Tab-menu

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kearifan Lokal yang masih Bertahan

Mungkin hanya ini yang masih bertahan yang di pegang oleh masyarakat adat semende Ulu nasal yaitu dengan sebutan " PANGKU PALIARE" dimana setiap masyarakat pada tanggal 10 Muharam harus mengikuti Ritual ini dan setiap orang harus mengumpulkan 1 Ruas Lemang pada ketua adat, tujuan dari ini adalah untuk mendata seluruh masyarakat yang ada di desa ini. setelah lemang itu terkumpul kemudian dihitung bersama-sama.

Selain itu bertujuan untuk media berkumpul bersama-sama antar masyarakat di desa, dan membentuk silaturahmi....
mudah-mudahan penggalan cerita tidak jauh dari kesalahan.....

ini berikut sesajian yang dibacakan sebelum makan lemang bersama dan di samping merupakan tulisan Ka-ga-nga...ini menunjukan bahwa adat semende adalah suku tertua.
Tat kale bumi belum, langit belum ade dijadikah mangke ndike firman Allahku dan ta’ale, mengusik menggilang daki mangke ade bumi setuntung sengat. La ade bumi setuntung sengat mangke dibalik alam oleh ndike firman Allah dan ta’ale mangke disaut oleh Jibril mangke ade bumi sedepe lalat. La ade bumi sedepe lalat mangke dibalik alam oleh ndike firman Allah ku dan ta’ale mangke di saut oleh jibril mangke ade bumi setapak minring. La ade bumi setapak miring mangke ndike firman Allahku dan ta’ale menuduh damei bumi melinggan ndamei langit, ade langit sekencum payung. Mpai ade laut selibae pinggan mengembuskan napas, mangke ade angin mangke ade sir dengan hase.La ade bumi stapak miring dibalik alam oleh ndike firman Allah ku dan ta’ale mangke disaut oleh Jibril mangke ade bumi panjang sedepe.La ade bumi panjang sedepe dibalik alam oleh ndike firman Allah ku ta’ale disaut oleh Jibril mangke ade bumi panjang due.






KEARIFAN LOKAL SEBAGAI MODAL SOSIAL DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN

Setiap masyarkat yang berbeda geografisnya akan mengembangkan pranata-pranata dan kelembagaan yang sesuai dengan kondisi geografisnya masing-masing sebagai salah satu strategi adaptasi dalam berproduksi dan berproduksi. Olah karana itu, menemulenali unsur-unsur sosial budaya suatu masyarakat sanagt epnting dalam prisosnpemberdayaan dan pemabanguana bagi mereka. Mengiangat setiap masyarkat memliki potendi keswadyaaan sendiri-sendiri yang dilandasi oleh latr belakang sosisl budaya yangunikdankhsusus serta kondisi ekologi dan geografis yag berbeda-beda.(lihat Mubyarto, 1994).


Pentingnya budaya lokal dalam proses pembangunan juga dikemukakan oleh colletta (1987), ada tiga alasan pokok mengenai pemenfaatan unsur-unsur budaya lokal dalam melaksanakan pembangunan bagi masyarakat setempat. Pertama, unsur-unsur budaya lokal mempunyai legitimasi tradisional dimata masyarakat binaan yang menjadi sasaran program pemberdayaan dan pembangunan. Kedua, unsur-unsur budaya secara simbolis merupakan untuk komunikasi paling berharga dari penduduk setempat.ketiga,unsur-unsur budaya


mempunyai aneka ragam fungsi (baik yang terwujud maupun yang terpendam) yang sering menjadikannya sebagai sarana yang paling berguna untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak pada permukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud saja (lihat juga Dive, 1985).
Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya, biasanya berupa larangan-larangan (tabu-tab) yang mengatur hubungan sosial maupun hubungan manusia dengan lingkungan Alamnya. Kearifan lokal berfungsi untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan “aset” yang dimiliki suatu masyarakat sehingga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari generasi kegenerasi berikutnya, tanpa harus merusak atau menghabiskan “aset” tersebut. Oleh sebab itu, kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Hal ini merupakan wujud dari kesadaran trehadap hukum kausalitas(sebab-akibat) dan pemahaman terhadap hubungan yang bersifat simbiosis mtualis.

