam terutama hutan, menurut Rancangan Undang-undang tentang Hutan Adat disebutkan, masyarakat berhak :
Mengelola hutan yang berada dalam wilayah hukum adatnya;
Mempraktekkan pengetahuan, teknologi dan kearifan setempat dalam mengelola hutan;
Memperoleh pendampingan dan fasilitasi dari pemerintah dan atau pemerintah daerah dan LSM dalam rangka pemberdayaannya;
Memperoleh perlindungan dari pemerintah dan atau pemerintah daerah;
Berpartisipasi dalam pengurusan hutan dan pengawasan hutan.
Masyarakat Hukum Adat yang diakui keberadaannya wajib:
Memelihara dan menjaga hutan dari kerusakan;
Memanfaatkan hutan sesuai dengan fungsi pokoknya;
Melakukan rehabilitasi dan rekoisasi hutan adat;
Sesuai tahapan pemanfaatan hutan adat, membayar pajak bumi dan bangunan atas lahan hutan adat.
E. PARTISIPASI MASYARAKAT
Hutan adat sebagaimana yang diakui Undang-Undang Kehutanan adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Namun Masyarakat hukum adat akan diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dan dengan keberadaannya diberbolehkan:
Melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan
Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
Selain melakukan pengelolaan hutan di wilayah hukum adat, masyarakat juga dapat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan melalui pengelolaan Hutan Kemasyarakatan yaitu hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan dengan menitikberatkan kepentingan menyejahterakan masyarakat.
Kawasan hutan yang dapat dijadikan areal hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan produksi, hutan lindung dan kawasan pelestarian alam (termasuk TAMAN NASIONAL) pada zonasi tertentu, yang tidak dibebani hak-hak lain di bidang kehutanan.

F. PENUTUP
Kelemahan dalam pengelolaan yang selanjutnya menimbulkan permasalahan-permasalahan klasik yang menghambat pengembangan Taman Nasional di Bengkulu dan Indonesia secara umum adalah Penetapan kawasan Taman Nasional yang tidak melibatkan masyarakat disekitar hutan.
Kasus di Kabupaten Kaur, masyarakat adat semende harus rela diusir hanya karena mereka tidak terlibat dalam penetapan batas Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Semua orang mengetahui dan memahami bahwa aturan di Indonesia langkap dan cukup baik, jika semua dijalankan dengang sungguh-sungguh. Namun banyak hal yang mengakibatkan penyimpangannya. Karena itu, jika penegak hukum dan pemangku kebijakan tidak aktif dalam menerima aspirasi masyarakat maka masyarakat adat-lah yang harus aktif menyampaikan aspirasi dan keinginannya.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2005. Catatan WALHI 2005. Lingkunganku Lingkunganmu Lingkungan Kita Semua. Eksekutif Daerah WALHI Bengkulu. Bengkulu.
Anonim, ----, Mengenal TNBBS. Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kotaagung-Tanggamus Lampung.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Nomor: 420/ Kpts-II/ 1999. tentang: penunjukan kawasan hutan di wilayah Provinsi daerah tingkat I Bengkulu seluas 920.964 (sembilan ratus dua puluh ribu sembilan ratus enam puluh empat) Hektar. Jakarta.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan, 1999. Nomor: 677/Kpts-II/1998. tentang hutan kemasyarakatan. menteri kehutanan dan perkebunan. Jakarta.
Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2000. Tentang Hutan Adat. Jakarta.
Undang-undang Republik Indonesia, 1999. Undang-undang tentang Kehutanan Nomor: 41 tahun 1999. Depatremen Kehutanan. Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia, 2004. Undang-undang Tentang Pemerintahan Daerah Nomor: 32 tahun 2004. Jakarta.
Yohar.S, 2003. Peta Konflik pengelolaan sumberdaya Alam di Provinsi Bengkulu. Eksekutif daerah WALHI Bengkulu. Bengkulu.

--------------------------------------------------------------------------------

(*) Makalah disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya, Membangun Dukungan Multi Pihak dalam Pengelolaan Keruangan Kawasan TNBBS oleh Masyarakat Adat Suku Semende di Wilayah Kabupaten Kaur Provinsi Bengkulu. Diselenggarakan oleh Yayasan Konservasi Sumatera (YKS) Bengkulu. Tanggal 12 - 13 April 2006 di Gedung LPMP Jl. Zainul Arifin No. 01 Bengkulu.
(**) Direktur Eksekutif WALHI Bengkulu.

Informasi lebih lanjut silahkan menghubungi:
Jln. Letkol Santoso No. 60 A, RT 1 RW 1. Pasar Melintang Bengkulu 38115.
Telp/Fax : (0736) 347150.
Email : walhi_bkl@telkom.net

Suku Semende Gelar Upacara Adat

Masyarakat suku Semende dari berbagai daerah; Way Tenong (Lambar); Bukit Kemuning dan Tanjungraja (Lampura); Kasui (Way Kanan); Pagar Alam, Muara Enim, dan Palembang menggelar upacara adat (ritual) di Masjid Babus Salam, Simpang Mutar Alam, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat belum lama ini.

Upacara ritual yang disebut pangku peliare yaitu pembersihan benda pusaka serta doa bersama tolak bala masyarakat adat Semende itu dilaksanakan setiap 25 Muharam, di mana hari itu diyakini sebagai hari yang tenang.Upacara tersebut dihadiri Bupati Lampung Barat, Erwin Nizar, beserta rombongan dan camat setempat. Bahkan guna menggali budaya adat Semende, sehari sebelumnya ditempat yang sama, sekitar 300 orang berasal dari suku Semende mengadakan seminar dan diskusi panel dengan pembicara Drs. Ki. Thohlon Abdulraif (mantan dosen IAN Palembang) dan Hi. Bujang Kornawi dari Perdipe (Besemah) dengan moderator, Al-Hajar (ketua DPRD Tanggamus).

