Tab-menu

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sistem Perkebunan Skala Besar Sejarah Penjajahan Yang Berulang

Sistem Perkebunan skala besar dewasa ini tidak terlepas dari sejarah panjang penindasan dan penghisapan kaum tani di Indonesia dengan menerapkan sistem pertanian komersial. Sistem tersebut mengganti sistem ekonomi pertanian subsistem yang telah lama berkembang dimasyarakat. Subsistensi merupakan ciri dari sistem pertanian yang dijadikan sarana untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dengan skala terbatas dan tenaga kerjanya si pelaku usaha pertanian itu sendiri. Sistem tersebut mulai berkembang sejak adanya perdagangan hasil pertanian antar daerah dan antar pulau yang penguasaannya dimonopoli oleh raja-raja atau penguasa lokal dengan menguasai pelabuhan sebagai jalur perdagangan. Selanjutnya, dikembangkan secara masif oleh negara penjajah di negeri jajahannya dengan mengadopsi sistem kapitalisme agraria yang berkembang di negara – negara penjajah (eropa).

Komersialisasi pertanian diawali dengan penjelajahan yang dilakukan oleh bangsa – bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol dan Puncaknya Belanda untuk menguasai perdagangan hasil bumi di Nusantara. Pada tahun 1602 melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuman menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada tanah yang disewakan oleh VOC.

Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya. Sistem ini merupakan tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau perseorangan.

Perkembangan selanjutnya dengan diterapkan sistem tanam paksa yang dimotori oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch. Sistem tanam paksa jika kita telusuri mengandung maksud wajib dan paksa. Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan wajib mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan tenaganya untuk kerja diperkebunan. Sistem tanam paksa ini berhasil menyumbang 841 juta gulden kepada Pemerintah Hindia Belanda, sementara itu ditingkat rakyat terserang wabah penyakit dan kelaparan yang sangat hebat. Karena keberhasilan Sistem Tanam Paksa tersebut mengundang kaum liberal yang didominasi oleh Pengusaha Swasta mendorong agar pihak swasta untuk ikut terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Puncaknya dengan dikeluarkannya Undang – Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 (Agraris Wetch). Undang – Undang tersebut mengatur pihak swasta untuk ikut secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya. Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah kemudian didatangkan dari jawa yang dikenal dengan kuli kontrak.
Pada masa Jepang menjajah Nusantara dengan menggantikan penjajahan Belanda, orientasi dari usaha perkebunan berubah dari jenis komoditi ke jenis tanaman pangan. Sehingga, beberapa perkebunan dikonversi menjadi tanaman pangan.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan negara – bangsa yang bernama Republik Indonesia, perkebunan – perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa tempat direbut oleh kaum tani. Namun demikian, melalui KMB (Konferensi Meja Bundar) kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kembali kepada perusahaan – perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Presiden Soekarno melakukan aksi sepihak dengan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing. Lahirnya, UUPA No. 5 tahun 1960 lahir untuk mengatasi dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi dasarnya tanah untuk penggarap merupakan angin segar bagi kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Sayangnya, belum sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th. 1960 dengan salah satunya meredistribusikan perkebunan skala besar yang ditinggalkan oleh Penjajah. Presiden Soekarno kekuasaannya direbut oleh Jendral Besar Soeharto melalui kudeta atas konspirasi negara penjajah pipinan AS dan Inggris.

Pada massa presiden Soeharto perkebunan mulai digalakan dengan mengunakan tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan dan salah satu undang-undangnya adalah di terbitkanya UUPMA yang sangat pro modal. Perkembangan perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, Salah satu konsep yang diterapkan adalah pola PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan plasma. Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Pada tahap ini mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam skema perusahaan. Pada masa pemerintahan megawati kemudian pemerintah menerbitakan UU Perkebunan yang sangat pro pada pemodal sementara pemerintahan SBY-Kalla menerapkan konsep revitalisasi perkebunan yang tidak mempengaruhi apapun karena semangatnya masih tetap pada konsep lama dimana masih diberikan kekuasan sepenuhnya kepada pemodal untuk mengusai dan pemain utama dalam perkebunan.
Dapat disimpulkan bahwa perkebunan skala besar memiliki beberapa syarat pokok yaitu perkebunan membutuhkan lahan yang luas, Tenaga kerja massal, Birokrasi yang efektif , teknologi yang tinggi, dan managemen yang modern.

