Tab-menu

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

TANAH KELAHIRAN SEMENDE ULU NASAL





CAGAR ALAM DANAU DUSUN BESAR

Sejarah
Cagar Alam Danau Dusun Besar Bengkulu merupakan cagar alam yang sebagian besar berada di dalam Kota Bengkulu. Cagar Alam ini dikukuhkan berdasarkan keputusan Gubernur Hindia Belanda No. 36 tahun 1936 dengan luas 11,5 Ha. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 171/KPTS/UM/3/1981, cagar alam ini diperluas menjadi 430 Ha. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 602/KPTS-II/1992 tanggal 10 Juni 1992 ditetapkan kelompok Hutan Danau Dusun Besar seluas 577 Ha, sebagai kawasan hutan tetap dengan fungsi hutan Suaka Alam/Cagar Alam.

Administrasi
Wilayah yang membatasi CA terdiri dari beberapa Desa/Kelurahan dari 5 Kecamatan. Sebelah utara Kecamatan Selebar dan Teluk Segara terdiri dari desa; Semarang, Tanjung Jaya, dan Tanjung Agung. Sebelah Barat dan Selatan Kecamatan Gading Cempaka teridiri dari Kelurahan ; Panorama, Desa Sidomulyo dan Dusun Besar. Sebelah Timur Kecamatan Talang Empat dan Muara Bangkahulu terdiri dari desa-desa; Taba Pasmah, Kembangsri, Nakau dan Surabaya.

Profil
Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar memiliki 2 (dua) tipe ekosistem yaitu : ekosistem perairan danau seluas kurang lebih 90 Ha yang terdiri dari genangan perairan Danau seluas kurang lebih 69 Ha dan Zona habitat tumbuhan bakung-bakungan seluas kurang lebih 21 Ha. Sisanya seluas kurang lebih 487 Ha, merupakan zona ekositem hutan rawa yang didominasi oleh pohon-pohon hutan rawa.
Menurut data yang diperoleh oleh SBKSDA Bengkulu, bahwa sesuai dengan pertimbangan dalam penunjukannya Cagar Alam Danau Dusun Besar memiliki potensi berupa tanaman Anggrek Pensil (Vanda hookeriana) hanya terdapat pada zona ekosistem perairan yang ditumbuhi oleh bakung-bakungan (tanaman inang) dengan jumlah populasi anggrek pensil yang relatif jarang. Selain anggrek pensil, pada zona ini juga ditemukan Anggrek Matahari dimana populasinya relatif lebih banyak dibanding anggrek pensil.
Selain tanman langka di atas, pada kawasan cagar alam ini juga ditemukan beberapa jenis satwa menyusui yang langka seperti Kukang (Nycticebus coucang), Kucing Hutan (Felis marmorata) dan satwa burung seperti burung rangkong (Buceros rhinoceros), Bangau Putih (Bubulcus ibis), Bangau Hitan (Ciconia episcopus), Raja Udang (Pelargopsis Copensis).
Hal lain yang tak kalah penting dari keberadaan Cagar Alam Danau Dusun Besar ini adalah sebagai sumber utama air irigasi sawah masyarakat sekitarnya seluas kurang lebih 700 Ha.
Keadaan Fisik (Topografi, Geologi dan Iklim)
Topografi daerah kawasan CA kecenderungan datar dan sebagaian besar (80%) adalah tanahnya merupakan tanah gambut. Kelererangan wilayah 0-8% dengan ketinggian letak + 15 dpl.
Menurut Lembaga Penelitian Tanah dan Pemupukan – Bogor yang dikutip BKSDA (Maret 1997), struktur geologi dan kawasan CA terdiri dari batuan Neogin (Pliosin, Miosin). Sedangakan jenis tanahnya menurut Peta Tanah Propinsi adalah Organosol, Glei humus dan Regosol.
Curah hutan rata-rata pertahun 3519 mm dan memiliki bulan basag 7-9 bulan. Intensitas curah hujan bulanan tertinggi pada bulan Januari (Data Stasiun Klimat, dan BMG Bengkulu).


Arsip Ulayat

Geliat Masyarakat Muara Sahung Mengembangkan PLTMH

HUTAN, AIR DAN LISTRIK UNTUK MASYARAKAT LOKAL

Sikap yang keliru bahwa hutan hanya menyediakan kayu dan lahan untuk dibuka sebagai areal pertanian telah mengancam kehidupan masyarakat di sekitar hutan. Hutan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat di sekitarnya, karena hutan menyediakan berbagai sumber kehidupan seperti pangan, sandang dan papan, obat-obatan, dan air. Kerusakan hutan dan sumberdaya alam adalah berarti ancaman bagi kehidupan masyarakat lokal.

Kecamatan Muara Sahung Kabupaten Kaur terletak di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Luas, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Mata pencaharian masyarakat sebagian besar sebagai petani, sisanya merupakan pedagang dan pegawai negeri sipil (PNS). Dari sektor pertanian mayoritas masyarakat diwilayah ini mengelola kebun kopi, kebun lada dan persawahan yang terdapat didaerah aliran sungai (DAS) Luas.

Pada bulan Agustus - September 2006 Yayasan Ulayat Bengkulu bersama Lembaga Adat Jurai Tue, memfasilitasi kegiatan perencanaan pembangunan desa berbasis komunitas di tiga desa dari tujuh desa yang ada di Kecamatan Muara Sahung, Kabupaten Kaur. Ketiga desa tsb meliputi Desa Ulak Bandung, Ulak Lebar dan Muara Sahung. Dari kegiatan itu masyarakat berhasil mengidentifikasi issue-issue utama di setiap desa, kemudian menyusun rencana program yang sesuai dengan potensi dan masalah setempat antara lain; 1) pengembangan potensi agroforest; 2) pengembangan pertanian berkelanjutan; 3) peternakan dan perikanan; 4) perbaikan mutu pendidikan dan kesehatan; dan 5) peningkatan sarana prasarana desa.


Desa Pinggiran Hutan yang Gelap Gulita


Sebagai wilayah yang relatif terpencil, ketiga desa tersebut menghadapi permasalahan minimnya saran dan prasarana. Ketiga desa tersebut, bahkan seluruh wilayah kecamatan Muara Sahung, belum memperoleh pelayanan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Selama ini hanya sebagian kecil masyarakat (±5%) yang dapat menikmati energi listrik dengan mengunakan mesin genset (disel) yang umumnya dimanfaatkan dari pukul 18.00-23.00 WIB. Untuk kemudahan tersebut setiap rumah harus mengeluarkan uang ±Rp.5.000,- Rp.6000,- per hari (untuk pmbelian 1 liter solar/bensin), untuk pengadaan listrik selama 5 jam saja. Artinya dalam satu bulan per rumah harus mengeluarkan uang sebesar Rp.150.000 - Rp.180.000.

Selain itu ada sekitar 20 % masyarakat yang menggunakan listrik tenaga surya untuk keperluan penerangan 2 buah lampu masing-masing 15 watt. Selebihnya (±75%) masyarakat di Kecamatan Muara Sahung masih mengunakan lampu minyak untuk penerangan dimalam hari.


Membangun dengan Potensi Lokal

Dengan kondisi di atas dan menyadari potensi yang dimiliki, masyarakat Desa Muara Sahung, Ulak Bandung dan Ulak Lebar merencanakan pembuatan pembangkit listrik dengan mengunakan tenaga air (micro hydro) sebagai alternatif pemenuhan energi listrik yang lebih efektif dan ramah lingkungan.

Pengembangan pembangkit listrik tenaga micro hydro (PLTMH) sebenarnya bukanlah suatu yang sama sekali baru. Masyarakat kecamatan Muara Sahung memiliki pengalaman dan kearifan lokal mengenai teknologi kincir air. Pada zaman Pasirah (Marga) Muara Sahung telah ada masyarakat yang membuat kincir air sebagai penggerak penutuk padi (pabrik) dan sebagai penggerak listrik, namun pada tahun 1986-87 semuanya musnah akibat banjir yang melanda sungai Luas, semenjak itulah sampai tahun 2007 kehadiran kincir air tidak dapat ditemui di wilayah Muara Sahung baik sebagai penggerak penutuk padi (pabrik) atau sebagai penggerak listrik.

Dengan memanfaatkan potensi air yang banyak mengalir di desa, Sungai Luas, anak-anak sungai maupun irigasi sawah yang mengalir sepanjang tahun. Sebagai pendamping dalam menindak lanjuti semua perencanaan pembangunan desa, Ulayat Bengkulu dan Lembaga Adat Jurai Tue berusaha membangun motivasi masyarakat, meningkatkan pengetahuan dan penerapan teknologi tepat guna untuk memanfaatkan potensi yang ada. Oleh sebab itu pada bulan November 2006 perwakilan masyarakat desa sebanyak 6 orang melakukan study IPTEK ke Desa Sumber Harapan, Kecamatan Nasal, untuk melihat langsung PLTMH yang banyak terdapat di desa itu.

Dari kunjungan tersebut banyak pengetahuan yang mereka dapatkan mengenai pembuatan kincir listrik, mulai dari ukuran kincir, jumlah papan/kayu untuk bahan pembuat kincir, kemiringan terjunan air, debit air,listrik yang dihasilkan, bentuk rangkaian kincir itu sendiri sehingga dapat menggerakan dinamo sebagai sumber listrik. Pengamatan langsung ini ternyata efektif untuk merangsang motivasi bagi mereka untuk membagun kincir listrik tersebut di desanya sendiri.

Informasi kunjungan ini banyak terdengar oleh masyarakat sehingga orang-orang berdatanagn untuk mendengarkan langsung informasi tentang kincir listrik tersebut karena mereka pun berkeinginan untuk membuat kincir bagi rumah tangga mereka,dalam waktu yang tidak lama di dusun Nunung desa Ulak Lebar, mayarakat setempat yag berjumlah sekitar 20 KK melakukan gotong royong untuk membuat siring saluran air sehari dalam seminggu, maka selama 2 bulan saluran air sepanjang 30 meteran tersebut selesai mereka kerjakan, selanjutnya mereka membuat rangkaian kincir untuk menggerakan dinamo sebesar 3000 watt.

Kemudian Januari 2007 menyusul pembangunan dua buah kincir di dusun Nunung, meskipun hanya mengeluarkan listrik sebesar 500 watt saja. Kabar keberadaan kincir ini terdengar oleh masyarakat yang berada di desa di Kecamatan Muara Sahung. Pada bulan April 2007 di desa Muara sahung sejumlah 8 orang membentuk kelompok untuk membangun kincir listrik dengan mengunakan aliran irigasi sawah. Mereka setiap hari bergotong royong, mulai dari membuat kincir, membuat pematang kolam sehingga pada saat ini hanya menyisakan pekerjaan pemasangan dinomo dan kabel induk sepanjang 200 meter.