Ketua panitia pelaksana, Al-Hajar, mengatakan selain mengadakan doa bersama untuk tolak bala itu, masyarakat adat Semende dari berbagai daerah tersebut melakukan upacara penyerahan benda pusaka Puyang Awak, yang selama ini dipegang Abidun (sembilan gilir) kepada H. Efendi Ari, selaku penerima pemangku benda pusaka masyarakat adat Semende yang berdiam di Mutar Alam, Way Tenong.

Penyerahan benda pusaka kepada Hi. Efendi Ari ini merupakan amanat Puyang Awak, yang mengaku telah menanam keturunan suku Semende. Benda pusaka itu dipegang pemangku benda pusaka selama tujuh ganti sembilan gilir, di mana sebelumnya benda pusaka itu berada di keturunan Abidun yang berada di Ulu Nasal, Bengkulu Selatan.

Adapun benda pusaka adat Semende itu berupa: sekin, buk panjang, buk pendek khotbah, pecahan batu penyanggah Hajar Aswat, cap stami, cap bulan temanggal, dan kain. Benda pusaka tersebut merupakan milik anak cucu Puyang Awak yang dititipkan kepada Abidun dengan ketentuan.

Pertama, benda pusaka itu harus ditempatkan di ulu Way Besai, di mana tempat tersebut akan menjadi permukiman baru bagi anak cucu Puyang Awak (penanam suku Semende), di mana tempat yang diadakan ritual kini (Masjid Babus Salam), yang merupakan masjid asli suku Semende.

Masjid tersebut, kata dia, sebelumnya dibangun tahun 1964 oleh alm. Nurdiyah selaku cucu Abidun. Bentuk dan ragam serta lambang matahari pembangunan masjid ini dilaksanakan berdasarkan petunjuk Puyang Awak sebagai tanda milik suku Semende, yang harus berpusat kepada penyebaran agama Islam.

Petunjuk dari pangku peliare (benda pusaka) itu, masyarakat Semende harus mengadakan ritual yang dipusatkan kepada upacara keagamaan di masjid.

Masyarakat Adat Semende Resah, wilayah adat Masuk TNBBS

http://64.203.71.11/utama/news/0604/14/190046.htmdapat dilihat

Lagu

TARI DAN KERAJINAN JEME SEMENDE





Budaya Bintuhan (Semende)- Bengkulu Selatan Tempo Dulu

Diposting
http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/06/budaya-bintuhan-semende-tempo-dulu.html


Collectie: Westenenk, L.C.
Beschrijving: Gezaghebber van afdeling Kroeï, de heer J. Wetstejin, met het districthoofd en andere plaatselijke hoogwaardigheidbekleders (demang en pasirah) te Hoeloedanau
Albumtitel: Familiealbum van L.C. Westenenk
Detailbeschrijving: Familie L.C. Westenenk op reis van Padanggoetji naar Hoeloedanau boven Bintoeham
Trefwoorden: Bengkulu Selatan, civil administration, indigenous administration, Semende
Personen: Wetsteijn, J.
Formaat: 8,5x11,5cm
Uiterlijke vorm: Foto
Beginjaar vervaardiging: 1919-08-03
Eindjaar vervaardiging: 1919-08-14

Collectie: Westenenk, L.C.
Beschrijving: Publiek bij de pakan malam te Hoeloedanau, feest met danseressen uit alle dorpen tussen Moearasahoeng en Hoeloedanau
Albumtitel: Familiealbum van L.C. Westenenk
Detailbeschrijving: Familie L.C. Westenenk op reis van Padanggoetji naar Hoeloedanau boven Bintoeham
Trefwoorden: Bengkulu Selatan, feasts, Semende, women
Formaat: 8,5x11,5cm
Uiterlijke vorm: Foto
Beginjaar vervaardiging: 1919-08-03
Eindjaar vervaardiging: 1919-08-14

Collectie: Westenenk, L.C.
Beschrijving: Oud huis te Hoeloedanau, aangekocht door de heer L.C. Westenek vanwege het houtsnijwerk
Albumtitel: Familiealbum van L.C. Westenenk
Detailbeschrijving: Familie L.C. Westenenk op reis van Padanggoetji naar Hoeloedanau boven Bintoeham
Trefwoorden: Bengkulu Selatan, houses, woodcarvings
Formaat: 8,5x11,5cm
Uiterlijke vorm: Foto
Beginjaar vervaardiging: 1919-08-03
Eindjaar vervaardiging: 1919-08-14









Collectie: Westenenk, L.C.
Beschrijving: Publiek bij de pakan malam te Hoeloedanau, feest met danseressen uit alle dorpen tussen Moearasahoeng en Hoeloedanau
Albumtitel: Familiealbum van L.C. Westenenk
Detailbeschrijving: Familie L.C. Westenenk op reis van Padanggoetji naar Hoeloedanau boven Bintoeham
Trefwoorden: Bengkulu Selatan, children, feasts, Semende
Formaat: 8,5x11,5cm
Uiterlijke vorm: Foto
Beginjaar vervaardiging: 1919-08-03
Eindjaar vervaardiging: 1919-08-14

TANAH KELAHIRAN SEMENDE ULU NASAL





CAGAR ALAM DANAU DUSUN BESAR

Sejarah
Cagar Alam Danau Dusun Besar Bengkulu merupakan cagar alam yang sebagian besar berada di dalam Kota Bengkulu. Cagar Alam ini dikukuhkan berdasarkan keputusan Gubernur Hindia Belanda No. 36 tahun 1936 dengan luas 11,5 Ha. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 171/KPTS/UM/3/1981, cagar alam ini diperluas menjadi 430 Ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 602/KPTS-II/1992 tanggal 10 Juni 1992 ditetapkan kelompok Hutan Danau Dusun Besar seluas 577 Ha, sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan Suaka Alam/Cagar Alam.

Administrasi
Wilayah yang membatasi CA terdiri dari beberapa Desa/Kelurahan dari 5 Kecamatan. Sebelah utara Kecamatan Selebar dan Teluk Segara terdiri dari desa; Semarang, Tanjung Jaya, dan Tanjung Agung. Sebelah Barat dan Selatan Kecamatan Gading Cempaka teridiri dari Kelurahan ; Panorama, Desa Sidomulyo dan Dusun Besar. Sebelah Timur Kecamatan Talang Empat dan Muara Bangkahulu terdiri dari desa-desa; Taba Pasmah, Kembangsri, Nakau dan Surabaya.