Setiap masyarakat akan mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya maupun lingkungan alamnya serta sistem pengetahuan yang dimilikinya. Berikut beberapa contoh kearifan lokal yang terdapat pada beberapa etnis di Bengkulu, seperti: Eknik Rejang yang dikenal sejak nenek moyangnya dahulu merupakan masyarakat yang bersomisili di tepian hutan, telah mengembangkan kearifan lokal untuk menjaga kelestarian hutan, berupa zonasi hutan (imbo-lem/hutan dalam-imbo u’ai atau hutan muda – penggea imbo atau hutan pinggiran), aturan-aturan tentang penanaman dan penebangan kayu, serta tata cara pembukaan ladang (lihat tjahjono, dkk, 1999).

Sedangkan etnik Serawaiyang diokenal sebagai tipikal masyarakat peladang, telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang sedemikian. Menurut penjelasan, semula asa sekitar 20 jenis pantangan yang disebut celako humo atau cacat humo ini, namun dalam perkembangandewasa hanya tinggal sekitar 7 jenis yang masih dipertahankan, yaitu: ulu tulung buntu, sepelancar perahu, kijang ngulangi tai, macan merunggu, sepit panggang, bapak menunggu anak, dan nunggu sangkup. Bagi suku bangsa Serawai alasan yang melatar belakangi tabu-tabu celako humo dipahami secara transendental dalam bentuk justification: bahwa siapa yang melanggar pantangan tersebut akan terkena penyakit atau hasil ladangnya akan gagal. Substansi norma-norma yang terkandung didalam celako humo selaain mengandung aturan-aturan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup (dimensi ekologis), juga mengandung etika sosial yang menempatkan sesorang pada kedudukan sosialnya. (lihat tjahjono,). Demikian pula pada etnik Enggano yang berdomisili di wilayah berekosistem pulau/pesisir mempunyai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kelautan, seperti aturan cara penangkapan ikan, lola’ (keong laut), teripang dan pelestarian terumbu karang (lihat tjahjono, 1995).

Geografi Budaya Masyarakat Bengkulu

Secara historis-geografis di Bengkulu ini mempunyai etnis lokal, seperti: Bengkulu Melayu, Rejang, Serawai, Lembak, Kaur, Semende, Kaur Nasal, Pasemah, Enggano, Muko-muko dan Pekal. Disamping etnis lokal tersebut, sekarang ini penduduk Bengkulu sangat heterogen sebagai dampak dari migrasi penduduk dari luar Propinsi Bengkulu dan sebagai daerah penerima/tujuan program transmigrasi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Bengkulu pada tahun 2006 sebanyak 1,6 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk 83,33 jiwa/Km².


Propinsi Bengkulu terletak di antara 2° 17’ -- 3° 31’ Lintas Selatan dan 101° 01’ --103° 41’ Bujur Timur. Batas-batas wilaiyah Propinsi Bengkulu, yaitu: di sebelah Utara berbatasan dengan Propoinsi Sumatra barat, di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudra Indonesia dan Propinsi Lampung, di sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Indonesia di sebelah Timur berbatasan dengan Propinsi Jambi dan Propinsi Sumatra Selatan.


Luas wialayah Propinsi Bngkulu mencapai ±1.978.870 hektar atau 19.788,7 Kilometer persegi. Wilayah administrasi Propinsi Bengkulu memenjang dari perbatasan Propinsi Sumarta Barat sampai ke perbatasan Propinsi Lampung yang jaraknya ±567 kilometer. Bagian Timurnya berbukit-bukit dengan dataran tinggi yang subur, sedangkan bagian Barat merupakan dataran rendah yang relatif sempit, memanjang dari Utara ke Selatan serta diseling-selingi daerah yang bergelombang.

Topografi Propinsi Bengkulu dapat diklasifikasikanmenjadi: (a) low land, yaitu daerah yang berada pada ketinggian 0-100 di atas permukanaan laut, terdapat di sepanjang pantai. Luas daerah ini mencapai 708.435 ha atau 35,80%; (b) Bukit Range, daerah ini berada pada ketinggian 100-1000 meter di atas permuakaan laut. Terletak di sebelah Timur merupakan lereng pegunungan Bukit Barisan. Daerah ini di bagi menjadi dua kelompok yaitu derah dengan ketinggian antara 100-500 merer dan ketinggian antara 500-1000 meter. Luas daerah yang berada pada ketinggian 100-500 meter dari permukaan laut mencapai 625.323 ha atau 31,60%, sedangkan yang berada pada ketinggian antara 500-1000 meter dari permukaan laut luasnya mencapai 405.688 ha atau 20,50%; (c) daerah yang berada pada ketinggian 1000-2000 meterdi permukaan laut. Terletak lebih Timur dari jalur kedua sampai ke Puncak pegungan Bukit Barisan dan umumnya merupakan kegiatan vulkanis dan tektonis. Luas dearah pada ketnggai 1000-2000 meter dari permuakaan lautmencapai 239.924 ha atau 12,10%.