Kondisi Petani Plasma Hari Ini
Konsep perkebunan inti rakyat/plasma (PIR) diterapkan dalam beberapa skema antara lain skema NES ( Nucleus Estate Smalholder) yang dibiayai oleh Bank Dunia pada tahun 1977, selanjutnya dikenal program PIR trans dimana perkebunan rakyat dipadukan dengan transmigrasi melaui inpres / 1/ tahun 1985. Pada tahun 1995 kemudian juga dikenalkan konsep KKPA ( Koperasi Kredit Primer Anggota ) yang sumber dananya 75 % berasal dari KLBI dan 25 % berasal dari Bank. Perkebunan skala besar khususnya sawit mulai semakin masif pembukaanya di Indonesia sejak tahun 1997- sampai sekarang. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif (biofuel). Hingga saat ini Indonesia memiliki luasan kebun sawit hampir 7,6 juta pada tahun 2007 dan akan melakukan ekspansi lagi dengan target luasan sampai dengan 20 juta ha untuk seluruh Indonesia hingga tahun 2025. Sementara ekspor CPO pada tahun 2006 mencapai 12,1 juta ton dan pada tahun 2007 Indonesai kemudian menjadi negara pengekspor terbesar didunia mengalahkan Malaysia. Dari jumlah luasan sawit tersebut hanya dikuasai oleh 8 holding perusahaan swasta besar yang menguasai 54 % sementara perkebunan milik pemerintah mengusai 12 % dan perkebunan rakyat menguasai 34 % pada tahun 2006 (data Sumber: Dirjenbun dalam BisInfocus 2006) . Dari 54 % pengusaan lahan oleh swasta 75,9% dikusasi oleh pihak asing terutama pengusaha asal Malaysia. Kontrol terhadap tanah mereka dapatkan melaui pengusaan HGU ( hak guna usaha ) yang diterbitkan oleh pemerintah bagi Pengusaha Perkebunan untuk memonopoli tanah hingga ratusan tahun dengan dikeluarkanya UUPM pada tahun 2007.

Kondisi petani sawit hari ini merupakan bagian dari proses panjang perkembangan perkebunan skala besar yang mopolistik dimana dalam membangun perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit dibutuhkan syarat – syarat yang harus terpenuhi seperti yang dipaparkan sebelumnya. Tanah yang berada dalam satu areal hamparan yang sangat luas menjadi salah satu syarat pokok dalam membangun perkebunan kelapa sawit, sementara sesunguhnya tanah-tanah yang ada di Indonesia sudah dikuasai oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara tradisional dan turun temurun. Sehingga untuk memperoleh tanah-tanah yang luas tersebut sebagai syarat untuk pembukaan kebun sawit dilakukan dengan cara-perampasan hal ini bisa dibuktikan dalam mendapatkan tanah yang luas perusahaan perkebunan melakukan; (1) perampasan tanah dan kekayaan alam rakyat dengan cara kekerasan;(2) Perampasan menggunakan keterbelakangan masyarakat dengan cara menipu dengan pesona janji;(3) Perampasan dengan berkedok jual beli tanah (ganti rugi). Disamping itu dalam operasi merampas tanah masyarakat, Perusahaan mendapatkan previlege dari negara melalui kebijakan – kebijakan yang dibuat dan juga menurunkan aparatusnya (aparat birokrasi, aparat kepolisian dan aparat negara).

Hingga saat ini jumlah petani sawit di Indonesai ada sekitar 3 juta orang (Dirjenbun 2006) dan mengusai 34 % luasan kebun, namun sayangnya petani belum menduduki posisi yang strategis dalam hal menentukan kebijakan perkebunan sawit. Sejak awal mereka ditipu dengan janji kesejahteraan ketika menjadi petani sawit. Masyarakat harus memberikan dan menyerahkan tanah untuk mendapatkan kebun sawit biasanya harus menyerahkan lahan 7,5 ha atau lebih untuk mendapatkan kebun sawit seluas 2 ha. Tapi kebun tersebut bukannya diperoleh secara gratis tapi harus dibayar dengan utang kredit yang ditentukan oleh perusahaan dan pemerintah tanpa berkonsultasi dengan petani. Persoalan makin rumit ketika masa konversi dimana kebun yang diserahkan tidak layak ataupun konversi sengaja diperlambat dan di ulur-ulur. Belum lagi ketika mereka sudah menerima kebun insfrastruktur kebun petani sangat tidak layak dimana jalan dan fasilitas kebun yang tidak dibangun, sarana produksi berupa pupuk juga sangat sulit di dapatkan, lembaga KUD yang menjadi organisasi ekonomi petani justru melakukan penghisapan terhadap anggota petani, pelatihan budidaya kebun yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan sama sekali tidak diberikan. Hal ini mengakibatkan produktifitas petani sangat rendah sementara pemotongan biaya harga mutu TBS dilakukan oleh perusahaan. Dalam penentuan harga juga petani tidak dilibatkan dalam menentukan komponen harga TBS.
Sistem hari ini apabila dibandingkan dengan sistem tanam paksa pada jaman kolonial masih memiliki beberapa keuntungan dimana status lahan pada jaman tanam paksa masih dimiliki oleh petani, sementara pada pola PIR seluruh tanah petani diserahkan keperusahaan dan dikembalikan hanya 2 ha untuk petani plasma itupun harus dibayar dengan kredit sementara sis tanahnya menjadi bagain dari kebun inti yang di HGU kan oleh perusahaan dan dinggap sebagai tanah negara. Pada Sistem tanam paksa bibit dan alat kerja di sediakan oleh pemerintah kolonial sementara pada pola PIR bibit dan segala macam keperluan kebun harus dibayar melaui kredit oleh petani.