Profil
Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar memiliki 2 (dua) tipe ekosistem yaitu : ekosistem perairan danau seluas kurang lebih 90 Ha yang terdiri dari genangan perairan Danau seluas kurang lebih 69 Ha dan Zona habitat tumbuhan bakung-bakungan seluas kurang lebih 21 Ha. Sisanya seluas kurang lebih 487 Ha, merupakan zona ekositem hutan rawa yang didominasi oleh pohon-pohon hutan rawa.
Menurut data yang diperoleh oleh SBKSDA Bengkulu, bahwa sesuai dengan pertimbangan dalam penunjukannya Cagar Alam Danau Dusun Besar memiliki potensi berupa tanaman Anggrek Pensil (Vanda hookeriana) hanya terdapat pada zona ekosistem perairan yang ditumbuhi oleh bakung-bakungan (tanaman inang) dengan jumlah populasi anggrek pensil yang relatif jarang. Selain anggrek pensil, pada zona ini juga ditemukan Anggrek Matahari dimana populasinya relatif lebih banyak dibanding anggrek pensil.
Selain tanman langka di atas, pada kawasan cagar alam ini juga ditemukan beberapa jenis satwa menyusui yang langka seperti Kukang (Nycticebus coucang), Kucing Hutan (Felis marmorata) dan satwa burung seperti burung rangkong (Buceros rhinoceros), Bangau Putih (Bubulcus ibis), Bangau Hitan (Ciconia episcopus), Raja Udang (Pelargopsis Copensis).
Hal lain yang tak kalah penting dari keberadaan Cagar Alam Danau Dusun Besar ini adalah sebagai sumber utama air irigasi sawah masyarakat sekitarnya seluas kurang lebih 700 Ha.
Keadaan Fisik (Topografi, Geologi dan Iklim)
Topografi daerah kawasan CA kecenderungan datar dan sebagaian besar (80%) adalah tanahnya merupakan tanah gambut. Kelererangan wilayah 0-8% dengan ketinggian letak + 15 dpl.
Menurut Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan – Bogor yang dikutip BKSDA (Maret 1997), struktur geologi dan kawasan CA terdiri dari batuan Neogin (Pliosin, Miosin). Sedangakan jenis tanahnya menurut Peta Tanah Propinsi adalah Organosol, Glei humus dan Regosol.
Curah hutan rata-rata pertahun 3519 mm dan memiliki bulan basag 7-9 bulan. Intensitas curah hujan bulanan tertinggi pada bulan Januari (Data Stasiun Klimat, dan BMG Bengkulu).


Arsip Ulayat

Geliat Masyarakat Muara Sahung Mengembangkan PLTMH

HUTAN, AIR DAN LISTRIK UNTUK MASYARAKAT LOKAL

Sikap yang keliru bahwa hutan hanya menyediakan kayu dan lahan untuk dibuka sebagai areal pertanian telah mengancam kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Hutan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat di sekitarnya, karena hutan menyediakan berbagai sumber kehidupan seperti pangan, sandang dan papan, obat-obatan, dan air. Kerusakan hutan dan sumberdaya alam adalah berarti ancaman bagi kehidupan masyarakat lokal.

Kecamatan Muara Sahung Kabupaten Kaur terletak di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Luas, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Mata pencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani, sisanya merupakan pedagang dan pegawai negeri sipil (PNS). Dari sektor pertanian mayoritas masyarakat diwilayah ini mengelola kebun kopi, kebun lada dan persawahan yang terdapat didaerah aliran sungai (DAS) Luas.

Pada bulan Agustus - September 2006 Yayasan Ulayat Bengkulu bersama Lembaga Adat Jurai Tue, memfasilitasi kegiatan perencanaan pembangunan desa berbasis komunitas di tiga desa dari tujuh desa yang ada di Kecamatan Muara Sahung, Kabupaten Kaur. Ketiga desa tsb meliputi Desa Ulak Bandung, Ulak Lebar dan Muara Sahung. Dari kegiatan itu masyarakat berhasil mengidentifikasi issue-issue utama di setiap desa, kemudian menyusun rencana program yang sesuai dengan potensi dan masalah setempat antara lain; 1) pengembangan potensi agroforest; 2) pengembangan pertanian berkelanjutan; 3) peternakan dan perikanan; 4) perbaikan mutu pendidikan dan kesehatan; dan 5) peningkatan sarana prasarana desa.


Desa Pinggiran Hutan yang Gelap Gulita


Sebagai wilayah yang relatif terpencil, ketiga desa tersebut menghadapi permasalahan minimnya saran dan prasarana. Ketiga desa tersebut, bahkan seluruh wilayah kecamatan Muara Sahung, belum memperoleh pelayanan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Selama ini hanya sebagian kecil masyarakat (±5%) yang dapat menikmati energi listrik dengan mengunakan mesin genset (disel) yang umumnya dimanfaatkan dari pukul 18.00-23.00 WIB. Untuk kemudahan tersebut setiap rumah harus mengeluarkan uang ±Rp.5.000,- Rp.6000,- per hari (untuk pmbelian 1 liter solar/bensin), untuk pengadaan listrik selama 5 jam saja. Artinya dalam satu bulan per rumah harus mengeluarkan uang sebesar Rp.150.000 - Rp.180.000.

Selain itu ada sekitar 20 % masyarakat yang menggunakan listrik tenaga surya untuk keperluan penerangan 2 buah lampu masing-masing 15 watt. Selebihnya (±75%) masyarakat di Kecamatan Muara Sahung masih mengunakan lampu minyak untuk penerangan dimalam hari.