Berdasarkan topografi tersebut, wilayah permukiman mastarkat Bengkulu secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) masyarakat yang bermukiman di Daerah pesisir yagn merupakan low land. (2) masyarakat yang bermukim di daerah perbukitan/pegunungan. Masyarkat Bengkulu yang berada di daerah perbukitan/pegunungan, sebagian besar bermata pencaharian sebagai peladang atau pekebun dan seju8mlah kecil penduduk ada yang bekerja ditambang emas,yaitu di daerah Lebong Tandai-Ketahun dan sekitar Muara Aman.


Perlu untuk dipahami, jika membahas wilayah pesisir dibengkulu tidak harus selalu dipersepsikan pada jenis pekerjaan tertentu. Artinya jika membicarakan wilayah pesisir di Bengkulu tidak semata-mata harus dihubungkan dengan kegiatan nelayan (kelautan) saja. Pembagian wilayah pesisir dengan perbukitan/pegunungan di bengkulu didalam tulisan ini merupakan konsep kewilayahan. Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat erat dengan daerah lahan atas (upland), baik melalui aliran air sungai, air permukaan (run off) maupun air tanah (ground water) serta kegiatan manusia. Keterkaitan tesebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan diwilayah pesisir (sadeli, dkk, 2003). Masyarakat pesisir dibengkulu sebagian memang bermata pencaharian sebagai nelayan tetapi banyak juga penduduk desa diwilayah pesisir yang mata pencahariannya disektor pertanian dan perkebunan. Disamping itu, beberapa kota di propinsi bengkulu (seperti: kota muko-muko, bengkulu, manna dan kaur) memang terletak di pesisir, sebagai mana lazimnya masyarakat perkotaan yang telah mengalami berbagai diversifikasi pekerjaan, maka banyak penduduk di kota-kota tersebut yang bekerja disektor perdagangan, perindustrian, pemerintah, jasa konstruksi, transportasi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pengelolaan wilayah pesisir di Bengkulu membutuhkan kerja sama yang baik antar-stakeholder, baik yang berada diwilayah pesisir itu sendiri maupun yang berada didaerah perbukitan/pegunungan

Batas Wilayah dan Makna Sejarah

Sebuah Renungan Konflik Tapal batas Di Bengkulu
Oleh : M. Ichwan Anwar


Akhir-akhir ini kita disugukan pemberitaan yang marak soal-soal batas wilayah (tapal batas) yang melibatkan kabupaten induk dengan kabupaten yang dimekaran di beberapa daerah di provinsi Bengkulu. Persoalan ini sempat meruncing. Yang memprihatinkan, konflik bukan hanya ditingkat elit (Pemerintah dan DPRD), tetapi menyeret masyarakat untuk terlibat. Dampak sunggu menyedihkan, kelompok masyarakat berhadapan, senjata bebicara korban pun berjatuhan.

Kondisi ini membuat kita miris. Sebagai bangsa yang terus mendengungkan persatuan dan kesatuan, di Bengkulu dihadapkan pada persoalan tapal batas yang rawan perpecahan. Semuah komponen diharapkan mencurahkan perhatian pada persoalan yang tidak ringan ini. Pemerintah, Legislatif, kelompok masyarakat, apapun namanya untuk fokus mencari solusi. Bukan ngompori atau membawa api.
Dalam lembar sejarah Bengkulu, konflik antar warga pernah terjadi. Peristiwa masa lampau ini hendaknya menjadi pelajaran, bahwa persoalan yang dihadapi hendaknya diselesaikan dengan musyawarah. Apalagi yang terlibat adalah kelompok masyarakat yang terbilang masi saudara dalam ikatan emosional. Kabupaten Rejang Lebong, Lebong, Kepahiang dan Bengkulu Utara terjalin dalam pertalian darah yang terkenal dengan Rejang Empat Petulai. Begitu juga Kabupaten Bengkulu Selatan, Seluma dan Kaur terjalin garis keturunan Serawai dan Pasemah.