Kondisi tersebut sengaja diarahkan oleh kaum kapitalis monopolis untuk menguasai kontrol akan tanah dan mengarah pada kemiskinan akibat tidak adanya alat produksi oleh petani sehingga akan menjadi buruh di perkebunan dengan upah yang rendah. Perusahaan inti merupakan centrum (pusat) kegiatan perkebunan dimana kebun plasma milik petani sangat tergantung pada kebun inti karena kebun plasma hanya merupakan unit-unit kecil pendukung kebun inti. Hubungan produksinya bersifat vertikal sehingga hubungan antar unit-unit kebun plasma terputus dan sulit mengkonsolidasikan diri.

Sistem Perkebunan Skala Besar Merupakan Penguasaan Tanah Oleh Tuan Tanah Tipe Baru.
Sistem perkebunan skala besar kelapa sawit mewarisi sistem ekonomi politik usang yang mengandalkan monopoli atas tanah (sistem ekonomi politik feodal) dengan menjadikan pemilik perkebunan sebagai tuan tanah yang memonopoli penguasaan tanah yang sangat luas, serta mengendalikan kekuasaan Politik diwilayah tersebut. Pemenuhan kebutuhan sangat berorientasi pasar dengan upaya pemenuhan komsumsi negara-negara barat sementara kebutuhan di tingkat rakyat bukan menjadi tujuan utama pembangunan perkebunan sawit. Contoh sederhananya pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri yang sangat susah didapatkan kalaupun ada dengan harga yang mahal hingga mencapai 10.000 / liter. Dalam relasi produksinya perkebunan besar menggunakan sistem kapitalisme dengan mempekerjakan buruh yang dibayar dengan uang. Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa majikan didalam pemilik perusahaan perkebunan merupakan tuan tanah ”tipe baru” baik yang dijalankan oleh perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Istilah tuan tanah ”tipe baru” digunakan karena perusahaan perkebunan menguasai tanah yang sangat luas, dia tidak bekerja ditanah tersebut secara langsung dan hasilnya sangat berlebih yang diambil dari penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh dan petani berupa nilai lebih dengan mengambil waktu dan hasil kerja kaum buruh, serta produk lebih dengan mengambil hasil produksi yang dari petani kelapa sawit (Monopoli proses budidaya dan monopoli hasil produksinya). Jadi, tuan tanah ”tipe baru” dalam relasi produksi didalam sistem perkebunan skala besar merupakan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem ini dan petani sawit hanya menjadi objek hisapan untuk pemenuhan kebutuhan TBS. Perusahaan mendapatkan nilai lebih dari selisih harga CPO ( Rp. 8000 ) dan kernel (Rp. 4500 / kg) sementara petani hanya memperoleh harga TBS dengan harga yang sangat rendah yaitu berkisar pada harga Rp. 1500- Rp. 2000 / Kg sebelum di potong dengan mutu TBS yang di terapkan oleh perusahaan.

Yang Paling Diuntungkan Oleh Sistem Perkebunan Sawit Skala Besar
Struktur sosial yang ada di perkebunan sawit yaitu terdiri dari 1).Tuan tanah tipe baru atau perusahaan yang memonopoli tanah 2). petani sawit ( plasma yang di bagi dalam 3 kategori yaitu buruh tani, petani plasma, dan petani bertanah / non sawit, 3) dan buruh industri merupakan sistem sosial yang ada di perkebunan sawit hari ini. Apabila dilihat dari sudut kepentingannya jelas yang paling berkepentingan adalah pihak perusahaan perkebunan karena mereka yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari sistem tersebut. Disusul oleh elit – elit yang menjadi parasit yang diuntungkan oleh sistem tersebut. Sedangkan buruh kebun / tani, petani plasma, buruh industri perkebunan merupakan pihak yang hadir dipaksa oleh sistem tersebut dan keadaan saat ini sudah menjadi bagian yang terlanjur berada dalam lingkaran sistem perkebunan skala besar dan masyarakat lain terutama petani non plasma / non sawit merupakan pihak yang tidak terlalu berkepentingan terhadap sistem tersebut karena tidak memiliki relasi langsung terhadap sistem perkebunan tersebut, namun demikian sebagai bagian kolektif kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk perluasan perkebunan ataupun dihambatnya proses produksi (budidaya).