Diharapkan di kemudian hari lama warga lain dapat mencontoh kelompok yang telah berswadaya untuk membuat kincir air (PLTMH) sehingga setiap rumah di desa mendapatkan listrik yang layak. Pembangunan PLTMH ini membuktikan keswadayaan masyarakat. Membangun tidak selalu berarti pembangunan skala besar yang mahal, membangun juga tidak mesti dengan proyek pemerintah dan dengan investor bermodal milyaran. Dengan biaya kurang dari 5 juta per unit PLTMH ini dapat melayani sekitar 10 rumah dengan biaya operasional yang sangat murah, tentunya selama air sebagai energi penggeraknya selalu tersedia. Pembangunan PLTMH ini juga menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga hutan dan sumberdaya alam. Melestarikan hutan berarti menjaga sumber air. Menjaga sumber air berarti menjamin pelayanan listrik untuk berbagai kebutuhan rumah tangga. Sebuah logika sederhana yang kini dapat mereka rasakan secara nyata.


Ditulis oleh
Oka Andriansyah

NAIKNYA BBM

Kenaikan harga BBM dalam negeri telah menyebabkan meningkatnya semua harga kebutuhan hidup manusia, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan. dikalangan masyarakat indonesia. kenaikan Harga BBM menurut kalangan pemerintah sendiri lebih kepada penyelamatan keungan negara, hal ini bertujuan agar negara tidak kolef akibat terlalu banyak mensubsidi masyarakat khususnya BBM, namun jika kita tinjau lagi justru trilyunan rupiah uang dihambur-hamburkan oleh pemerintah dengan bentuk BLT (bantuan langsung tunai), melihat pengalaman-pengalaman sebelumnya BLT justru tidaklah memiliki pengaruh sama sekali dalam menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dikalangan masyarakat khususnya masyarakat miskin, Program BLT yang katanya bertujuan untuk meringankan penderitaan rakyat miskin justru telah menyebabkab masyarakat semakin terjerumus dalam ketidak berdayaan, hal ini terlihat dari penggunaan uang BLT yang kebanyakan tidak dimanfaatkan secara berkelanjutan (modal usaha) dan hal ini jika terus dilakukan akan menciptakan ketergantungan bagi masyarakat seperti indonesia yang sangat tergantung terhadap eropa .

Menurutku BLT hanyalah sebuah bentuk pengalihan opini yang dilakukan oleh pemerintah dalam menekan gejolak yang muncul dimasyarakat, salut untuk kepala-kepala desa di daerah pulau jawa yang tegas menyatakan penolakannya terhadap BLT, hal ini dikarenakan BLT hanyalah akan menimbulkan konflik horizontal dikalangan masyarakt, karena banyak dari masyarakat negeri ini yang ingin miskin demi mendapatkan BLT.
mungkin yang perlu menjadi kajian bagi pemerintah adalah bagai mana meningkatkan peluang kerja bagi masyarakat sehingga pendapatan perkapita menjadi meningkat pula, sehingga berapapun harga BBM masyarakat tetap dengan senag hati membelinya....


Sumbangsih
Tanto medi,s.sos manager Distrik kabupaten kaur ulayat Bengkulu

DOKUMENTASI ULTAH KAB. KAUR

Reni ya...??










ULANG TAHUN KABUPATEN KAUR








Dalam Rangka ulang Tahun Kabupaten kaur Ulayat bersama Dinas kehutanan, perkebunan, ESDM kabupaten kaur, Balai besar TNBBS, WWF-BBS project, Tim Rhino Protection unit (RPU-BBS), WCS-IP ikut berpartisifasi dalam kegiatan memeriahkan Ulang Tahun Kabupetn Kaur, adapun kegiatan yang dilakukan adalah Pemutaran Film dokumenter ulayat, Pembagian buku-buku kegiatan ulayat ke instani pemerintah, pembagian profil kegiatan ulayat selama di kabupaten kaur dan pameran poster kegiatan di kabupeten kaur. Stand ini merupakan stand yang paling banyak dikunjungi masyarakat maupun instansi pemerintah. Dari hasil penilaian dewan juri yang indevenden stand ini merupakan stand yang terbaik dan paling banyak dikunjungi.

Poto Bintuhan tempo dulu

Gamabr ini di posting dari
http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/05/bintuhan-tempo-dulu-dalam-photo.html


Jalan dengan pepohonan di jalan Bintuhan Krui
Collection Westenenk, L.C. 1915-1920



Jembatan Gantung (Cable bridge) Aer Tetap di jalan Manna Bintuhan
Collection Westenenk, L.C. 1915-1920



Menyeberangkan mobil dengan rakit di pertengahan jalan Manna Bintuhan
Collection Westenenk, L.C. 1915-1920



Taman dan alun alun di depan rumah residen H. Hoogenberk di Bintuhan
Collection Westenenk, L.C. 1915-1920



Mobil di atas rakit dekat Bintuhan
Collection Abbenhuis, C.W.A. july 1937



engiriman paket rempah-rempah sekitar Bintuhan yang di lakukan oleh royal Paketvaart society
Collection Abbenhuis, C.W.A., Circa 01/1938



Si kecil Hoogenberk dalam pangkuan Peter di Bintuhan
Collection Abbenhuis, C.W.A. february 1938

"Tunggu Tubang", Pewarisan Matrilineal Suku Semende

PAGI masih sangat dini, tetapi kesibukan di sebuah rumah di Desa Datar Lebar, Kecamatan Semende Darat Ulu, sekitar 100 kilometer dari kota Muara Enim, Sumatera Selatan, sudah dimulai.
RUMILASINAWATI (50) sibuk menjaga nyala kayu bakar di dalam tungku. Berulang kali dia meniupkan udara melalui sebatang bambu. Putrinya, Wahilah (27), sibuk mengaduk isi panci di atas tungku. Namun, aktivitasnya itu berulang kali dihentikan oleh tangisan Sariah, putrinya yang baru berusia dua pekan.
Mak Rum, Yu Wahilah, dan Sariah adalah tiga generasi perempuan yang akan mewarisi tradisi tunggu tubang dalam adat masyarakat Semende.
Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia terbitan LP3ES (1997) menyebutkan, Suku Semendo atau Semende berasal dari kata se yang berarti satu dan mende yang berarti induk atau ibu. Masyarakat suku ini terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Semende Darat yang bermukim di daerah Kabupaten Muara Enim, dan Semende Lembak yang bermukim di Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Tempat bermukim masyarakat Semendo adalah dataran tinggi yang diapit jajaran Pegunungan Bukit Barisan. Dari segi administratif, wilayah itu termasuk dalam Kecamatan Semende Darat Ulu, Semende Darat Laut, dan Semende Darat Tengah.
Desa Datar Lebar berada di salah satu sudut Kecamatan Semende Darat Ulu. Di sebelah utara terdapat Desa Cahaya Alam, desa terakhir sekaligus paling utara dari jajaran desa di kecamatan itu. Satu-satunya jalan aspal yang menuju ke Datar Lebar diapit oleh deretan rumah panggung.
Dengan tradisi tunggu tubang yang mereka anut, dalam ensiklopedi tersebut masyarakat Semendo dikategorikan sebagai salah satu penganut prinsip kekerabatan matrilineal, sebagaimana masyarakat Minangkabau.
"Sesuai dengan tradisi tunggu tubang, anak perempuan paling tua menjadi pemegang hak warisan keluarga. Warisan berupa rumah dan sawah itu tidak boleh dijual," papar Muhammad, suami Mak Rum.
Anak perempuan tertua mengacu ke anak perempuan pertama yang dilahirkan dalam keluarga. Artinya, bisa jadi anak perempuan tertua itu dalam urutan keluarga memiliki kakak laki-laki.
Tradisi yang telah berjalan selama ratusan tahun itu, lanjut Muhammad, bertujuan untuk memastikan bahwa harta keluarga berupa rumah dan sawah tetap bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota keluarga (jurai) dari generasi ke generasi.
Tradisi ini agaknya didasarkan pada filosofi bahwa perempuanlah yang melahirkan kehidupan dan berasal dari rahim, maka perempuan pula yang dipercaya untuk memeliharanya.
Mak Rum adalah pewaris tunggu tubang generasi ketiga. Rumah panggung yang ditempati keluarga itu adalah rumah warisan yang sejak dahulu kala juga ditempati oleh nenek buyut mereka. Status Muhammad sebagai menantu yang menikahi pewaris tunggu tubang mengharuskannya "mengalah", ikut tinggal di rumah warisan itu.
Sejumlah suku di Sumatera juga mengenal istilah semendo atau nyemendo. Dalam adat Orang Rimba, suku asli di Jambi, calon menantu laki-laki terlebih dulu diuji dengan mengabdi di keluarga pihak perempuan, sebelum para tetua mengizinkan mereka tinggal bersama.
Ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi laki-laki Semendo yang ingin menyunting gadis pewaris tunggu tubang. Pihak laki-laki harus menyerahkan perbie atau mahar kepada pihak perempuan. Bisa berupa seekor kerbau atau sapi, perhiasan emas, dan peralatan rumah tangga.
"Persyaratan ini harus dipenuhi. Kalau sampai akad nikah pihak laki-laki tidak bisa memberikan persyaratan itu, dihitung utang," tutur Yu Wahilah.
TIDAK ada kepastian, sejak kapan tradisi tunggu tubang dijalankan oleh masyarakat Semendo. Para tetua di daerah itu menyebutkan daerah Semendo mulai dibuka sekitar tahun 1650. Syekh Nurqodim Al-Bahardin disebut sebagai pionir yang menurunkan masyarakat Semendo, yang mayoritas Muslim.
Thohlon Abdul Rauf dalam buku Jagad Basemah Lebar Semende Panjang (2001) menyebutkan, anak perempuan tertua sebagai pewaris tunggu tubang, harus mampu memaknai tugasnya sebagaimana yang disimbolkan dalam lambang adat Semendo.
Lambang itu terdiri atas guci yang yang berisi jala, kapak, tombak, dan ember penuh air. "Guci yang berisi berbagai peralatan itu, melambangkan seorang perempuan pewaris tunggu tubang harus mampu menyimpan segala rahasia keluarga, baik maupun aibnya," ujar Muhammad.
Sebagai anak perempuan tertua, dia harus bisa tahan terhadap segala masalah dan menjadi ujung tombak pertahanan keluarga. Jika terjadi masalah, ibarat kapak dia harus mampu menyelesaikannya secara adil, tidak berat sebelah. "Dia juga harus mampu seperti jaring yang menghimpun seluruh anggota keluarga," ucap Muhammad.
Ketika orangtuanya telah sepuh atau meninggal, pewaris tunggu tubang bertanggung jawab atas kesejahteraan adik- adiknya yang masih tinggal di rumah itu. Dia harus mengelola sawah, yang hasilnya digunakan untuk membiayai keperluan anggota keluarga.
Seandainya muncul permasalahan dalam keluarga, perempuan pewaris tunggu tubang harus mendengarkan pendapat saudara laki-lakinya. Anak laki-laki, dalam adat berkedudukan sebagai ahli meraje atau pihak yang dimintai pendapatnya atas suatu perkara. Biasanya keputusan atas masalah- masalah besar dilakukan oleh ahli meraje.
"Namun jika anggota keluarga yang beradik kakak itu jumlahnya banyak, bisa dilakukan perjanjian antarsaudara supaya tidak terjadi perselisihan tentang harta warisan yang lain," kata Muhammad.
MENJADI seorang pewaris tunggu tubang tidak membuat seorang perempuan Semendo menjadi istimewa dan berkuasa. Dalam kehidupan sehari-hari, selain harus mengurus rumah tangganya sendiri, perempuan pewaris tunggu tubang dibebani tanggung jawab mengelola sawah dan kebun kopi.
Kewajibannya sebagai penunggu rumah dan pengelola sawah warisan mengharuskan perempuan pewaris tunggu tubang "bertahan" di kampung halaman mereka. Namun, menurut Wahilah, perkembangan zaman memungkinkan bagi perempuan Semendo yang menjadi pewaris tunggu tubang untuk keluar dari rumah.
"Ada juga pewaris tunggu tubang yang tinggal di luar kampung karena bekerja. Tetapi, dia tetap harus mengupah orang untuk mengurus sawah, sedangkan rumah ditempati oleh anggota keluarganya," ungkap Wahilah.
Menurut Wahilah, hal semacam ini tidak dipandang sebagai pelanggaran karena tidak diatur secara ketat dalam adat.
Bagi perempuan-perempuan muda di Semendo, tradisi tunggu tubang di satu sisi menjadi semacam kungkungan baru untuk kemajuan mereka. Nasmah, misalnya, menyebutkan, kakak perempuannya yang menjadi pewaris tunggu tubang keberatan jika harus tinggal di kampung. "Katanya percuma sekolah tinggi-tinggi kalau hanya tinggal di rumah. Tetapi, kakak belum berani bilang ke ayah," ujarnya.
Tradisi tunggu tubang yang telah berjalan ratusan tahun berada di persimpangan pergulatan, antara mewujudkan aktualisasi diri dan menjalankan kewajiban adat bagi perempuan pewarisnya. (doty damayanti)