Petulai menurut prof. DR. Abdullah Sidik adalah kesatuan kekeluargaan. Dalam pengertian umum, petulai dapat bearti tiang atau sistem. Kita tidak ingin suatu saat nanti julukan Jang empat Petulai yang menjadi kebangaan masyarakt Rejang menjadi ” Jang empat Helai”

Dunia Rasa Berkahir

Hari ini tepatnya tanggal 10 Januari 2008, Hatiku bak disambar petir, sedih dan rasanya pengen teriak sekendang-kencangnya agar semua bisa mengobati rasa sesak ini.
aku menerima SMS bahwa adekku mau nikah dengan umur 17 tahun, dan dari sifatnya aj masih kayak anak-anak, yang paling aku kecewa waktu itu dia masih duduk kelas 1 SMAN 1 Maje dia ngotot mau pindah sekolah alasan Bosan di kampung kalu tidak dipindahkan mau merantau atau nikah, dan akhirnya aku omongkan untuk lobo orang tua agar bisa menuruti kehendaknya pindah, aku berusaha mencari kesana kemari mencarikan sekolahnya untuk pidah, akhirnya ketemualh yang bisa nerima di SMA muhamddiayah 4 Kota Bengkulu, biaya yang harus dikeluarkan lumyan besar untuk kalangan keluarga sederha seperti tua aku yaitu untuk membayar uang bangunan dan sebagainya sebesar Rp 2,3 Jt belum lagi ditambah buku dan semua pakaian. akhirnya dia bisa sekolah di Muhamdiayah selama 8 bulan dengan mengekos di rumah kost dengan sewa sebesar 150rb/bln dan spp 100rb belum lagi uang belanja 500rb/bln.pokoknya lumayan besarlah untuk bisaya sekolahnya.....tapi pada saat sudah regestrasi dan semua kos dan spp sudah dibayar untuk tahun berikutnya dia memutuskan untuk berhenti sekolah dengan alasan tidak mau pisah dengan orang tua dan mau tinggal ma orang tua, aku sempat menagis menasehati dan menyarankan agar tetap sekolah paling tidak dapat ijazah sma cukuplah kalu mang tidak mau sekolah. namun perkataanku sia-sia semua menututnya benar, akhirnya rela atau tidak aku diam saja menuruti kehendaknya.......dan walau sudah berhenti masih banyak tuntutan lagi pengen dibelikan Motor akhirnya orang tua membelikan motor untuk dia.
pada saat sudah pilang kampung lebih kurang berjalan 2 bulan malah buat aku sakit dan marah besar lagi dan membuat aku dan orang tua sedih dan kesal yaitu pengen menikah
rela atau tidak rela harus Rela dengan pacarnya yang sama sekali tidak menamatkan Baku Sekolah Dasar (SD) aku coba naseati dengan lembut tidak didengarkan....akhirnya aku kasari dengan hati yang sangat panas "kalau terjadi pernikahan akaan aku bunuh laki-laki itu" dan jika dia nikah lari akan aku tuntut cowok itu karena pelarian anak orang tanpa seizin orang tua.
hatiku sedih banget harapanku tunggu 1 tahun atau 2 tahun lagi jika mau menikah,dan kalu bisa seolah dulu samapai selesai SMA. menurutku kalu uda tamat SMA pikiran uda agak dewasa.
entahlah....Pusing.....punya adek cewek bungsu satu-satunay yang mau seenaknya saja.
tanpa mau mendengar nasehat dari Kakak.
Mungkin ada yang mau ngasih solusi.....untuk bisa menenangkan hati......


Sejarah Penduduk Kaur

Penduduk Kaur terbentuk dari orang-orang yang berasal dari dataran tinggi Perbukitan Barisan, yaitu orang Rejang dan orang Pasemah (Palembang), orang Lampung, dan orang Minangkabau. Minangkabau yang masuk melalui Indrapura masuk sampai ke daerah Kaur (Bengkulu). Di sini mereka bercampur dengan kelompok lain yang berasal dari Palembang, sehingga membentuk suatu identitas baru, yaitu orang Kaur.

Misalnya, di Marga Muara Nasal (Kaur) sebagian penduduknya berasal dari Minangkabau. Menurut cerita rakyat, daerah pesisir pantai ini mulanya dihuni oleh suku Buai Harung (Waij Harung) dari landschap Haji (Karesidenan Palembang). Sejak sekitar abad ke-18, mereka mendirikan kolonisasi pertama di muara sungai Sambat yang selanjutnya berkembang sampai ke Muara Nasal. Akan tetapi, pada saat daerah itu diambil alih oleh orang-orang dari Pagaruyung yang masuk melalui Indrapura, sebagian dari mereka terdesak ke Lampung. Mereka bercampur dengan penduduk setempat sehingga dikenal sebagai orang Abung. Sebagian lain suku Buai Harung bercampur dengan orang Minangkabau dan menjadi orang Kaur.