Membangun dengan Potensi Lokal

Dengan kondisi di atas dan menyadari potensi yang dimiliki, masyarakat Desa Muara Sahung, Ulak Bandung dan Ulak Lebar merencanakan pembuatan pembangkit listrik dengan mengunakan tenaga air (micro hydro) sebagai alternatif pemenuhan energi listrik yang lebih efektif dan ramah lingkungan.

Pengembangan pembangkit listrik tenaga micro hydro (PLTMH) sebenarnya bukanlah suatu yang sama sekali baru. Masyarakat kecamatan Muara Sahung memiliki pengalaman dan kearifan lokal mengenai teknologi kincir air. Pada zaman Pasirah (Marga) Muara Sahung telah ada masyarakat yang membuat kincir air sebagai penggerak penutuk padi (pabrik) dan sebagai penggerak listrik, namun pada tahun 1986-87 semuanya musnah akibat banjir yang melanda sungai Luas, semenjak itulah sampai tahun 2007 kehadiran kincir air tidak dapat ditemui di wilayah Muara Sahung baik sebagai penggerak penutuk padi (pabrik) atau sebagai penggerak listrik.

Dengan memanfaatkan potensi air yang banyak mengalir di desa, Sungai Luas, anak-anak sungai maupun irigasi sawah yang mengalir sepanjang tahun. Sebagai pendamping dalam menindak lanjuti semua perencanaan pembangunan desa, Ulayat Bengkulu dan Lembaga Adat Jurai Tue berusaha membangun motivasi masyarakat, meningkatkan pengetahuan dan penerapan teknologi tepat guna untuk memanfaatkan potensi yang ada. Oleh sebab itu pada bulan November 2006 perwakilan masyarakat desa sebanyak 6 orang melakukan study IPTEK ke Desa Sumber Harapan, Kecamatan Nasal, untuk melihat langsung PLTMH yang banyak terdapat di desa itu.

Dari kunjungan tersebut banyak pengetahuan yang mereka dapatkan mengenai pembuatan kincir listrik, mulai dari ukuran kincir, jumlah papan/kayu untuk bahan pembuat kincir, kemiringan terjunan air, debit air,listrik yang dihasilkan, bentuk rangkaian kincir itu sendiri sehingga dapat menggerakan dinamo sebagai sumber listrik. Pengamatan langsung ini ternyata efektif untuk merangsang motivasi bagi mereka untuk membagun kincir listrik tersebut di desanya sendiri.

Informasi kunjungan ini banyak terdengar oleh masyarakat sehingga orang-orang berdatanagn untuk mendengarkan langsung informasi tentang kincir listrik tersebut karena mereka pun berkeinginan untuk membuat kincir bagi rumah tangga mereka,dalam waktu yang tidak lama di dusun Nunung desa Ulak Lebar, mayarakat setempat yag berjumlah sekitar 20 KK melakukan gotong royong untuk membuat siring saluran air sehari dalam seminggu, maka selama 2 bulan saluran air sepanjang 30 meteran tersebut selesai mereka kerjakan, selanjutnya mereka membuat rangkaian kincir untuk menggerakan dinamo sebesar 3000 watt.

Kemudian Januari 2007 menyusul pembangunan dua buah kincir di dusun Nunung, meskipun hanya mengeluarkan listrik sebesar 500 watt saja. Kabar keberadaan kincir ini terdengar oleh masyarakat yang berada di desa di Kecamatan Muara Sahung. Pada bulan April 2007 di desa Muara sahung sejumlah 8 orang membentuk kelompok untuk membangun kincir listrik dengan mengunakan aliran irigasi sawah. Mereka setiap hari bergotong royong, mulai dari membuat kincir, membuat pematang kolam sehingga pada saat ini hanya menyisakan pekerjaan pemasangan dinomo dan kabel induk sepanjang 200 meter.

Diharapkan di kemudian hari lama warga lain dapat mencontoh kelompok yang telah berswadaya untuk membuat kincir air (PLTMH) sehingga setiap rumah di desa mendapatkan listrik yang layak. Pembangunan PLTMH ini membuktikan keswadayaan masyarakat. Membangun tidak selalu berarti pembangunan skala besar yang mahal, membangun juga tidak mesti dengan proyek pemerintah dan dengan investor bermodal milyaran. Dengan biaya kurang dari 5 juta per unit PLTMH ini dapat melayani sekitar 10 rumah dengan biaya operasional yang sangat murah, tentunya selama air sebagai energi penggeraknya selalu tersedia. Pembangunan PLTMH ini juga menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga hutan dan sumberdaya alam. Melestarikan hutan berarti menjaga sumber air. Menjaga sumber air berarti menjamin pelayanan listrik untuk berbagai kebutuhan rumah tangga. Sebuah logika sederhana yang kini dapat mereka rasakan secara nyata.


Ditulis oleh
Oka Andriansyah

NAIKNYA BBM

Kenaikan harga BBM dalam negeri telah menyebabkan meningkatnya semua harga kebutuhan hidup manusia, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. dikalangan masyarakat indonesia. kenaikan Harga BBM menurut kalangan pemerintah sendiri lebih kepada penyelamatan keungan negara, hal ini bertujuan agar negara tidak kolef akibat terlalu banyak mensubsidi masyarakat khususnya BBM, namun jika kita tinjau lagi justru trilyunan rupiah uang dihambur-hamburkan oleh pemerintah dengan bentuk BLT (bantuan langsung tunai), melihat pengalaman-pengalaman sebelumnya BLT justru tidaklah memiliki pengaruh sama sekali dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dikalangan masyarakat khususnya masyarakat miskin, Program BLT yang katanya bertujuan untuk meringankan penderitaan rakyat miskin justru telah menyebabkab masyarakat semakin terjerumus dalam ketidak berdayaan, hal ini terlihat dari penggunaan uang BLT yang kebanyakan tidak dimanfaatkan secara berkelanjutan (modal usaha) dan hal ini jika terus dilakukan akan menciptakan ketergantungan bagi masyarakat seperti indonesia yang sangat tergantung terhadap eropa .

