A. PENGAKUAN
1.Pak Junaidi
Keluarga kami memang berasal dari dusun lama namun saya bukan lagi kelahiran dari sana.. Bapak saya semasa mudanya memang masih sempat tinggal di dusun lama. Nama bapak saya adalah Haji Muhamad Syik bin Kojat beliau meninggalkan dusun lama Benungla ketika usia 18 tahun dan pindah ke Desa Teluk Agung. Ketika usia bapak menginjak 89 tahun atau tepatnya tahun 1977 bapak meninggal dunia. Beliau dimakamkan di pemakaman Desa Teluk Agung di dekat makam Nining (Pak Kojat) yang di pindahkan makamnya dari dusun lama Benungla. Ketika Zaman Penjajahan Belanda dusun lama merupakan dusun yang cukup besar yang terdiri dari dua bagian yaitu dusun Benungla Ulu dan dusun Benungla Ilir. Menurut cerita bapak kepada saya nenek saya dulu tinggalnya di dusun Benungla Ilir tepatnya tiga dataran di atas Lubuk Radifah atau di dekat kebun bambu, dan di sana masih ada beberapa barang yang masih di tinggalkan berupa pinggan (piring) dan beberapa peralatan rumah tangga lainya yang sengaja di tanam (kubur) dan di beri tanda dengan bebatuan. Namun beberapa tahun yang lalu ketika saya mencari tahu tentang keberadaanya namun sudah tidak ditemukan lagi. Ketika itu saya bersama teman-teman untuk pertama kalinya datang ke dusun lama Benungla untuk mencari ikan, kira-kira tahun 1997 yang lalu. Waktu itu dusun lama Benungla belum ada yang membukanya kembali namun masyarakat dari desa Teluk Agung, Tanjung Besar, Kota Dalam dan Pulau Duku masih sering datang ke sana untuk kepentingan mencari ikan, rotan, manau dan mencari durian dan petai jika lagi musimnya.
Menurut cerita bapak pindahnya warga dusun lama Benungla, terjadi akibat adanya ancaman dari pihak penjajahan Belanda, yang mana waktu itu dusun lama Benungla pernah di datangi oleh opsir Belanda dan mereka meminta agar adanya upeti yang diserahkan oleh masyarakat kepada pihak Belanda. Namun karena masyarakat menolak maka terjadilah keributan/ pengeroyokan antara opsir utusan Pemerintahan Belanda dengan warga dusun lama Benungla. Hingga akhirnya pihak Pemerintahan Belanda mengancam warga dusun Benungla. Akibat kejadian ini maka warga dusun lama Benunglah banyak yang pindah. Perpindahan ini bukan hanya ke Daerah Sumatera Selatan ini saja namun ada juga yang pindah ke daerah lain seperti ke Daerah Lampung dan Bengkulu.
Ada dua benda yang diwariskan kepada saya oleh bapak yang merupakan benda-benda yang berasal dari dusun lama Benungla, yaitu satu buah batu yang berasal dari Kijing (Siput) dan sebuah Keris yang terbuat dari kuningan. Namun satu-satunya peninggalan yang masih tersisa adalah batu yang berasal dari Kijing (Siput) sedangkan peninggalan yang berbentuk Keris dari Kuningan telah saya serakan kepada anak saya yang menjadi anggota TNI dan waktu kejadian musibah besar tsunami di Aceh tempo hari anak saya sedang dinas di sana dan mereka mengalami musibah hingga anak saya dan keluarganya juga meninggal akibat bencana Tsunami tersebut. Demikian juga harta dan benda termasuk peninggalan bersejarah dari dusun lama Benungla juga ikut musnah terbawa arus Tsunami.
Namun pesan dari bapak bahwa kalau ada anggota keluarga nantinya yang mau melanjutkan usaha atau kembali ke dusun lama Benungla maka lokasi bapak dulu adalah seperti yang telah disebutkan di atas tadi, namun hingga saat telah dibukanya kembali dusun lama saat ini saya dan keluarga besar kami belum ada yang tinggal dan berusaha di sana meskipun rencana untuk ke sana sudah ada, karena jarak dusun lama dengan daerah kita di Teluk Agung ini sangatlah jauh dan hanya bisa di tempuh dengan berjalan kaki.