Sumber Surat kabar Kompas

Tunggu Tubang Adat Semende

Perihal harta waris dalam agama Islam mendapat tempat yang layak. Bahkan, pengajaran soal ini merupakan salah satu bagian yang wajib dipelajari kaum muslimin
Perihal waris yang merupakan salah satu hal yang rumit ini memang semestinya dipahami dengan baik. Sebab terkadang kita mendengar bahwa ada keluarga yang sampai ribut karena bertengkar soal harta warisan. Soal aturan dalam Islam bahwa laki-laki mendapatkan setengah dari harta, juga sering menjadi titik picu rumah tangga bertengkar. Apalagi jika anak dari ahli waris sudah berkeluarga. Hasutan dari pihak istri dan tuntutan anak-anak akan makin menambah runyam permasalahan.
Dalam konteks ini, dalam ada istiadat orang Semende, ada yang namanya tunggu tubang. Tunggu tubang ini merupakan sistem kekeluargaan di mana hal untuk menjadi pewaris jatuh kepada pihak perempuan tertua.
Ini disebabkan adat Semendo menganut garis keturunan dari pihak ibu atau yang disebut matrilineal.
Misalnya, seorang ayah memiliki tiga anak. Anak pertama atau si sulung berjenis kelamin laki-laki. Anak kedua perempuan serta anak ketiga
laki-laki. Nah, hak rumah dan tanah jatuh kepada anak perempuan yang urutannya kedua tadi. Akan tetapi, jika tidak ada anak perempuan bagaimana? Kalau ini yang terjadi, pewarisnya bisa diberikan kepada laki-laki tertua atau istri dari anak laki-laki tertua. Kalaupun masih ada yang perempuan, tetapi dia tidak mau, pilihan-pilihan tadi bisa jadi alternatif. Yang penting, jika syarat tidak ada perempuan dalam struktur anak dalam keluarga, semua harus dipecahkan dengan musyawarah, dengan mufakat, dengan pemusyawaratan. Jadinya demokratis. Pada titik inilah, letak demokratis adat dalam suku Semendo ini.
Umumnya orang Semendo mewariskan harta berupa tanah, sawah, dan rumah. Tanah di sini dalam artian yang bisa diusahakan secara produktif. Maka itu, terkenal bahwa orang Semendo itu punya banyak ladang, sawah, atau kebun. Bahkan, secara berseloroh, orang Semendo disebut "James Bond" atau jeme Semende besak di kebon. Maksudnya, orang Semendo besar di kebun.
Tanah yang ada ini harus diusahakan berproduksi, tidak boleh berhenti. Sebab, dari sinilah semua kebutuhan keluarga besar dipenuhi. Kenapa demikian? Karena, mereka yang mendapatkan tunggu tubang tidak boleh menjual harta dan rumah. Rumah itu akan menjadi rumah tua di mana anak beranak akan berkumpul jika ada acara besar keluarga. Rumah itu akan menjadi simbol bahwa bangunan itu menjadi benteng pertahanan terakhir dari semua garis keturunan. Tidak hanya itu juga, tanah yang ada dan terus berproduksi itu juga berguna kalau ada keluarga yang membutuhkan. Artinya, beban mereka yang menjadi tunggu tubang ini berat. Tanah dan rumah tidak boleh dijual, sementara mereka menghidupi keluarga sambil menjadi kepala keluarga jika ada yang membutuhkan uang. Bisa dikatakan wajib hukumnya bagi tunggu tubang untuk memenuhi semua kebutuhan sanak keluarganya. Contohnya begini. Keponakan tunggu tubang butuh biaya untuk sekolah sedangkan orang tua kandung sedang tidak punya uang. Dalam kondisi demikian, perempuan yang menjadi tunggu tubang itu wajib memberikan uang untuk kebutuhan keponakannya tersebut. Demikian pula jika ada yang membutuhkan.
Kalaupun ada persoalan keluarga yang mendesak dan demikian penting, perempuan yang menjadi tunggu tubang juga harus ikut memfasilitasi agar persoalan itu segera diselesaikan.
Secara umum demikianlah sekelumit yang dimaksud dengan tunggu tubang. Kini, sesuai dengan judul pada tulisan yang dibuat ini, apakah dengan mekanisme adat yang demikian, masih relevan dengan kehidupan di masa sekarang. Penulis akan memberikan beberapa di antaranya.
Pertama, kita harus tetap memandang bahwa yang namanya aturan agama adalah mutlak. Adat harus bersendikan syariat. Benarlah kata mereka yang bersuku bangsa Minangkabau, yang mengatakan bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat itu sendinya syariat, sedangkan syariat itu adanya di kitab Allah atau Alquran.
Maka, kalau ada orang Semendo yang dengan kuat memegang tradisi agama Islam dengan tidak menganut paham tunggu tubang, kita juga harus bisa memandangnya secara bijak, itu pilihan, dan kita harus menghormati. Akan tetapi, buat mereka yang berkukuh bahwa ini adat dan harus diikuti, juga tidak menjadi masalah. Apalagi, meskipun sudah modern, tetap saja kebanyakan orang Semendo tetap menganut adat ini. Kalaupun tidak secara saklek, tetap saja orang tua sudah berpesan bahwa tanah dan rumah yang mengelola si anu sambil menunjuk anak perempuan tertuanya.
Kedua, manfaat dari adanya rumah besar. Dengan ketiadaan hak dari tunggu tubang untuk menjual rumah dan tanah, berakibat pada terpeliharanya warisan yang bersejarah. Dengan adanya rumah tua, semua anak dan cucu masih dapat berkumpul. Rumah tua itulah yang menjadi perlambang bahwa meskipun sudah merantau jauh ke negara atau daerah lain, tetap ada satu rumah untuk berkumpul bersama. Inilah nikmatnya berkumpul bersama. Coba saja bandingkan dengan beberapa keluarga yang lain, yang begitu bapaknya meninggal, rumah dan tanah langsung dijual untuk dibagi-bagi. Akhirnya tidak ada lagi tempat untuk keluarga besar berkumpul. Lambang sejarah dalam keluarga juga hilang. Kenangan akan masa lalu tidak mampu lagi dihadirkan lantaran rumah sebagai simbolnya sudah hilang. Demikian pula dengan segenap peninggalan keluarga, mungkin foto, benda peninggalan, serta silsilah keluarga tidak ada lagi. Dari pengalaman penulis saja, kekerabatan orang Semendo ini cukup kuat. Ada bahkan seorang kerabat penulis yang membuat tembe. Tembe itu garis silsilah keluarga. Dari moyang hingga cicit. Sehingga, sampai ke masa yang akan datang, sampai ke beberapa garis keturunan, masih bisa dilacak siapa saja kerabat yang ada. Sebuah keuntungan yang luar biasa bukan, jika dilihat dari sisi aset keluarga. Dari sini, penulis beranggapan untuk masalah ini, ada baiknya adat ini dikembangkan. Semata-mata agar semua keluarga punya tempat untuk berkumpul.
Ketiga, pemecahan masalah juga mudah dilakukan. Adanya tanggung jawab yang besar dari tunggu tubang membuat permasalahan yang ada pada keluarga besar akan terpecahkan. Tentu saja harus melibatkan tetua dari keluarga, misalnya uwak atau paman. Sering juga kita mendengar bahwa ada keluarga yang sulit sekali untuk memecahkan persoalan lantaran tidak ada yang dituakan atau dimintakan saran. Dengan adanya tunggu tubang, terbuka peluang untuk memecahkan semua persoalan dalam rumah tangga.
Keempat, secara ekonomi, ada topangan. Dengan kewajiban untuk meneruskan kebun dan ladang yang ada, membawa pengaruh pada perekonomian keluarga besar. Memang bukan berarti keluarga yang menjadi tunggu tubang tidak bisa menikmati, dia tetap bisa menikmati, tetapi harus juga memikirkan masa depan pewarisnya.
Umumnya, dengan kebun kopi atau cengkih, bahkan kini cokelat, atau pula padi, secara ekonomi, keluarga tunggu tubang juga tidak kekurangan. Dengan berusaha, tentu dia akan berpikir untuk meneruskan harta dan tanah ini kepada anak perempuan berikutnya. Dari sini kita mendapat pelajaran bahwa adat ini juga "memaksa" orang tua untuk meninggalkan harta yang cukup. Tentu bukan dalam artian berpikir pragmatis soal harta, melainkan lebih kepada tanggung jawab bahwa begitu dia mati, rumah dan tanah tetap hars ada demi kelanjutan ekonomi keluarga. Model ini juga membawa pengaruh yang positif bahwa harta yang ada benar-benar pas peruntukkannya. Tidak dipakai untuk sesuatu yang mubazir. Atau, dijual untuk keperluan pribadi. Adanya aset ini penulis kira merupakan langkah maju dari berpikirnya orang-orang Semendo. Bahwa dia harus memikirkan betapa esok hari atau di tahun yang akan datang kehidupan akan sulit. Jika tidak ditinggalkan harta dan tanah--tentunya juga termaktub pemahaman agama dan moralitas yang baik--anak-cucu akan kesulitan dalam mengarungi kehidupan. Sebuah proses berpikir yang visioner dan sebaiknya memang harus terus dilakukan. Paling tidak dengan budaya tunggu tubang ini ada usaha agar ada yang ditinggalkan sepeninggal diri orang itu. Oleh sebab itu, dari sini saja, hemat penulis, tunggu tubang masih relevan untuk diteruskan. n
Sulmin Dulsari, warga Bandar Lampung bersuku Semende
Kutipan Dari Surat Kabar Lampung