Menurutku BLT hanyalah sebuah bentuk pengalihan opini yang dilakukan oleh pemerintah dalam menekan gejolak yang muncul dimasyarakat, salut untuk kepala-kepala desa di daerah pulau jawa yang tegas menyatakan penolakannya terhadap BLT, hal ini dikarenakan BLT hanyalah akan menimbulkan konflik horizontal dikalangan masyarakt, karena banyak dari masyarakat negeri ini yang ingin miskin demi mendapatkan BLT.
mungkin yang perlu menjadi kajian bagi pemerintah adalah bagai mana meningkatkan peluang kerja bagi masyarakat sehingga pendapatan perkapita menjadi meningkat pula, sehingga berapapun harga BBM masyarakat tetap dengan senag hati membelinya....


Sumbangsih
Tanto medi,s.sos manager Distrik kabupaten kaur ulayat Bengkulu

DOKUMENTASI ULTAH KAB. KAUR

Reni ya...??










ULANG TAHUN KABUPATEN KAUR








Dalam Rangka ulang Tahun Kabupaten kaur Ulayat bersama Dinas kehutanan, perkebunan, ESDM kabupaten kaur, Balai besar TNBBS, WWF-BBS project, Tim Rhino Protection unit (RPU-BBS), WCS-IP ikut berpartisifasi dalam kegiatan memeriahkan Ulang Tahun Kabupetn Kaur, adapun kegiatan yang dilakukan adalah Pemutaran Film dokumenter ulayat, Pembagian buku-buku kegiatan ulayat ke instani pemerintah, pembagian profil kegiatan ulayat selama di kabupaten kaur dan pameran poster kegiatan di kabupeten kaur. Stand ini merupakan stand yang paling banyak dikunjungi masyarakat maupun instansi pemerintah. Dari hasil penilaian dewan juri yang indevenden stand ini merupakan stand yang terbaik dan paling banyak dikunjungi.

Poto Bintuhan tempo dulu

Gamabr ini di posting dari
http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/05/bintuhan-tempo-dulu-dalam-photo.html


Jalan dengan pepohonan di jalan Bintuhan Krui
Collection Westenenk, L.C. 1915-1920



Jembatan Gantung (Cable bridge) Aer Tetap di jalan Manna Bintuhan
Collection Westenenk, L.C. 1915-1920



Menyeberangkan mobil dengan rakit di pertengahan jalan Manna Bintuhan
Collection Westenenk, L.C. 1915-1920



Taman dan alun alun di depan rumah residen H. Hoogenberk di Bintuhan
Collection Westenenk, L.C. 1915-1920



Mobil di atas rakit dekat Bintuhan
Collection Abbenhuis, C.W.A. july 1937



engiriman paket rempah-rempah sekitar Bintuhan yang di lakukan oleh royal Paketvaart society
Collection Abbenhuis, C.W.A., Circa 01/1938



Si kecil Hoogenberk dalam pangkuan Peter di Bintuhan
Collection Abbenhuis, C.W.A. february 1938