Penduduk yang bermukim di Kaur juga merupakan percampuran antara orang dari sekitar Bengkulu dengan orang Pasemah. Misalnya, di dusun Muara Kinal (Marga Semidang), keberadaan penduduk dimulai dengan berdirinya pemukiman orang-orang dari sekitar Bengkulu (onderafdeeling Bengkulu). Pemukiman ini bergabung dengan pemukiman orang Gumai yang berasal dari Pasemah Lebar dan menjadi satu marga, yaitu marga Semidang Gumai.Pergerakan penduduk dari daerah sekitar menuju Bengkulu terus terjadi sampai sekitar abad ke-19, yaitu percampuran orang Pasemah dan orang Kaur yang dimulai dari kedatangan orang Pasemah yang mendirikan pemukiman di hulu sungai Air Tetap (Marga Ulu Tetap). Selanjutnya, mereka bergabung dengan orang Kaur yang bermukim di Marga Muara Tetap, dan gabungan dua marga ini menjadi Marga Tetap.

Di Kaur terdapat juga orang-orang dari daerah Semendo Darat dari Dataran Tinggi Palembang (Marga-marga Sindang Danau, Sungai Aro, dan Muara Sabung). Mereka bertempat tinggal di Muara Nasal, sekitar 15 km ke arah mudik dari Sungai Nasal, dan bernama Marga Ulu Nasal. Penduduk Marga Ulu Nasal terbentuk dari campuran orang-orang dari daerah Semendo Darat dan Mekakau (Palembang). Kemudian di daerah Manna terdapat orang Serawai, yang menurut legenda berasal dari Pasemah Lebar (Pagar Alam). Mereka berpindah dan bermukim di dusun Hulu Alas, Hulu Manna, Padang Guci, dan Ulu Kinal (daerah Manna). Daerah pantai Lais mendapatkan tambahan penduduk yang berasal dari Minangkabau. Kedatangan mereka diperkirakan berkaitan dengan kedatangan pangeran dari Minangkabau ke daerah orang Rejang dan mereka menjadi cikal bakal Kerajaan Sungai Lemau. Selain itu, di daerah pantai juga terdapat orang Melayu, mereka memiliki daerah pemukiman sendiri yang disebut dengan ‘pasar’ dan dipimpin oleh seorang datuk.

Di daerah pesisir orang Melayu juga bercampur dengan orang Rejang sehingga pemukiman-pemukiman orang Melayu ini masuk dalam pemerintahan marga. Meskipun demikian, dusun-dusun tersebut tetap dengan sebutannya ‘pasar’, seperti pasar Seblat, pasar Kerkap dan di pimpin oleh seorang datuk, tetapi dusun-dusun tersebut adalah bagian dari pemerintahan marga. Orang Rejang, orang Pasemah, orang Minangkabau, dan orang Lampung selanjutnya terikat dalam satu kesatuan wilayah, yaitu Keresidenan Bengkulu. Mereka tersebar di daerah-daerah Bengkulu sebagai berikut:

1). Kelompok orang Rejang sebagian besar bermukim di daerah Rejang dan Lebong, dan sebagian lain berada di pesisir pantai bagian sebelah Barat dari Bukit Barisan, Lembak Beliti di Selatan, Seblat dan sampai ke Sungai Ipuh di sebelah Utara.
2). Kelompok Orang Pasemah atau Midden Maleiers yang dapat dibedakan menjadi:

(a).Orang Pasemah bermukim di bagian hulu sungai Manna, Air Kinal, dan Air Tello, dan di daerah aliran sungai Kedurang, dan sungai Padang Guci.
(b)Orang Serawai berada di daerah Manna, Bengkulu-Seluma, dan Rejang.
(c) Orang Semendo berada di daerah muara sungai Sungai Luas (Kaur)
(d) Orang Mekakau bermukim di hulu Air Nasal (Kaur) dan di marga Way Tenong (Krui).
(d) Orang Kaur bertempat tinggal di pesisir pantai daerah Kaur
(e)Orang Lampung bertempat tinggal di marga Way Tenong, sebagian besar daerah Krui, dan di aliran sungai Nasal (Kaur).
(f)Orang Minangkabau, terutama berada di daerah Muko-Muko.

Semoga tulisan ini menambah pengetahuan dan wawasan kita.

Sumber:http://adimarhaen.multiply.com