KELANGKAAN AIR BERSIH MENDORONG TINGGINYA HARGA AIR

Hutan secara fungsi memiliki fungsi sebagai mengatur hidrologi dimana hutan berguna dalam menampung air hujan dan menyerap serta menyimpannya di dalam tanah, hal inilah yang tanpa disadari hutan memiliki manfaat untuk mengatur ketersediaan sumber air tawar di permukaan bumi ini. Meningkatnya kebutuhan akan sumber air bersih dikalangan masyarakat harus disadari sebagai sebuah dampak proses semakin meningkatnya jumlah penduduk yang ada dimuka bumi ini.
Ironis memang ketika kita sebagai masyarakat pengguna air belumlah menyadari sejauh mana peran hutan dalam menjaga keseimbangan hutan sebagai areal yang dapat menampung dan mempertahankan sumber air tanah walaupun memang harus diakui kita semua mempelajarinya dalam mata pelajaran IPA di bangku pedidikan dasar (SD).
mayoritas hidup dari mengelola lingkungan sekitarnya seperti bertani baik dilahan basah maupun dilahan kering memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap sumber daya air. Kebutuhan akan air bagi manusia merupakan salah satu kebutuhan mendasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan dan menjadi sebuah kebutuhan dasar hidup manusia (bayangkan jika manusia tidak mengkonsumsi air dalam 1 hari) dehidrasipun akan terjadi. Dalam pelajaran disebuah kelompok pencinta alam menerangkan bahwasannya manusia mungkin akan hidup lebih lama jika dia terus mengkonsumsi air dan bahkan lebih lama dari pada dia memakan nasi/jagung dan makanan lainnya (survival).
Jika kita lihat dan perhatikan dari aktifitas sehari-hari air dapat bermanfaat sebagai:
1. Kebutuhan air minum
2. Kebutuhan untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan
3. Kebutuhan MCK
4. Pembangkit tenaga listrik.
5. Dll
keberadaan air tawar khususnya air bersih merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar dan menjadi urgent keberadaanya.

KELANGKAAN AIR BERSIH.
jika kita lihat media massa akhir-akhir ini hantaman gelombangb bencana terus saja melanda indonesia, banjir yang melanda di hampir sebahagian pulau jawa telah menyebabkan krisis air bersih yang melanda masyarakat, hal ini juga terus merambah ke propinsi Riau, Jambi (sumatera) dan propinsi bengkulu khususnya didas air bengkulu. Kondisi ini tentunya sangat dilematis dimana ketika musim hujan tiba maka kebutuhan air bersih bagi masyarakat justru sangat sulit untuk didapatkan (khusus didaerah rawan banjir), akan berbeda saat musim kemarau tiba bencana kekeringan terus melanda daerah-daerah yang sulit akan sumber daya. Kelangkaan sumber daya air bukan hanya mengancam kehidupan manusia akan tetapi kelangkaan sumber daya air juga terus mengancam ketahanan pangan bangsa indonesia. Jika kita saksikan di media massa bahkan jika kita berada di Comunitas terlihat jelas bahwasannya ancaman banjir dan kekeringan telah berdampak pada menurunnya komuditi pangan masyarakat, gagal panen sebagai akibat dari banjir dan ancaman kemarau yang menyebabkan para petani tidak dapat berproduksi dilahan-lahan persawahan yang mereka miliki maka krisis p[anmganpun semakin berada diambang mata.

GLOBAL WARMING DAN KEPUNAHAN PERADABAN MANUSIA

Ketika perang dunia ketiga akan berdampak pada kepunahan peradaban manusia, isu ini akan semakin hilang dengan Pemanasan Global yang menurut para ahli akan berdampak pada hilangnya 1/3 daratan sebagai dampak mencairnya es di kutup utara (grend land), hal ini lebih disebabkan karena dengan meningkatnya suhu bumi dan berdampak pada meningkatnya suhu pada permukaan laut. Lautan yang mendominasi 70% dari luasan bumi dan merupakan sumber uap dalam menyimpan panas secara efisien. Ketika panas berkumpul penguapan awan akan meningkat, dan hal ini akan menyebabkan meningkatnya penguapan air sebagai akibat suhiu udara yang panas dan menyebabkan daratan es dan lautan es menjadi mencair.
Berdasarkan konfrensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC) mengatakan dalam 100 tahun terakhir tempratur global meningkat menjadi 0,7 derajat Celsius dan diperkirakan akan meningkat hingga 30 celsius pada tahun 2100, ha ini terjadi jika praktek produksi dan konsumsi tidak berubah.
Sistem penghitungan emisi dimulai sejak revolusi industri, lalu tumbuh secara eksponensial pada akhir abad ke 20. pada dasarnya hampir setiap kegiatan manusia menghasilkan emisi gas-gas rumah kaca di atmosfir bumi, komponen terbesar adalah karbondioksida (CO2) yang berdampak pada penebalan CO2 disamping gas metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O). diatmosfir dan berdampak pada meningkatnya temperatur suhu muka bumi. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya pemanasan global yang saat ini menjadi isu internasional.Perubahan iklim juga dipengaruhi oleh manusia.
Selain faktor alam perubahan iklim yang terjadi juga dipengaruhi oleh berbagai aktifitas manusia yang menyebabkan meningkatnya efek rumah kaya yang berlebihan dan memberikan dampak negatif pada kehidupan manusia dan lingkungannya. Aktifitas industri, deforestasi, pertanian, limbah, pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara menghasilkan emisi gas rumah kaca yang menyerap radiasi matahari dan memancarkannya kembali ke bumi yang berdampak meningkatnya suhu panas bumi (global warming). (seri konvensi internasional lingkungan, walhi 1999).
Dalam 17 tahun terakhir tingkat emisi di 10 negara maju naik hingga 87,9%, kecuali Jerman, Rusia, dan Polandia. Ringkasnya emisi karbon di USA mencapai 20,01 ton perkapita pertahun, Australia 19,36, Kanada 18,4, Jepang 9,37, China 3,6, Brazil 1,83, Indonesia 1,40 (karena kebakaran hutan), India 1,02 dan Banglades 0,27 (kompas, mingggu 1 Detember 2007).

Konvensi Perubahan Iklim.
Pada dasarnya konvensi perubahan iklim memiliki tujuan untuk mencapai kestabilan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah kondisi iklim yang dapat membahayakan kehidupan manusia dengan harapan ekosistem yang ada dapat beradaptasi dari perubahan iklim.
Pertemuan para pihak (COP) dalam membicarakan pemanasan global tidak hanya dilakukan sekali saja, akan tetapi hingga saat ini telah dilakukan sebanyak 4 kali.
1. COP 1, dilakukan di berlin, Jerman barat, pada bulan maret 1995
Dengan hasil bahwasannya negara berkembang berkewajiban untuk mengembalikan emisi gas rumah kaca kepada tingkat tahun 1990 di tahun 2000 sesuai dengan tujuan konvensi dan menyiapkan protokol yang berisikan tambahan kewajiban negara-negara berkembang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.


2. COP 2, dilaksanakan di jenewa Swiss, juli 1996
Pada pertemuan ini 160 negara berkembang telah menjadi pihak pada persiapan COP. Dan hasil pada konvensi ini menekankan pada tindakan sesegera mungkin untuk melindungi iklim, memperbaharui dan memperkuat pelaksanaan komitment.
3. COP 3, dilaksanakan di Kyoto jepang, desember 1997
Disepakati tentang kerangka kerja konvensi PBB tentang perubahan iklim (united nations framework konvention on climate change). Dalam pertemuan ini adalah bahwa negara-negara hendaknya mengurangi emisi (GRK/gas-gas rumah kaca) paling sedikit 5% dibawah tingkat emisi GRK tahun 1990 pada priode 2008 – 2012.
Namun pada pertemuan di kyoto jepang ini tidak dihasilkan sangsi tegas terhadap negara 2 maju yang melanggar kesepakatan bersama ini.
4. COP 4, di Buenos Aires, Argentina, November 1998
COP di argentina (buenos aires) lebih menekankan pada
1. keadilan
2. tuntunan negara berkembang untuk memiliki komitmen membatasi emisi gas rumah kaca (bukan mengurangi) negara-negara maju khususnya USA.
3. hutan dan tata guna lahan
4. Clean development mechanism (CDM)
5. pinalti kepada negara-negara maju yang tidak biasa memenuhi komitmennya

Konvensi Perubahan Iklim Di Bali indonesia, Desember 2007
Pada dasarnya konvensi yang dilaksanakan di Bali juga bertujuan bagi para pihak (CPO) untuk mendiskusikan perubahan iklim yang terus berada diambang kritis, meningkatnya emisi rumah kaca yang berada diluar perkiraan para ilmuan, ini lebih disebabkan pada meningkatnya karbon sebagai akibat dari perkembangan industri yang tidak ramah lingkungan disamping hilangnya sebahagian besar hutan dunia. Konvensi perubahan iklim atau Pertemuan para pihak (CPO) yang dilakukan terkait dengan perubahan iklim justru menyebabkan peningkatan suhu bumi diambang kritis bukan semakin berkurang. Hal ini terlihat dari meningkatnya suhu bumi yang berdampak pada mencairnya ± 2 juta ton es di greend land.
Pertemuan di Bali sebenarnya sangat penting dalam memutuskan sebuah kerangka kerja bersama dunia dalam menghadapi dan mencari solusi dalam menangani isu pemanasan global.
Hal yang menarik dari isu pertemuan besar para pihak dari seluruh dunia di Bali adalah isu karbontrad mengenai kompensasi yang harus dibayar negara-negara maju terhadap keberadaan hutan, secara ekonomi jelas hal ini mungkin menguntungkan bagi negara-negara pemilik hutan, akan tetapi pertanyaan besar justru muncul apakah upaya ini dapat menekan pemanasan global yang terjadi. Dalam pertemuan dibali yang berakhir pada 14 desember 2007 tidak diperoleh kesepakatan para pihak atau yang lebih dikenal Peta Jalan Bali dalam menekan pemanasan global.

Kepentingan Dunia Terhadap Hutan Indonesia.
Keberadaan hutan indonesia yang saat ini menjadi kebutuhan internasional dalam menekan pemanasan global tentunya menjadi hal yang sangat penting untuk dilestarikan, hal ini sebagai mana yang kita ketahui bersama bahwasanya hutan memiliki fungsi untuk mengelola karbondioksida (CO2) menjadi oksigen (O2) dengan proses fotosintesisnya. Akan tetapi upaya pelestarian hutan tentunya tidaklah berimbang dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dunia, khususnya negara-negara maju dan negara berkembang.
Upaya menekan pemanasan global tentunya harus dilakukan oleh para pihak, seperti negara-negara maju dan negara berkembang dalam menekan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan industri-industri (ramah lingkungan). Upaya pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab Indonesia akan tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai mahluk yang ingin hidup lebih lama di Planet yang bernama Bumi ini.