"Tunggu Tubang", Pewarisan Matrilineal Suku Semende

PAGI masih sangat dini, tetapi kesibukan di sebuah rumah di Desa Datar Lebar, Kecamatan Semende Darat Ulu, sekitar 100 kilometer dari kota Muara Enim, Sumatera Selatan, sudah dimulai.
RUMILASINAWATI (50) sibuk menjaga nyala kayu bakar di dalam tungku. Berulang kali dia meniupkan udara melalui sebatang bambu. Putrinya, Wahilah (27), sibuk mengaduk isi panci di atas tungku. Namun, aktivitasnya itu berulang kali dihentikan oleh tangisan Sariah, putrinya yang baru berusia dua pekan.
Mak Rum, Yu Wahilah, dan Sariah adalah tiga generasi perempuan yang akan mewarisi tradisi tunggu tubang dalam adat masyarakat Semende.
Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia terbitan LP3ES (1997) menyebutkan, Suku Semendo atau Semende berasal dari kata se yang berarti satu dan mende yang berarti induk atau ibu. Masyarakat suku ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Semende Darat yang bermukim di daerah Kabupaten Muara Enim, dan Semende Lembak yang bermukim di Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Tempat bermukim masyarakat Semendo adalah dataran tinggi yang diapit jajaran Pegunungan Bukit Barisan. Dari segi administratif, wilayah itu termasuk dalam Kecamatan Semende Darat Ulu, Semende Darat Laut, dan Semende Darat Tengah.
Desa Datar Lebar berada di salah satu sudut Kecamatan Semende Darat Ulu. Di sebelah utara terdapat Desa Cahaya Alam, desa terakhir sekaligus paling utara dari jajaran desa di kecamatan itu. Satu-satunya jalan aspal yang menuju ke Datar Lebar diapit oleh deretan rumah panggung.
Dengan tradisi tunggu tubang yang mereka anut, dalam ensiklopedi tersebut masyarakat Semendo dikategorikan sebagai salah satu penganut prinsip kekerabatan matrilineal, sebagaimana masyarakat Minangkabau.
"Sesuai dengan tradisi tunggu tubang, anak perempuan paling tua menjadi pemegang hak warisan keluarga. Warisan berupa rumah dan sawah itu tidak boleh dijual," papar Muhammad, suami Mak Rum.
Anak perempuan tertua mengacu ke anak perempuan pertama yang dilahirkan dalam keluarga. Artinya, bisa jadi anak perempuan tertua itu dalam urutan keluarga memiliki kakak laki-laki.
Tradisi yang telah berjalan selama ratusan tahun itu, lanjut Muhammad, bertujuan untuk memastikan bahwa harta keluarga berupa rumah dan sawah tetap bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota keluarga (jurai) dari generasi ke generasi.
Tradisi ini agaknya didasarkan pada filosofi bahwa perempuanlah yang melahirkan kehidupan dan berasal dari rahim, maka perempuan pula yang dipercaya untuk memeliharanya.
Mak Rum adalah pewaris tunggu tubang generasi ketiga. Rumah panggung yang ditempati keluarga itu adalah rumah warisan yang sejak dahulu kala juga ditempati oleh nenek buyut mereka. Status Muhammad sebagai menantu yang menikahi pewaris tunggu tubang mengharuskannya "mengalah", ikut tinggal di rumah warisan itu.
Sejumlah suku di Sumatera juga mengenal istilah semendo atau nyemendo. Dalam adat Orang Rimba, suku asli di Jambi, calon menantu laki-laki terlebih dulu diuji dengan mengabdi di keluarga pihak perempuan, sebelum para tetua mengizinkan mereka tinggal bersama.
Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi laki-laki Semendo yang ingin menyunting gadis pewaris tunggu tubang. Pihak laki-laki harus menyerahkan perbie atau mahar kepada pihak perempuan. Bisa berupa seekor kerbau atau sapi, perhiasan emas, dan peralatan rumah tangga.
"Persyaratan ini harus dipenuhi. Kalau sampai akad nikah pihak laki-laki tidak bisa memberikan persyaratan itu, dihitung utang," tutur Yu Wahilah.
TIDAK ada kepastian, sejak kapan tradisi tunggu tubang dijalankan oleh masyarakat Semendo. Para tetua di daerah itu menyebutkan daerah Semendo mulai dibuka sekitar tahun 1650. Syekh Nurqodim Al-Bahardin disebut sebagai pionir yang menurunkan masyarakat Semendo, yang mayoritas Muslim.
Thohlon Abdul Rauf dalam buku Jagad Basemah Lebar Semende Panjang (2001) menyebutkan, anak perempuan tertua sebagai pewaris tunggu tubang, harus mampu memaknai tugasnya sebagaimana yang disimbolkan dalam lambang adat Semendo.
Lambang itu terdiri atas guci yang yang berisi jala, kapak, tombak, dan ember penuh air. "Guci yang berisi berbagai peralatan itu, melambangkan seorang perempuan pewaris tunggu tubang harus mampu menyimpan segala rahasia keluarga, baik maupun aibnya," ujar Muhammad.
Sebagai anak perempuan tertua, dia harus bisa tahan terhadap segala masalah dan menjadi ujung tombak pertahanan keluarga. Jika terjadi masalah, ibarat kapak dia harus mampu menyelesaikannya secara adil, tidak berat sebelah. "Dia juga harus mampu seperti jaring yang menghimpun seluruh anggota keluarga," ucap Muhammad.
Ketika orangtuanya telah sepuh atau meninggal, pewaris tunggu tubang bertanggung jawab atas kesejahteraan adik- adiknya yang masih tinggal di rumah itu. Dia harus mengelola sawah, yang hasilnya digunakan untuk membiayai keperluan anggota keluarga.
Seandainya muncul permasalahan dalam keluarga, perempuan pewaris tunggu tubang harus mendengarkan pendapat saudara laki-lakinya. Anak laki-laki, dalam adat berkedudukan sebagai ahli meraje atau pihak yang dimintai pendapatnya atas suatu perkara. Biasanya keputusan atas masalah- masalah besar dilakukan oleh ahli meraje.
"Namun jika anggota keluarga yang beradik kakak itu jumlahnya banyak, bisa dilakukan perjanjian antarsaudara supaya tidak terjadi perselisihan tentang harta warisan yang lain," kata Muhammad.
MENJADI seorang pewaris tunggu tubang tidak membuat seorang perempuan Semendo menjadi istimewa dan berkuasa. Dalam kehidupan sehari-hari, selain harus mengurus rumah tangganya sendiri, perempuan pewaris tunggu tubang dibebani tanggung jawab mengelola sawah dan kebun kopi.
Kewajibannya sebagai penunggu rumah dan pengelola sawah warisan mengharuskan perempuan pewaris tunggu tubang "bertahan" di kampung halaman mereka. Namun, menurut Wahilah, perkembangan zaman memungkinkan bagi perempuan Semendo yang menjadi pewaris tunggu tubang untuk keluar dari rumah.
"Ada juga pewaris tunggu tubang yang tinggal di luar kampung karena bekerja. Tetapi, dia tetap harus mengupah orang untuk mengurus sawah, sedangkan rumah ditempati oleh anggota keluarganya," ungkap Wahilah.
Menurut Wahilah, hal semacam ini tidak dipandang sebagai pelanggaran karena tidak diatur secara ketat dalam adat.
Bagi perempuan-perempuan muda di Semendo, tradisi tunggu tubang di satu sisi menjadi semacam kungkungan baru untuk kemajuan mereka. Nasmah, misalnya, menyebutkan, kakak perempuannya yang menjadi pewaris tunggu tubang keberatan jika harus tinggal di kampung. "Katanya percuma sekolah tinggi-tinggi kalau hanya tinggal di rumah. Tetapi, kakak belum berani bilang ke ayah," ujarnya.
Tradisi tunggu tubang yang telah berjalan ratusan tahun berada di persimpangan pergulatan, antara mewujudkan aktualisasi diri dan menjalankan kewajiban adat bagi perempuan pewarisnya. (doty damayanti)