Adapun selain keluarga kami, masyarakat dusun lama Benunglah yang juga pindah ke daerah Sumatra Selatan ini masih sangat banyak diantaranya adalah keluarga pak Haji Dulkharim di kota dalam, keluarga pak Mulyadi anaknya Askalani di Tanjung Besar, keluarga pak Tabrani di Banding Agung Ranau, pak Haji Aminudin (anaknya bernama Sayadi dan Sayrozi juga di kota dalam) dan masih banyak lagi keluarga yang lainnya. Namun untuk yang pernah tinggal di Dusun Lama semasa belum di tinggalkan sudah tidak ada lagi atau sudah meninggal dunia semua yang sekarang adalah hanya tinggal anak cucunya saja. Demikian pak Junaidi.
2. Haji Dulkharim
Haji Dulkharim lahir di Pematang Paling (Pialing) tahun 1933, bapaknya bernama Haji Muhamad Arif. Pada usia 15 tahun Haji Muhamad Arif ini masih tinggal di dusun lama Benungla yang kemudian pindah ke dusun Pematang Paling. Beliau meninggal dunia pada tahun 1953 di usia 80 tahun dan dimakamkan di kota dalam, karena ketika bapak meninggal dunia dusun Pematang Paling telah ditinggalkan dan semua warganya pindah dan membuat perkampungan yaitu kota dalam hingga saat ini. dusun Pematang Paling saat ini hanya menjadi tempat berkebun dan sawah masyarakat kota dalam.
Menurut cerita bapak Haji Dulkharim bapaknya yang bernama Haji Muhamad Arif atau dulunya sering di panggil (Pintar) merupakan keturunan dari Semende Darat, poyangnya yang pertama datang ke dusun lama Benungla adalah nining Selintan yang berasal dari Muara Tenang (Semende Darat) beliau bersama 2 orang saudaranya datang ke dusun lama Benungla dan menetap di sana, kemudian hingga bapak saya (Haji Muhamad Arif) berusia 15 tahun mereka memutuskan untuk pindah ke dusun pematang paling hal ini disebabkan adanya ancaman dari pihak penjajahan belanda yang waktu itu terjadi keributan antara opsir utusan belanda dengan warga dusun lama benungla yang berakibat dengan adanya ancaman dari pihak pemerintahan belanda kepada masyarakat dusun lama.
Menurut Haji Dulkharim Dusun Lama Benunglah merupakan dusun yang lokasi perkebunannya sangatlah subur dan masyarakat yang mendiaminya juga ketika belum ditinggalkan masih kental sekali dengan adat istiadat Semende, demikian juga halnya dengan sistem kekerabatan tidak ada sama sekali perbedaan antara Semende Lembak dan Semende Darat, yang membedakan hanyalah tempat tinggal yang mana satu di Lembak dan yang satunya lagi di perbukitan. Sedangkan adat istiadat dan pola kebudayaannya sama saja.
Saat ini sepengetahuan Haji Dulkharim ada beberapa anak cucu orang yang berasal dari Dusun Lama Benungla antaranya adalah pak Mulyadi anaknya pak Askalani/Gun, Haji Khosim di dusun Injang-Injang Pulau Panggung di Hulu Penantian, pak Akidin di Suka Raja dan masih banyak lagi yang lainnya.
3. Mulyadi
Pak mulyadi tinggal di desa tanjung besar, bapaknya bernama Askalani/Gunawan atau sering di panggil Gun beliau saat ini tinggal di daerah lampung tepatnya di daerah way tenong. Sedangkan niningnya bernama haji Abdul Khalik beliau telah meninggal dan di makamkan di desa tanjung besar. Haji Abdul Khalik ini merupakan salah satu warga yang pindah dari dusun lama benungla.
Menurut pak Mulyadi beberapa orang nining moyang yang dulunya menetap lama di dusun lama Benungla adalah Nerendun, Sajindun, Bande Siti, Anggung kesemuanya ini di makamkan di Benungla, namun saat ini makamnya belum di ketahui posisi tepatnya. Sedangkan anak cucu dari nining Anggung adalah Kantap, Sadang serta adiknya Lekat saat ini tinggal di Gedung Surian Way Tenong. Anak cucu dari nining Nerendun adalah Kemendur, Balak Betung, Dulaji A. Yusup saat ini tinggal di Pematang Paling yang sekarang telah pindah ke kota dalam.