Arogansi AMERIKA memicu meningkatnya pemanasan global.
Amerika dan beberapa negara maju memiliki peran besar dalam menyumbang meningkatnya pemanasan global dibumi, hal ini terlihat pada konvensi di kiyoto jepang dan konvensi di Buenos Aires bahwasannya amerika tidak akan mengurangi emisi rumah kaca di negaranya akan tetapi amerika menginginkan agar negara-negara berkembang dapat membatasi emisi rumah kaca, skenario ini sebenarnya bertujuan agar negara-negara yang mengeluarkan emisi di bawah ambang batas ketentuan, dapat dimanfaatkan oleh negara-negara maju khususnya amerika serikat, pada konvensi di Bali pun amerika sebagai negara super power tetap bersikukuh untuk tidak menurunkan emisi gas yang dihasilkan dari industri mereka, hal ini menurut para ekonom dan pakar lingkungan lebih dipicu kepada biaya yang besar untuk melakukan reformasi industri di amerika dan menurunnya penguasaan ekonomi dunia, dan dalam pertemuan di bali pun amerika tetap bersikukuh tidak akan menurunkan emisi yan dihasilkan oleh negara super power ini.

Kemiskinan Sebagai Dampak Pemanasan Global.
Pemanasan global tidak hanya berdampak pada kondisi lingkungan dan bumi saja akan tetapi pemanasan global juga berdampak pada pemiskinan masyarakat yang secara harfiah memiliki ketergantungan sangat besar kepada lingkungan.
Pemanasan globalpun juga dirasakan oleh masyarakat petani, hal ini lebih disebabkan pada perubahan musim yang terjadi dimana masa tanam yang biasa dilakukan oleh para petani pada bulan agustus s.d desember. tapi saat ini tidak dapat dipastikan seperti dulu. Hal senada juga disampaikan oleh beberapa orang petani di propinsi bengkulu khususnya dikabupaten kaur yang mengatakan bahwasannya masa tanam padi (khususnya petani sawah dilahan kering) tidak dapat lagi seperti dahulu hal ini dikarenakan ketergantungan petani dilahan kering sangatlah bergantung pada curah hujan yang tak dapat dipastikan datangnya, selain itu resiko kekurangan pangan menjadi ancaman serius hal ini karena banyak areal prersawahan di hilir sungai yang tertimbun sebagai akibat dari sedimentasi tanah/lumpur yang di bawa banjir dan menyebabkan unsur hara tanah menjadi hilang, disamping itu pemanasan global juga telah menyebabkan menurunnya tingkat kesuburan tanah, bencana alam seperti banjir, tanah longsor, erosi, dan naiknya air laut yang berdampak pada ancaman bagi masyarakat dipesisir pantai dan rusaknya ekosistem laut.
Degradasi lingkungan menjadi salah satu penyebab meningkatnya permasalahan sosial yang ada dimasyarakat. Hal ini terlihat dari terjadinya perubahan mata pencarian masyarakat dari bertani menjadi buruh-buruh kasar di daerah-daerah maju dan bukan tidak mungkin juga menyebabkan meningkatnya kriminalisme di masyarakat, disamping itu konflik horizontal tak mungkin terhindarkan ketika kepentingan masyarakat semakin mahal untuk mereka konsumsi, seperti kesedian air bersih yang semakin langkah dan menjadi mahal.


Global Warning Menyebabkan Air Laut Naik ± 3-5 Meter Kepermukaan Pantai Bengkulu.
Sebuah gejala alam yang mungkin hampir luput dari perhatian kita yang sering menikmati keindahan pantai bengkulu adalah naiknya air laut dikawasan pantai bengkulu telah menyebabkan hilangnya daratan dikawasan pantai bengkulu sejauh ± 3-5 meter. Peningkatan suhu bumi harus diakui sebagai salah satu yang menyebkan air laut. Jika dalam 10 tahun terakhir wilayah pesisir mengalami kehilangan daratan mencapai 5 meter maka bukan tidak mungkin dalam kurun waktu 10 tahun kedepan air laut akan sampai kepada jalan yang membelah kawasan pantai bengkulu (amati pantai bengkulu).
Berbeda menurut masyarakat di sekitar pinggiran pantai dikabupaten kaur kecamatan tanjung iman dalam kurun waktu 20 tahun wilayah daratan di sepanjang pantai seiring dengan abrasi pantai yang terjadi diwilayah ini air laut telah naik kepermukaan hingga 25 meter ke daratan.
Hilangnya kawasan penyanggah di kawasan pesisir pantai Bengkulu justru akan memicu peningkatan air laut semakin cepat hal ini dikarenakan tidak ada tumbuhan/tanaman yang dapat menahan degradasi kawasan pesisir.

ADA PERTANYAAN BESAR YANG SEHARUSNYA KITA TANYAKAN PADA DIRI KITA SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB TERHADAP KEHANCURAN BUMI? DAN SIAPA PULA YANG BERTANGGUNG JAWAB MENJAGANYA?
DAN MUNGKIN MARI BERSAMA KITA NYATAKAN PERANG KEPADA USAHA-USAHA PERUSAKAN LINGKUNGAN.
“ MARI SELAMATKAN BUMI YANG HANYA SATU”

Dari berbagai sumber.

LINGKUNGAN HIDUP dan PERMASALAHANYA

Lingkungan hidup memiliki unsur-unsur yang kompleks dan saling mengatur sehingga menjadi keseimbangan didalamnya. Lingkungan hidup juga memiliki unsur biotik seperti manusia, tumbuhan hewan dan mikro organisme disamping unsur abiotik seperti batu, air, tanah oksigen, potensi tambang yang saling berhubungan dan mengatur sebuah ekosistem dan terciptanya keseimbangan alam didalamnya.
Unsur-unsur yang terdapat dalam lingkungan hidup tentunya sangat sfesifik sehingga membuat habitat dan ekosistem di sebuah wilayah menjadi sfesifik pula. Ini terlihat dari perbedaan wilayah dan tempat hidup dari masing masing mahluk hidup. Habitat yang terdapat di kawasan pesisir dan hutan mangruve tentu akan berbeda dengan dengan habitat hutan dengan ketinggian tertentu begitu juga ekosistem laut tentu akan berbeda dengan ekosistem yang ada didarat. Namun perbedaan habitat menjadi satu kesatuan yang saling berketergantungan. Berdasarkan Undang-undang Lingkungan hidup nomor 23 tahun 1997 lingkungan hidup mengandung pengertian adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia, dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain;
Sebagaimana yang katakan oleh Prof. Dr.I Supardi, (1993:9) bahwa lingkungan hidup mengandung pengertian “semua kesatuan ruang yang terdapat didalamnya (lingkungan fisik, biologis, sosial budaya), manusia dan tingkah laku perbuatannya yang terdapat dalam ruang, dimana manusia berada dan mempengaruhi kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia dan mahluk-mahluk hidup lainya”.
Lingkungan hidup tidak hanya mahluk hidup yang ada diatasnya akan tetapi juga mencakup mahluk tak hidup beserta daerah sekitarnya (lingkungan) baik di darat, sungai,di laut maupun di udara yang menjadi satu-kesatuan sehingga menbentuk sebuah ekosistem yang mengatur keseimbangan alam.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya masyarakat di Indonesia secara mayoritas hidup dari mengelola lingkungan alam disekitarnya, seperti dari lahan pertanian dan sumber daya laut dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Salah satu ciri khas masyarakat yang yang bergantung dari lingkungan hidup disekitar terlihat dari hubungan yang sangat erat antara anggota masyarakat dengan lingkungan hidup (udara, sungai, hutan) yang ada disekitarnya.
Ketergantungan manusia terhadap lingkungan hidup terlihat dari kebutuhan mereka akan sumber daya air dan sumber daya oksigen yang dapat menyebabkan mahluk hidup dapat bertahan di alam yang bernama bumi ini. Disamping itu ketergantungan manusia akan lingkungan hidup terlihat melalui kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam memanfaatkan dan mengelola alam yang dapat digunakan atau dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari, seperti nelayan, petani, ekspoloitasi tambang dan bahkan pada masyarakat disekitar kawasan hutan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya masyarakat di Indonesia secara mayoritas hidup dari mengelola lingkungan alam disekitarnya, seperti dari lahan pertanian dan sumber daya laut dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Salah satu ciri khas masyarakat yang yang bergantung dari lingkungan hidup disekitar terlihat dari hubungan yang sangat erat antara anggota masyarakat dengan lingkungan hidup (udara, sungai, hutan) yang ada disekitarnya.

Permasalahan Lingkungan Hidup.
Indonesia merupakan salah satu dari enam negara di dunia yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang berlimpah ruah (megadivercity), Namun saat ini kondisi lingkungan hidup di dunia terus mengalami kerusakan penurunan sebagai akibat dan pemanfaatan yang berlebihan (over exspoloitasion).(Buletin Lauser 2002)
Luas daratan indonesia mencapai 1,3% dari luas daratan di dunia. Berdasarkan investigasi dan monitoring yang dilakukan laju kerusakan hutan indonesia setiap tahun mencapai 2 juta ha pertahun (skephi, 2002).
Saat ini sebagian besar habitat menghadapi ancaman kritis dan kepunahan sebagai dampak dari hilangnya ekosistem/habitat mereka.
Berdasarkan prediksi dan survey berbagai organisasi-organisasi lingkungan, tutupan hutan dataran rendah dan habitat tropis yang paling kaya akan hilang dari sumatera dan kalimantan pada tahun 2010/2015 jika berbagai faktor defortasi lingkungan tidak dicegah. (Forest Wacht Indonesia, 2002)
Berbagai persoalan lingkungan hidup seperti pengurasan sumber daya alam, perusakan lingkungan dan pencemaran telah menyebabkan menurunnya kwalitas lingkungan hidup. Sehingga berdampak pada kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.Meningkatnya jumlah penduduk dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijak juga mendorong semakin meningkatnya degradasi lingkungan.
Kehancuran hutan sebagai daerah penghasil oksigen telah menyebabkan meningkatnya panas bumi, atau lebih dikenal dengan pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan meningkatnya suhu panas bumi, disamping itu dengan kerusakan hutan yang terjadi pada saat ini juga sebagian besar habitat menghadapi ancaman kritis dan kepunahan sebagai dampak dari hilangnya ekosistem/habitat mereka.

Beberapa Faktor Penyebab Rusaknya Lingkungan Hidup
1. Pembukaan hutan (ladang berpindah)
2. Pembukaan hutan untuk usaha perkebunan
3. Pembukaan hutan untuk exsploitasi tambang
4. Ilegalloging
5. Kebutuhan pemerintah untuk mendapatkan dan peningkatan pendapatan daerah.
6. Bencana alam
7. Lemahnya dan tidak konsistennya penegakan UU
8. Limbah/rumah tangga dan industri
9. dll
Dampak kerusakan lingkungan
a. Hancurnya ekosistem flora dan fauna
b. Hancurnya habitat satwa (punahnya flora dan fauna)
c. Erosi/tanah longsor/banjir, kekeringan
d. Rusaknya lahan pertanian masyarakat
e. Perubahan iklim
f. Menurunnya kwalitas hidup manusia (kesehatan)
g. Meningkatnya suhu (panas bumi),
h. Menurunnya pendapatan masyarakat, dll
Rusaknya Ekosistem Memberikan Ancaman Terhadap Petani.
Dikalangan petani ancaman hama babi menjadi wabah yang sangat menakutkan dan memberikan ancaman yang sangat serius,

BATU JUNG WAYHAWANG

Baju Jung sebutan untuk Batu kerang yang berada di tepi pantai wayawang kecamatan maje kabupaten kaur, menurut mitos batu ini berasal dari sebuah kapal, hal ini terjadi karena kutukan sipahit lidah. pada saat itu ada sebuah kapal yang sedang mencari ikan, tetapi ada sebuah bapak(sipahit yang sedang berjalan disekitar tepi pantai....dia meminta api pada sang pemilik kapal itu dia memanggil-mangil tapi seperti tak diharaukan, sebenarnya bukan karena tak dihiraukan tetapi jaraknya cukup jauh dari tepi pantai sehingga tidak terdengar oleh pemilik kapal itu.maka dikutuklah sebuah kapal tu menjadi batu. dan berubahlah kapal ttu menjadi batu. kalau dilihat bentuk batu itu mirip sebuah kapal/perahu....
saat ini kondisi daerah ini telah memperhatinkan, semoga saja pemerintah daerah dapat mengelola potensi wisata yang bagus ini, tidak membiarkannya rusak.pendapatan investasi bukan haya saja menjual tanah Rakyat kepada invsetor, tetapi investasi akan banyak didapat dengan adanya pengelolaan sumber daya alam yang baik.