Sumber Surat kabar Kompas

Tunggu Tubang Adat Semende

Perihal harta waris dalam agama Islam mendapat tempat yang layak. Bahkan, pengajaran soal ini merupakan salah satu bagian yang wajib dipelajari kaum muslimin
Perihal waris yang merupakan salah satu hal yang rumit ini memang semestinya dipahami dengan baik. Sebab terkadang kita mendengar bahwa ada keluarga yang sampai ribut karena bertengkar soal harta warisan. Soal aturan dalam Islam bahwa laki-laki mendapatkan setengah dari harta, juga sering menjadi titik picu rumah tangga bertengkar. Apalagi jika anak dari ahli waris sudah berkeluarga. Hasutan dari pihak istri dan tuntutan anak-anak akan makin menambah runyam permasalahan.
Dalam konteks ini, dalam ada istiadat orang Semende, ada yang namanya tunggu tubang. Tunggu tubang ini merupakan sistem kekeluargaan di mana hal untuk menjadi pewaris jatuh kepada pihak perempuan tertua.
Ini disebabkan adat Semendo menganut garis keturunan dari pihak ibu atau yang disebut matrilineal.
Misalnya, seorang ayah memiliki tiga anak. Anak pertama atau si sulung berjenis kelamin laki-laki. Anak kedua perempuan serta anak ketiga
laki-laki. Nah, hak rumah dan tanah jatuh kepada anak perempuan yang urutannya kedua tadi. Akan tetapi, jika tidak ada anak perempuan bagaimana? Kalau ini yang terjadi, pewarisnya bisa diberikan kepada laki-laki tertua atau istri dari anak laki-laki tertua. Kalaupun masih ada yang perempuan, tetapi dia tidak mau, pilihan-pilihan tadi bisa jadi alternatif. Yang penting, jika syarat tidak ada perempuan dalam struktur anak dalam keluarga, semua harus dipecahkan dengan musyawarah, dengan mufakat, dengan pemusyawaratan. Jadinya demokratis. Pada titik inilah, letak demokratis adat dalam suku Semendo ini.
Umumnya orang Semendo mewariskan harta berupa tanah, sawah, dan rumah. Tanah di sini dalam artian yang bisa diusahakan secara produktif. Maka itu, terkenal bahwa orang Semendo itu punya banyak ladang, sawah, atau kebun. Bahkan, secara berseloroh, orang Semendo disebut "James Bond" atau jeme Semende besak di kebon. Maksudnya, orang Semendo besar di kebun.
Tanah yang ada ini harus diusahakan berproduksi, tidak boleh berhenti. Sebab, dari sinilah semua kebutuhan keluarga besar dipenuhi. Kenapa demikian? Karena, mereka yang mendapatkan tunggu tubang tidak boleh menjual harta dan rumah. Rumah itu akan menjadi rumah tua di mana anak beranak akan berkumpul jika ada acara besar keluarga. Rumah itu akan menjadi simbol bahwa bangunan itu menjadi benteng pertahanan terakhir dari semua garis keturunan. Tidak hanya itu juga, tanah yang ada dan terus berproduksi itu juga berguna kalau ada keluarga yang membutuhkan. Artinya, beban mereka yang menjadi tunggu tubang ini berat. Tanah dan rumah tidak boleh dijual, sementara mereka menghidupi keluarga sambil menjadi kepala keluarga jika ada yang membutuhkan uang. Bisa dikatakan wajib hukumnya bagi tunggu tubang untuk memenuhi semua kebutuhan sanak keluarganya. Contohnya begini. Keponakan tunggu tubang butuh biaya untuk sekolah sedangkan orang tua kandung sedang tidak punya uang. Dalam kondisi demikian, perempuan yang menjadi tunggu tubang itu wajib memberikan uang untuk kebutuhan keponakannya tersebut. Demikian pula jika ada yang membutuhkan.
Kalaupun ada persoalan keluarga yang mendesak dan demikian penting, perempuan yang menjadi tunggu tubang juga harus ikut memfasilitasi agar persoalan itu segera diselesaikan.
Secara umum demikianlah sekelumit yang dimaksud dengan tunggu tubang. Kini, sesuai dengan judul pada tulisan yang dibuat ini, apakah dengan mekanisme adat yang demikian, masih relevan dengan kehidupan di masa sekarang. Penulis akan memberikan beberapa di antaranya.
Pertama, kita harus tetap memandang bahwa yang namanya aturan agama adalah mutlak. Adat harus bersendikan syariat. Benarlah kata mereka yang bersuku bangsa Minangkabau, yang mengatakan bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat itu sendinya syariat, sedangkan syariat itu adanya di kitab Allah atau Alquran.
Maka, kalau ada orang Semendo yang dengan kuat memegang tradisi agama Islam dengan tidak menganut paham tunggu tubang, kita juga harus bisa memandangnya secara bijak, itu pilihan, dan kita harus menghormati. Akan tetapi, buat mereka yang berkukuh bahwa ini adat dan harus diikuti, juga tidak menjadi masalah. Apalagi, meskipun sudah modern, tetap saja kebanyakan orang Semendo tetap menganut adat ini. Kalaupun tidak secara saklek, tetap saja orang tua sudah berpesan bahwa tanah dan rumah yang mengelola si anu sambil menunjuk anak perempuan tertuanya.
Kedua, manfaat dari adanya rumah besar. Dengan ketiadaan hak dari tunggu tubang untuk menjual rumah dan tanah, berakibat pada terpeliharanya warisan yang bersejarah. Dengan adanya rumah tua, semua anak dan cucu masih dapat berkumpul. Rumah tua itulah yang menjadi perlambang bahwa meskipun sudah merantau jauh ke negara atau daerah lain, tetap ada satu rumah untuk berkumpul bersama. Inilah nikmatnya berkumpul bersama. Coba saja bandingkan dengan beberapa keluarga yang lain, yang begitu bapaknya meninggal, rumah dan tanah langsung dijual untuk dibagi-bagi. Akhirnya tidak ada lagi tempat untuk keluarga besar berkumpul. Lambang sejarah dalam keluarga juga hilang. Kenangan akan masa lalu tidak mampu lagi dihadirkan lantaran rumah sebagai simbolnya sudah hilang. Demikian pula dengan segenap peninggalan keluarga, mungkin foto, benda peninggalan, serta silsilah keluarga tidak ada lagi. Dari pengalaman penulis saja, kekerabatan orang Semendo ini cukup kuat. Ada bahkan seorang kerabat penulis yang membuat tembe. Tembe itu garis silsilah keluarga. Dari moyang hingga cicit. Sehingga, sampai ke masa yang akan datang, sampai ke beberapa garis keturunan, masih bisa dilacak siapa saja kerabat yang ada. Sebuah keuntungan yang luar biasa bukan, jika dilihat dari sisi aset keluarga. Dari sini, penulis beranggapan untuk masalah ini, ada baiknya adat ini dikembangkan. Semata-mata agar semua keluarga punya tempat untuk berkumpul.
Ketiga, pemecahan masalah juga mudah dilakukan. Adanya tanggung jawab yang besar dari tunggu tubang membuat permasalahan yang ada pada keluarga besar akan terpecahkan. Tentu saja harus melibatkan tetua dari keluarga, misalnya uwak atau paman. Sering juga kita mendengar bahwa ada keluarga yang sulit sekali untuk memecahkan persoalan lantaran tidak ada yang dituakan atau dimintakan saran. Dengan adanya tunggu tubang, terbuka peluang untuk memecahkan semua persoalan dalam rumah tangga.
Keempat, secara ekonomi, ada topangan. Dengan kewajiban untuk meneruskan kebun dan ladang yang ada, membawa pengaruh pada perekonomian keluarga besar. Memang bukan berarti keluarga yang menjadi tunggu tubang tidak bisa menikmati, dia tetap bisa menikmati, tetapi harus juga memikirkan masa depan pewarisnya.
Umumnya, dengan kebun kopi atau cengkih, bahkan kini cokelat, atau pula padi, secara ekonomi, keluarga tunggu tubang juga tidak kekurangan. Dengan berusaha, tentu dia akan berpikir untuk meneruskan harta dan tanah ini kepada anak perempuan berikutnya. Dari sini kita mendapat pelajaran bahwa adat ini juga "memaksa" orang tua untuk meninggalkan harta yang cukup. Tentu bukan dalam artian berpikir pragmatis soal harta, melainkan lebih kepada tanggung jawab bahwa begitu dia mati, rumah dan tanah tetap hars ada demi kelanjutan ekonomi keluarga. Model ini juga membawa pengaruh yang positif bahwa harta yang ada benar-benar pas peruntukkannya. Tidak dipakai untuk sesuatu yang mubazir. Atau, dijual untuk keperluan pribadi. Adanya aset ini penulis kira merupakan langkah maju dari berpikirnya orang-orang Semendo. Bahwa dia harus memikirkan betapa esok hari atau di tahun yang akan datang kehidupan akan sulit. Jika tidak ditinggalkan harta dan tanah--tentunya juga termaktub pemahaman agama dan moralitas yang baik--anak-cucu akan kesulitan dalam mengarungi kehidupan. Sebuah proses berpikir yang visioner dan sebaiknya memang harus terus dilakukan. Paling tidak dengan budaya tunggu tubang ini ada usaha agar ada yang ditinggalkan sepeninggal diri orang itu. Oleh sebab itu, dari sini saja, hemat penulis, tunggu tubang masih relevan untuk diteruskan. n
Sulmin Dulsari, warga Bandar Lampung bersuku Semende
Kutipan Dari Surat Kabar Lampung