Ada juga nining pak mulyadi yang pindah dari dusun lama benungla ke pulau beringin namanya nining ngelih makamnya sekarang di pulau beringin, adapun anak cucunya adalah semakun yang tinggal di tanjung besar, haji abdul kkhalik juga di tanjung besar yang merupakan nining kandung pak mulyadi, haji ilyas, adnan yang sekarang menjadi dosen di universitas tri sakti jakarta, kurnan, eliyati dan salah satu cucu ngelih ini adalah Sudirman Efendi, MM. PhD yang baru-baru ini menjadi salah satu calon bupati OKU selatan, namun belum berhasil menjadi bupati dan sekarang tinggal di Palembang. Kemudian nining nang andum dan mutaridin mereka juga merupakan warga dusun lama benunglah yang pindah ke pulau duku keturunan dari nang andum adalah nang yah, anaknya nang yah adalah adunan di teluk agung kemudian mursal juga di teluk agung dan haji jamal di kota dalam. Sedangkan anaknya mutaridin adalah sahana.
Nang andum ini adalah warga yang dulunya sempat membawa beberapa perabot bangunan rumahnya dari dusun lama benungla antaranya adalah selembar pintu yang terbuat dari tenam yang diperkirakan beratnya mencapai 75 kg, saat ini pintu tersebut masih ada di desa pulau duku, ada juga beberapa ukiran kayu yang di bawa dengan cara di panggul/pikul hingga menurut beberapa orang di pulau duku bahwa akibat membawa beban yang sangat berat dan perjalanan yang cukup jauh ini menyebabkan urat matanya putus dan menyebabkan kebutaan.
B. Rangkuman
Pada umumnya sejarah mengenai masyarakat dusun lama benunglah dan bagaimana pola kehidupan masyarakat suku semende yang menetap di sana masih sama dengan pola kehidupan dan budaya yang terjadi di daerah/dusun komunitas semende yang ada saat ini seperti di beberapa desa di sumatra selatan (pulau duku, teluk agung, tanjung besar dan kota dalam) di bengkulu (desa muara dua ulu nasal dan air palawan). Hanya saja pada masyarakat dusun lama ketika itu sistem pertaniannya masih bersifat meramu dan berburu. Belum seperti sekarang yang mana sistem pertanian yang di gunakan lebih bersifat pada pertanian yang berorientasi pada ekonomi produktif bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Demikian juga halnya masyarakat di komonitas semende lainnya ketika itu.
Tentang bagaimana proses awal perpindahan masyarakat ke benunglah ini menjadi catatan penting bagi komonitas semende yang ketika itu tidak mau di jajah oleh pihak luar (inggris dan belanda) hal inilah yang kemudian menjadikan masyarakat suku semende selalu membentuk perkampungan yang terletak di tengah-tengah hutan belantara.
Terbentuknya dusun lame benunglah tidaklah secara serentak menjadi perkampungan yang terdiri dari dua dusun/talang melainkan secara bertahap dan tidak di ketahui waktu tepatnya proses terbentuknya namun di perkirakan ketika penjajahan bangsa inggris di sumatra selatan. Ketika itu karena tidak mau di jajah dan di tindas maka masyarakat lari masuk ke dalam hutan kemudian membuat talang yang lama kelamaan menjadi perkampungan/dusun.
Terjadinya perpindahan masyarakat dusun lama benunglah ke beberapa tempat yang tersebar di tiga daerah (daerah Sumatra selatan, daerah bengkulu dan lampung) disebabkan oleh berbagai alasan, salah satu alasan yang banyak di ceritakan oleh keluarga keturunan dari dusun lama adalah adanya ancaman dari pihak penjajah (belanda). Alasan lain yang juga diungkapkan adalah karena letak dusun lama jauh di dalam hutan maka dengan sendirinya jalur transportasi sangat sulit dicapai kecuali dengan berjalan kaki yang jaraknya juga sangat jauh disamping itu daerah tersebut merupakan daerah pebukitan.
Terjadinya proses perpindahan masyarakat dusun lama benungla juga tidak secara bersamaan, seperti pak haji abdul khalik yang meninggalkan dusun lama ketika berusia 18 tahun dan meninggal pada tahun 1977 pada usia ke 89 tahun. Jadi dari sini dapat di hitung bahwa pak haji abdul khalik meninggalkan dusun lama benungla pada tahun 1906.