Gambaran Umum Kabupaten Kaur

Kabupaten Kaur adalah kabupaten di Provinsi Bengkulu yang berbatasan dengan Kabupaten Bengkulu Selatan dan Kabupaten Lahat di sebelah utara, Kabupaten Lampung Barat di sebelah selatan, Kabupaten OKU Propinsi Sumatera Selatan di sebelah timur, dan di sebelah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia
Kabupaten Kaur memiliki luas wilayah 236.380 ha, dengan kawasan hutan mencapai 143.568, 27 ha atau lebih kurang 60,74% dari total luas daratan yang ada. Di kabupaten ini terdapat Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) seluas 66.000 ha dan Hutan Lindung Bukit Raja Mandara seluas 42.567 ha berada di sebelah utara –timur laut TNBBS. Seluruh Kawasan hutan Kaur tersebut merupakan bagian dari Lansekap BBS Kaur. Jumlah penduduk dari data terakhir yang didapatkan bahwasanya penduduk Kabupaten Kaur berjumlah ± 107.521 jiwa yang terdiri ± 56.094 jiwa laki-laki dan ± 51.427 penduduk perempuan. (BPS; 2005)
Saat ini luas lahan kritis yang ada di kabupaten kaur mencapai 1.444.432 ha yang berada di luar kawasan hutan dan 761.169 ha yang terdapat dalam kawasan hutan. (BPS;2005)
Desa-desa yang berbatasan langsung dengan TNBBS sebagian besar kondisinya masih terisolir, sementara mata pencarian masyarakat pada umumnya hidup dari sektor pertanian baik petani dilahan basah maupun lahan kering, namun secara umum masyarakat didaerah ini hidup di bawah garis kemiskinan.

Ulayat telah melakukan berbagai kegiatan di kawasan Lansekap BBS Kabupaten Kaur. Program pengelolaan terpadu ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di kawasan ini. Program dimulai dengan pengkajian dan perencanaan partisipatif sebagai landasan bersama dalam pengelolaan kawasan. Dari kajian bersama masyarakat di 14 desa di Kabupaten Kaur, disadari bahwa terdapat banyak potensi sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal.

TARI ADAT SEMENDE

Dalam rangka Ulang Tahun Kabupaten kaur, setiap kecmatan diadakan perlombaan-perlombaan. gambar ini adalah para ibu-ibu desa tj. beringin sedang latihan tari adat yaitu tari piring yang natinya akan dirigin dengan tembang-tembang semende, dan juga diringini dengan gambus dan biola.sebenrnya tujuan dari pada kegiatan ini adalah untuk membangkitkan kembali budaya semende yang telah semapat terbenam. perlombaan ini natinya akan diadakan di kantor camat kecamatan nasal. dan akan diikuti oleh beberapa peserta, tergantung adat masing-masing. yang akan mengikuti perlombaan tari ini adalah terdapat 5 desa, yaitu desa suku tiga, desa air palawan, desa muara Dua, desa tebing rambutan dan Desa Tj. beringin semua desa ini adalah kumpulan orang-orang semende yang ada di kecamatan Nasal

AIR SUNGAI MUARA SAHUNG

Asyiknya Mandi Sungai Muara sahung, saat ini kondisi sungai masih terlihat jernih,dan dipenuhi oleh bebatuan yang besar-besar.

Jambat Nasal


Setelah selesai sedikit berbagi pengalaman di desa Suku tiga dalam rangka pelatihan pertanian organik, sedikit menyempatkan waktu untuk isterahat di jambatan Air Nasal

PANTAI WAYHAWANG


Seandainya potensi sumber daya alam terutama wisata pantainya diolah dengan baik barang tentulah para wisatawan-wisatan akan berlomba-lomba untuk datang ke kaur

berbagi pengalaman pembuatan pupuk organik di kaur

Melihat Naiknya harga Pupuk kimia dan pestisida dipasaran, bahkan sulit untuk didapatkan karena langkanya barang itu. kami dari yayasan ulayat mencoba mencarikan alternatif yang terbaik baik itu lingkungan, manusia dan hewan.yaitu pengembangan pertanian organik dimana pertanian organik adalah untuk meningkatkan ketahanan sebagi sistem selaras dengan alam, mengembalikan siklus ekologi dalam suatu areal pertanian sehingga membentuk aliran yang seimbang. pelatihan ini diadakan di Desa suku tiga kecamatan Nasal, kabupaten kaur

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM MENURUT ADAT SEMENDE

Masyarakat adat suku Semende Marga Ulu Nasal Di Desa muara Dua, merupakan komunitas adat yang masih arif dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayahnya. Kearifan dan pengetahuan lokal tersebut telihat ketika dalam pemilihan lokasi hutan yang akan dikelolanya, dan mereka sadar bahwa lahan yang sudah dibuka harus di hutankan kembali yaitu dengan menananam tanaman keras dan secara fungsi ekologisnya sama dengan tumbuhan hutanDalam sistem pengelolaan sumber daya alam masyarakat ini telah menerapkan sistem pengelolaaan sumber daya alam yang berorentasi pada kepentingan lokal/adat yang tinggal di dalam dan atau disekitarnya yang menerapkan kelestarian dan daya dukung lingkungan, yaitu pola pengelolaaan sumber daya alam yang berasaskan pada prinsip-prinsip Sustainabillity. Masyarakat suku semende juga mempunyai ciri mungkin sama dengan masyarakat Adat lainnya Umumnya Sumatera dalam pengelolaan SDA setiap pembukaan lahan meraka mengikuti pola dari kebun, menjadi Talun dan akhirnya sampai hutan lagi lalu mereka tinggalkan mereka akan membuka lahan baru lagi yang mereka anggap masih subur dalam wilayahnya tersebut, tapi suatu saat mereka akan kembali lagi ketempat yang tadinya mereka hutankan untuk membuka dan mengelolanya begitu seterusnya.

Berdasarkan pola-pola pemanfaatan SDA diatas masyarakat adat semende ini membagi atas jenis hutan :
1. Hutan larangan (Hutan Lindung Adat)
Bagi penduduk desa muara dua suku semende lembak, hutan yang merupakan tempat mata air dilarang dibuka karena kepercayaan mereka bahwa daerah tersebut daerah ulu tulung buntu dimana di tempat itu tempat bermukim makhluk halus/gaib. Bila tempat tersebut dibuka maka makluk halus akan menyerang sipembuka beserta anggota keluarganya serta akan mendapat celaan dari masyarakat adat yang mengetahuinya.
2. Hutan cadangan (Kawasan keloala Rakkyat)
Hutan ini warisan nenek moyang yang mempunyai telah mempunyai hak milik dan diperuntukan bagi anak cucu mereka.

3. Hepangan (Repong)
Hepangan adalah luasan lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman buah seperti durian, duku, tembedak, manggis dan lain-lain. Pada hepangan ini berbagai jenis tumbuhan hutan seperti berbagai jenis kayu, rotan dan lain-lain sengaja dibiarkan tumbuh. Hepangan ini warisan dari leluhur yang dititipkan kepada tunggu tubang sebagai pengelola, sedangkan kepemilikannya milik semua ahli waris dari generasi kegenerasi. Semua ahli waris akan menjaga hepangan ini dari tindakan-tindakan yang akan merusaknya. Bila ada ancaman kerusakan yang disebabkan oleh manusia termasuk oleh salah satu ahli waris maka semua ahli waris akan bertindak mencegahnya bahkan bila mungkin mengusirnya.
4. Himbe (Hutan primer)
Himbe yaitu hutan yang belum pernah dibuka atau dikelola oeh manusia .
5. Belukae (Hutan skunder)
Hutan ini menurut adat semende terdiri atas belukae mude, belukae tue
belukae mude yaitu areal/lahan yang baru mereka tinggalkan dimana pada lahan tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon semak/perdu. Lahan ini umumnya ditinggalkan berkisar 1- 10 tahun. Sedangkan belukae tue lahan yang ditinggalkan dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu diatas 10 tahun, sehingga telah menjadi hutan bahkan sudah seperti hutan primer. Lahan-lahan ini secara adat ditetapkan milik sipembuka pertama. Bila terjadi pelanggaran maka pelanggar akan diadili secara adat yang diberi sanksi berupa pengusiran dari lokasi tersebut.










Sudah menjadi tradisi mereka bahwa orang pertama yang membuka hutan adalah pemilik yang berhak atas lahan hutan itu. Proses pembukaan hutan diawali dengan pamitan/izin survei lokasi kepada pimpinan adat dan kemudian melakukan ritual adat. Hutan yang akan dijadikan lahan garapan dipilih pada areal-areal yang relatif datar dengan kondisi lahan yang masih subur dengan melihat warna tanah, kotoran cacing dan jenis pohon yang tumbuh diatasnya. Jenis tanah yang mereka pilih berwarna hitam hingga coklat kekuningan, kotoran cacing yang banyak menunjukan bahwa tanah tersebut subur, sementara jenis pohon yang tumbuh diatasnya berupa kayu-kayu lempung sejenis Meranti.

Pembukaan lahan ini dilakukan dengan cara berkelompok yang masing-masing masih memiliki kekerabatan dekat (keterkaitan keluarga). Sebelum melakukan pembukaan lahan terlebih dahulu mereka membagi lahan dengan cara memberi tanda batas lahan masing-masing pembagian yang mereka sebut rintis. Setelah membuat rintis mereka memulai menebangi pohon-pohon kecil (nebas).

Setelah selesai menebas untuk sementara mereka membiarkannya selama lebih kurang 3 bulan yang disebut gantung akae, maksudnya agar akar yang merambat diantara pepohonan yang mereka tebas dibiarkan lapuk terlebih dahulu. Setelah selesai proses gantung akae maka mereka melakukan penebangan terhadap pohon-pohon besar. Biasanya dalam proses penebangan mereka bergotong royong. Selesai menebang pohon-pohon besar ini, dilakukan pemotongan terhadap cabang-cabangnya yang mereka sebut meredah, lalu dilakukan proses pengeringan dengan membiarkan beberapa waktu agar pohon-pohon yang sudah ditebang menjadi kering dalam bahasa mereka ampae hebe. Ampae hebe berlangsung lebih kurang 2 sampai 3 bulan tergantung cuaca, untuk kemudian dilakukan pembakaran.