KELANGKAAN AIR BERSIH MENDORONG TINGGINYA HARGA AIR

Hutan secara fungsi memiliki fungsi sebagai mengatur hidrologi dimana hutan berguna dalam menampung air hujan dan menyerap serta menyimpannya di dalam tanah, hal inilah yang tanpa disadari hutan memiliki manfaat untuk mengatur ketersediaan sumber air tawar di permukaan bumi ini. Meningkatnya kebutuhan akan sumber air bersih dikalangan masyarakat harus disadari sebagai sebuah dampak proses semakin meningkatnya jumlah penduduk yang ada dimuka bumi ini.
Ironis memang ketika kita sebagai masyarakat pengguna air belumlah menyadari sejauh mana peran hutan dalam menjaga keseimbangan hutan sebagai areal yang dapat menampung dan mempertahankan sumber air tanah walaupun memang harus diakui kita semua mempelajarinya dalam mata pelajaran IPA di bangku pedidikan dasar (SD).
mayoritas hidup dari mengelola lingkungan sekitarnya seperti bertani baik dilahan basah maupun dilahan kering memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap sumber daya air. Kebutuhan akan air bagi manusia merupakan salah satu kebutuhan mendasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan menjadi sebuah kebutuhan dasar hidup manusia (bayangkan jika manusia tidak mengkonsumsi air dalam 1 hari) dehidrasipun akan terjadi. Dalam pelajaran disebuah kelompok pencinta alam menerangkan bahwasannya manusia mungkin akan hidup lebih lama jika dia terus mengkonsumsi air dan bahkan lebih lama dari pada dia memakan nasi/jagung dan makanan lainnya (survival).
Jika kita lihat dan perhatikan dari aktifitas sehari-hari air dapat bermanfaat sebagai:
1. Kebutuhan air minum
2. Kebutuhan untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan
3. Kebutuhan MCK
4. Pembangkit tenaga listrik.
5. Dll
keberadaan air tawar khususnya air bersih merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar dan menjadi urgent keberadaanya.

KELANGKAAN AIR BERSIH.
jika kita lihat media massa akhir-akhir ini hantaman gelombangb bencana terus saja melanda indonesia, banjir yang melanda di hampir sebahagian pulau jawa telah menyebabkan krisis air bersih yang melanda masyarakat, hal ini juga terus merambah ke propinsi Riau, Jambi (sumatera) dan propinsi bengkulu khususnya didas air bengkulu. Kondisi ini tentunya sangat dilematis dimana ketika musim hujan tiba maka kebutuhan air bersih bagi masyarakat justru sangat sulit untuk didapatkan (khusus didaerah rawan banjir), akan berbeda saat musim kemarau tiba bencana kekeringan terus melanda daerah-daerah yang sulit akan sumber daya. Kelangkaan sumber daya air bukan hanya mengancam kehidupan manusia akan tetapi kelangkaan sumber daya air juga terus mengancam ketahanan pangan bangsa indonesia. Jika kita saksikan di media massa bahkan jika kita berada di Comunitas terlihat jelas bahwasannya ancaman banjir dan kekeringan telah berdampak pada menurunnya komuditi pangan masyarakat, gagal panen sebagai akibat dari banjir dan ancaman kemarau yang menyebabkan para petani tidak dapat berproduksi dilahan-lahan persawahan yang mereka miliki maka krisis p[anmganpun semakin berada diambang mata.