Proses pembakaran dilakukan dengan terkendali untuk mencegah kebakaran yang lebih luas, dalam kurun waktu ampae hebe mereka membuat sekat bakar yang disebut pengekasan. Pembuatan sekat bakar ini umumnya dilakukan pada sekeliling lahan dengan lebar sekat 4 depe (5 meter).

Pembakaran lokasi secara adat terlebih dahulu dilakukan ritual atau upacara jampi ayik, dimana air dengan ukuran 3 liter diberi mantera lalu dipercik-percikan pada sekeliling dengan maksud agar api tidak menyebar atau menjalar ketempat lain yang tidak diinginkan. Setelah upacara selesai maka dilakukan pembakaran lahan, pembakaran lahan ini biasanya dilakukan pagi hari atau sore hari dengan pertimbangan kelembaban udara tinggi dan hembusan angin tidak kencang. Penyulutan api dengan menggunakan musal bambu yang dimulai dari melawan arah angin, titik mata api diupayakan sebanyak mungkin maksudnya agar nyala api tidak terlalu besar.

Kegiatan selanjutnya adalah manduk. Manduk adalah membersihkan lahan dari sisa-sisa pohon yang tidak terbakar. Sisa-sisa pohon seperti cabang, ranting, pohon-pohon kayu yang ukurannya relatif kecil digunduk-gundukan lalu dibakar. Setelah beberapa hari dari proses pembersihan lahan ini dimana kodisi lahan sudah tidak hangat/panas akibat pembakaran maka kaum perempuan mulai menaburkan benih sayur-mayur seperti, cabe (Capsicum annum L) , Terong (Solanum spp.), tomat (Eugenia spp.) Timun (Cucumus sativus L), pepaya (Carica papaya) dll. Tindakan selanjutnya adalah penugalan dengan menggunakan kayu sejenis pancang yang diruncing ujungnya (tanam padi darat). Penugalan ini diawali dengan upacara Ritual Nembai Nugal. Upacara ini dimaksudkan agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik dan terbebas dari serangan hama dan penyakit. Dalam upacara ini disediakan sejenis sesajian berupa Serabi empat puluh, bubue sembilan, lemang tujuh batang, satu bumbung air, junjung dan benih-benih padi yang direndam dengan air selasih atau kemangi. Lalu baca mantera tolak bala. Selanjutnya penugalan dengan tujuh mata tugal yang diisi dengan benih padi. Setelah itu segala kegiatan dilahan tersebut diistirahatkan selama 7 hari. Kemudian kegiatan penugalan dilanjutkan hingga selesai. Dalam masa pemeliharaan tanaman padi ini biasanya digunakan untuk membuat gubuk peristirahatan.

Masa panen padi setelah padi berumur 6 bulan. Panen padi juga diawali dengan upacara ritual nembai ngetam. Sesajian ini berupa serabi 40, bubue 9, lemang 7 batang, air satu gelas. Lalu dibaca mantera dengan membakar menyan. Upacara ini diakhiri dengan menuai padi sebanyak 7 langgum (kepalan tangan).

Selesai panen padi kegiatan seterusnya munggas yaitu membersihkan batang-batang padi dari lahan. Lalu lahan tersebut ditanami dengan tanaman kebun seperti cengkeh (Eugenia aromatica), kopi (Coffea arabica), lada (Piper ninglum L.) sebagai tanaman pokok . Disamping itu juga mereka menanaman tanaman keras seperti Durian (Durio zebitinus), manggis (Garcinia mangostana), Duku (Lansium spp.), petai (Parkia speciosa), Rambutan (Nephylium lappaceum L.) dll. Tanaman buah-buahan ini mereka tanam karena mereka sadar bahwa tanaman kebun tersebut dalam waktu relatif singkat (7 – 10 tahun) tidak akan produktif lagi, dan tanaman buah-buahan akan mulai menghasilkan. Tanaman buah-buahan ini mereka sebut hepangan. Pada hepangan ini akan tumbuh berbagai jenis tumbuhan hutan seperti kayu, rotan dll. Hepangan ini akan diwariskan dari generasi kegenerasi.


1. Tunggu Tubang

Masyarakat adat suku semende lembak desa muara dua menganut adat tunggu tubang.
Dalam adat tunggu tubang tidak ada pembagian warisan. Harta warisan yang ditinggalkan secara langsung akan diturunkan dari generasi kegenerasi (harta warisan akan diwariskan pada tunggu tubang-tunggu tubang generasi selanjutnya yaitu anak perempuan tertua dari keturunan tunggu tubang) . Tunggu tubang adalah ahli waris yang mempunyai hak kelola terhadap semua harta warisan, sementara hak milik tetap pada semua ahli waris (anak-anak pewaris).

Dalam adat suku semende lembak desa muara dua, tunggu tubang adalah anak perempuan tertua, semenetara anak laki adalah jenang jurai (pemimpin keluarga). Jenang jurai ini didalam memimpin keluarga dibawah naungan dan kontrol meraje/ payung jurai (saudara laki-laki dari ibu). Persoalan-persolan keluarga dalam adat tunggu tubang ini diselesaikan melalui musyawarah angota keluarga.

Harta warisan ini secara adat tidak dapat diperjual belikan karena menurut kepercayaan mereka akan memutuskan amalan orang tua, dan akan mendapat hukuman/kutukan dari yang maha kuasa. Disamping itu harta warisan ini adalah simbol sejarah dan aset perekat atau pemersatu keluarga.

Kegiatan AMAN Bengkulu

Masyarakat adat merupakan elemen terbesar pembantuk Negara Bangsa (Nation-State) namun ironisnya masyarakat adat telah menjadi salah satu pihak yang paling banyak dirugikan oleh kebijakan politik pembangunan selama hampir empat dasawarsa. Berbagai kebijakan baik di tingkat nasional maupun di daerah eksistensi komunitas adat belum terakomodasikan bahkan disingkirkan secara sistimatis dari agenda politik pembangunan.
Kebijakan yang dibuat negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil alih hak asal-usul, hak atas wilayah adat dan lain-lain. Perangkat-perangkat kebijakan memaksa uniformalitas dan hegemonistik yang diproduksi dan digunakan secara sistimatis guna memperkuat dan mempertahankan kedaulatan negara atas mayarakat adat.

Dewasa ini, fakta di lapangan berbicara, bahwa hilangnya kedaulatan masyarakat adat atas tanah dan Sumber Daya Alamnya serta segalah kerusakan alam yang terjadi, disebabkan mereka tidak pernah diajak bicara oleh para pembentuk kebijakan. Masyarakat Adat tidak pernah dimintai pendapat dan persetujuannya secara bebas tanpa intimidasi dan manipulasi dalam menentukan kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Alhasil setiap kebijakan negara yang dibentuk selalu memposisikan Masyarakat Adat sebagai penerima resiko dan dampak tanpa memiliki ruang untuk mengajukan keberatan apalagi usul perubahan.

Akumulasi dari system yang selama ini dijalankan telah menimbulkan banyak Konflik antara masyarakat dan pejabat pemerintah serta perusahaan-perusahaan merebak di mana-mana. Dalam sebagian besar kasus, pemerintah tampak tidak mampu atau tidak mau mengambil prakarsa untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan ini dengan cara mengakui hak-hak masyarakat atau membantu pihak perusahaan dan masyarakat untuk menemukan penyelesaian yang setara. Perselisihan-perselisihan ini sesungguhnya merusak pengelolaan hutan yang berkelanjutan, kesempatan mendapatkan keuntungan di pihak perusahaan dan menunda dinikmatinya manfaat pengelolaan tersebut oleh masyarakat.

Dalam banyak perkara tersebut, perusahaan bernegosiasi dengan masyarakat hanya berbekalkan pengetahuan yang sedikit sekali tentang konsep-konsep pemilikan dan penggunaan lahan oleh masyarakat, tidak cukup memahami hak-hak adat dan proses-proses hukum yang layak. Di pihak masyarakat, keterlibatan mereka dalam negosiasi terjadi dengan persiapan yang jauh dari cukup, juga masih kurangnya kesadaran tentang hak-hak mereka, kapasitas negosiasi yang rendah, dan tanpa perlengkapan atau alat-alat yang layak dan cukup untuk memastikan adanya kesepakatan bersama di tingkat komunitasnya tentang perundingan. Dengan demikian penyelesaian pertikaian sering bersifat sementara, mengakibatkan perpecahan di tingkat komunitas, konflik yang berkepanjangan dan mengurangi efektifitas pembangunan.

Suatu pendekatan berdasarkan hak dalam penyelesaian konflik menegaskan pentingnya pengakuan hak atas tanah, pentingnya prinsip menyatakan persetujuan secara bebas berdasarkan informasi yang sejelas-jelasnya tentang sebuah projek pembangunan, dan kesepakatan-kesepakatan berdasarkan negosiasi. Prinsip persetujuan tanpa paksaan setelah mendapatkan informasi adalah prinsip yang diterima secara luas sebagai prinsip hukum dan yurisprudensi internasional. Prinsip ini menghendaki adanya proses-proses pengambilan keputusan untuk mengakui hak masyarakat adat atas tanah dan menjamin adanya negosiasi-negosiasi yang transparan dan tanpa paksaan dalam mencapai penyelesaian sebelum memasuki tahapan pengusulan pembangunan-pembangunan ke depan jika persetujuan telah tercapai.

Dalam rangka turut serta mencari alternatif mekanisme penyelesaian konflik-konflik sumberdaya yang dihadapi oleh berbagai kelompok masyarakat adat yang menjadi anggotanya, bekerjasama dengan Forest People Program, dengan dukungan banyak pihak, AMAN menyelenggarakan sebuah program untuk mempersiapkan kelompok masyarakat adat terpilih dan para pihak yang terlibat konflik sumberdaya alam. Secara umum program ini dimaksudkan agar masyarakat adat dan para pihak yang terkait mampu maju pada suatu proses perundingan untuk menyelesaikan konflik-konflik sumberdaya yang mereka hadapi bersama.

Menginisiasi Peraturan Desa dan Penguatan Kelembagaan Di Desa Muara Dua, Desa Sumber Harapan dan Desa Tebing Rambutan Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur

Taman Nasional Bukit Baris Selatan (TNBBS) adalah salah satu Taman Nasional yang ada di Bagian Selatan Provinsi Bengkulu. Dan sejak dua tahun terakhir Ulayat konsern terhadap pelestarian sumberdaya alam khususnya kehutanan, bersama kelompok dampingan dan Pemerintah daerah Kabupaten Kaur (Dinas Kehutanan) telah pula bersama-sama berkomitmen dalam sebuah kolaborasi pengelolaan kawasan penyangga TNBBS secara terpaduSalah satu dari upaya dalam mewujudkan sebuah pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dan mengarah pada peningkatan ekonomi masyarakat lokal khususnya masyarakat yang berdampingan dengan TNBBS maka, dibangun dan diinformasikannya sebuah konsep perencanaan desa yang Partisipatif dengan melihat berbagai sektor, dengan demikian diharapkan fasilitas dan dukungan dari para pihak secara tetap dan berdaya guna bagi masyarakat di daerah Penyangga TNBBS.
Sejak dua bulan ini, Juni-Agustus 2006, Yayasan Ulayat atas dukungan WCS-IP melakukan upaya pendampingan yang dilakukan secara intensif dan penguatan kelembagaan lokal di Tiga Desa di Kecamatan Nasal Kabupaten Kaur, pada kesempatan ini Ulayat telah melakukan inisiasi tindak lanjut pada Desa, Muara Dua dan Sumber Harapan dan Tebing Rambutan dengan berbagai implementasi kegiatan yang bersifat teknis maupun non teknis berdasarkan isu strategis.
Beberapa hasil capaian Implementasi ini membuktikan adanya keterbukaan dan kerja sama antar masyarakat itu sendiri melalui inisiatif-inisiatifnya dalam mengatur, menjaga, mengelola sumberdaya yang dimiliki melalui kearifan lokal kelancaran dari proses ini tentunya tak lepas dari adanya komitmen dan dukungan Pemerintah daerah dalam melihat potensi Sumberdaya sebagai sebuah Aset daerah yang layak dipelihara dan dikelola serta dijaga secara bersama sama.
Selain itu, melalui proyek ini, Ulayat juga telah mendorong inisiator lokal melalui penguatan kapasitas (panduan modul CO) dalam menfasilitasi kelompok-kelompok tani yang diharapkan pula dapat mengawal/menjaga proses-proses tindak lanjut Implementasi dari kesepakatan yang telah dibangun.
lengkapnya www.ulayat.or.id

SEJARAH DESA SUKU TIGA

Pada tahun 1958 masyarakat menelusuri mencari jalan ke pekan Minggu yang berada di dusun Tanjung Betuah yang ketika itu masih bernama dusun Pagar Agung. Orang-oarng yang melakukan perjalanan ini adalah bapak Supiri, bapak Mat Syarif, M. taher Pi’in Cenduh, Salam, Cik Ari, Sutan Sunan, Basri, Zain, Sangun, Dusman, Mawi, Pak Upik dan Anang SudinOrang yang pertama menyusuk kesukutiga terdiri dari 3 orang yaitu bapak Dusaman, M Taher dan Mat syarif. Ketiga orang ini membuka lahan pertanian, untuk berladang dan berkebun. Beberapan waktu kemudian meyususl 4 orang yang yaitu bapak sumir, Yahalik, Mat sani dan Zain. Ke emapat oarng ini juga ikut berladang yang disebabkan ada keingin yang sama dengan mereka yang membukan lahan terdahulu. Peristiwa ini terjadipada tangun 1959 hingga 1960. Dengan bertambahnya penduduk, sedangkan wilayah tidak mencukupi untuk ada pertambahan penduduk yang mempunyai keinginan yang sama, sehingga orang-orang yang berladang ini eksodus ke wilayah desa yang sekanrang ini. Perpindahan ini merupakan hasil musyawaran dengan kata sepakat yang diketui oleh Bapak Basri, yang ketika itu beliau menjabat Penggawe terjadi pada tahun 1961.

Semakin tahun, semakin bertambah pula penduduk yang berasal dari berbagai daerah Bapak Sutan Sunan dari Padang- Sumbar, ada beberapa orang dari pesisir Kaur dan ada pula dari Ulu Nasal yang berasal dari Suku Semende, hingga yang berdomisili didaerah ini ada tiga suku ( Suku Minag, Pesisir Kaur dan dari Semende) maka bersepakatlah mereka yang mendiami daerah ini memberi nama “Sukutiga”.

Pertambahan penduduk yang pesat, maka pada tahun 1964 pendudk telah berjumlah 40 KK. Maka pada tahun ini dibangunlah sebuah Surau untuk tempat beribadah terutaman shalat jum’at yang dikerjakan secara gotong royong. Pada tahun 1966 Bapak Alkuk yang saat itu menjabat Pesirah kepala Marga Muara Nasal menghibbahkan tanah untuk membuat pemukiman atau Dusun dan lahan swah di wialyah sukuitiga dan Pamah Ketapang dengan maksud memperilahkan masyarakat untuk membuat rumah secara berkelompok (dusun) dan menggarap lahan sawah guna memenhui kebutahan pangan. Kemudian juga masyarakat diwialyah ini ikut menanam tanaman cengke seperti orang-oarng pesisir yang menetap do dusun Pagar Agung dan Gedung Menung. Perkebunan cengkeh ini mulai ditanam pada tahun 1967-an atau setelah setahun meletus G-30/S/PKI. Kemdian secara terus-menerus masyarakat menanam tanaman kebun yang bukan saja tanaman cengkeh tatapi juga menanam kopi dan lada.



Pada tahun 1971 terjadi peristiwa perubahan nama oleh Pesirah Dahlan Noor yaitu dari nama Sukutiga menjadi Tanjung GoLKAR, ini terjadi berkaitan dengan Pemilu 1991. Perubahan ini adalah merupakan stategi politik yang dimainkan oleh Dahlan Noor untuk memenangkan partai Golakr ketika itu.

Dusun Tanjung Golkar di definitipkan menjadi sebuah dusun yang dipimpin oleh depati yang pertama Bapak Bustami. setahun kemudian terjadi pergantian depati dari bapak Bustami digantikan oleh bapak ARJO. Pada tahun 1980 terjadi pemilihan deapti dengan calon tunggal bapak arjo.

Suatu kejadian yang luar biasa yang dialami oleh rakyat indonesia, dimana pemrintah saat itu memprogramkan penyemprotan tanaman cengkeh dengan nama “CDC”. Dengan program yang dikucurkan ini bukan membuat tanaman cengkeh menjadi sehat, justru tanaman cengkeh mati total. Hal ini sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat drastis menurun.

Dalam tahun 1983 dibuka jalan yang menghubungkan bengkulu dengan propinsi Lampung oleh PT . Bina Usaha ( PT. BU). Sebuah peristiwa yang dahsat juga menimpa rakyat kampung ini yaitu disaat Bendungan Irigasi Air Nasal kiri dibanaguan yang tepatnya pada tanggal, 10 Mei 1987 terjadi banjir bandang yang menghanyutkan 40 buah rumah dan tiga orang meninggal dunia hingga hari ini tidak ditemukan mayatnya, dan 60 buah rumah rusak berat, juga lahan pertanian ikut terkikis oleh air.

Dari peritiwa banjir bandang ini, membaut masyarakat di tarnsimigasi bedol desa ke wilayah Lalang Lebar atau desa Tanjung beringin saat ini. Perpindahan penduduk ini terjadi pada tahun 1988. Pada tahun 2004 masyarakat mengusulkan Dusun Suku Tiga menjadi desa devinitif kepada Bupati Kabupaten Kaur. Sehingga pada tanggal 23 April 2005 Suku Tiga diresmikan menjadi desa devinitif oleh Bupati Kabupaten Kaur Bapak,Saukani Saleh.
Lengkapnya silahkan berkunjung di www.ulayat.or.id

SEJARAH DESA SEKUYIT

Pada tahun 1917 desa Sekunyit sudah ada.Desa Sekunyit dulunya hanya ada 11 rumah penduduk. Pada tahun 1918 terjadi peristiwa air muara menjadi kuning seperti kunyit dari dasar sungai sampai kedasar laut dari pinggir sampai ketengah lautan.Pada tahun 1948 desa ini dinamakan desa Sekunyit.

Pada tahun 1921 jumlah penduduk desa Sekunyit ada 17 keluarga Desa Sekunyit Marga Bandar Bintuhan. Sebelum air Sepanas dinamakan air Sepanas, air itu dinamakan air lagan. Konon ceritanya pada zaman dahulu ada seorang bermimpi ada 5 buah kapal yang akan berlabuh dipelabuhan Manjau dengan nama kapal Bajau.Dinamakan pelabuhan Manjau karena airnya bisa mendekati air Muara Tetap dan pernah pula mendekati air Sekunyit ia pun melihat banyakorang meninggal di bawah jembatan Air Lagan satu persatu disaat itulah air Lagan dinamakan Air Sepanas. Pelabuhan dinamakan pelabuhan Bajau karena kapal itu bernama Bajau.
Pada tahun 1982 Sekunyit ditimpa musibah dibalik Rizki terdampar 1 buah kapal yang bernama kapal Pertiwi. Musibah bagi orang mempunyai kapal Rizki bagi Sekunyit itu mendatangkan Rezeki. Pada tahun 1985 berdiri organisasi Muhammadiyah yang dipimpin oleh datuk Pikir dan Mabadih. Kemudian pada tahun yang sama didirikan juga sekolah MIM dengan swadaya masyarakat desa Sekunyit

Pada tahun 1981 masyarakat Bandar mengeluh kepada pemerintah setempat. Pada tahun 1982 pemerintah desa ingin membangun rumah sekolah SD dan SMA. Dengan memberi janji pada masyarakat siapa yang mewakafkan tanah miliknya maka anak mereka sekolah tanpa biaya sampai tamat sekolah.

Lebih lengkapnya silahkan hubungi yayasan ulayat bengkulu email:ulayat@gmail.com/www.ulayat.or.id

SEJARAH DESA AIR PALAWAN

Pada tahun 1916 masyarakat suku Semende yang berasal dari suku Semende Muara Dua Ulu Nasal untuk menggarap lahan tempat menanam padi ladang,berkebun, yang juga dijadikan tempat persawahan mereka, karena di daearah ini banyak aliran anak sungai yang melintasi garapan mereka. Disamping itu juga mereka membuat rumah tempat permukuman yang berbentuk talang-talang, seperti talang Air Palawan,Talang Teluk, Talang Tebat Tajau dan Talang Pematang Jering dan banyak lagi talang yan lainnyaPada tahun 1940 di Talang Air Palawan ini penduduknya paling banyak diantara talang-talang lain. Maka oleh pangeran Bustam pasirah Marga Ulu Nasal dibuatlah unsur pemerintahannya yang disebut depati.Depati pertama kali di Air Palawan ini adalah Dulah. Kehidupan di desa ini sanagt rukun dan damai mereka sangat patuh dengan peraturan adat dan pemerintah.

Pada tahun 1960 terjadilah masa gerompolan yang sering mengganggu masyarakat di perkebunan terpencil sehingga melihat kondisi ini,maka masyarakat di desa ini bermusyawarah yang dipimpin depati Muhamad Nur. Melihat kondisi yang sangat memprihatinkan maka diadakan pemilihan pusat pemerintahan yang ada di desa ini dan disepakati oleh rapat adalah Talang Pematang Jering yang sampai saat ini merupakan pusat pemerintahan desa Air Palawan.

Pada tahun 1979 dikeluarkannnya oleh pemerintahn pusat UU No 5 tahun1979 tentang penghapusan pemerintahan marga menjadi pemerinatah desa.pada saat ini kepala desa Air Palawan dijabat oleh Muhammad Dulin. Pertambahan penduduk sangat pesat di daerah ini, datang dari berbagai daerah dan suku .karena maraknya penggarapan lahan dan perkebunan oleh masyarakat pendatang yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan menyebabkan banyak daerah aliran sungai di wilayah ini yang gundul