Menggalang Persatuan Melawan Sistem Perkebunan Skala Besar
Dari pemaparan sejarah dan kondisi petani sawit hari ini dimana petani sawit belum mempunyai posisi yang kuat secara politik dan ekonomi akibat pengusaan lahan yang dimonopoli oleh kaum kapitalis melaui kaki tangan yang ditancapkan yaitu birokrasi negara dan kaum –kaum parasit ditingkat desa merupakan kaum yang sangat diuntungkan dalam perkebunan sawit skala besar. Situasi hari ini dimana posisi petani plasma telah masuk dalam sistem ini harus berusaha keras untuk keluar dari ikatan sistem perkebunan skala besar tersebut dengan melakukan perbaikan terhadap kondisi kebun dengan mengupayakan penyediaan sarana produksi dan infrasrtuktur kebun baik dengan upaya swadaya sendiri ataupun menuntut tanggung jawab perusahaan. Pemenuhan akan pupuk bersubsidi bagi petani dan penyediaan benih yang gratis bagi petani mutlak harus dilakukan oleh negara untuk meningkatkan produktivitas petani. Dalam waktu kedepan perjuangan melawan kaum penidas tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara sektoral oleh petani plasma sendiri, tapi penting untuk mengalang kekuatan rakyat dengan memadukan kekuatan buruh, tani, pemuda dan mahasiswa serta kaum perempuan. Tujuan utamanya adalah menghancurkan kekuasan feodalistik yang merupakan watak yang paling menonjol dalam sistem perkebunan skala besar yang dikuasai oleh tuan tanah tipe baru dan membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan imprealisme. Perjuangan demokratis adalah perjuangan yang memiliki karakter luas, menghimpun segenap potensi demokratis massa dari seluruh sektor, semua golongan untuk bersatu padu merebut hak-hak demokratis yang selama ini belum dipenuhi oleh pemerintah yang berkuasa.

Sumber :http://waseng.wordpress.com/sistem-perkebunan-skala-besar-“sejarah-penjajahan-yang-berulang”

Kearifan lokal budaya Suku Semende

Perihal harta waris dalam agama Islam mendapat tempat yang layak. Bahkan, pengajaran soal ini merupakan salah satu bagian yang wajib dipelajari kaum muslimin.
Perihal waris yang merupakan salah satu hal yang rumit ini memang semestinya dipahami dengan baik. Sebab terkadang kita mendengar bahwa ada keluarga yang sampai ribut karena bertengkar soal harta warisan. Soal aturan dalam Islam bahwa laki-laki mendapatkan setengah dari harta, juga sering menjadi titik picu rumah tangga bertengkar. Apalagi jika anak dari ahli waris sudah berkeluarga. Hasutan dari pihak istri dan tuntutan anak-anak akan makin menambah runyam permasalahan.
Dalam konteks ini, dalam ada istiadat orang Semende, ada yang namanya tunggu tubang. Tunggu tubang ini merupakan sistem kekeluargaan di mana hal untuk menjadi pewaris jatuh kepada pihak perempuan tertua.
Ini disebabkan adat Semende menganut garis keturunan dari pihak ibu atau yang disebut matrilineal.
Misalnya, seorang ayah memiliki tiga anak. Anak pertama atau si sulung berjenis kelamin laki-laki. Anak kedua perempuan serta anak ketiga
laki-laki. Nah, hak rumah dan tanah jatuh kepada anak perempuan yang urutannya kedua tadi. Akan tetapi, jika tidak ada anak perempuan bagaimana? Kalau ini yang terjadi, pewarisnya bisa diberikan kepada laki-laki tertua atau istri dari anak laki-laki tertua. Kalaupun masih ada yang perempuan, tetapi dia tidak mau, pilihan-pilihan tadi bisa jadi alternatif. Yang penting, jika syarat tidak ada perempuan dalam struktur anak dalam keluarga, semua harus dipecahkan dengan musyawarah, dengan mufakat, dengan pemusyawaratan. Jadinya demokratis. Pada titik inilah, letak demokratis adat dalam suku Semende ini.
Umumnya orang Semende mewariskan harta berupa tanah, sawah, dan rumah. Tanah di sini dalam artian yang bisa diusahakan secara produktif. Maka itu, terkenal bahwa orang Semende itu punya banyak ladang, sawah, atau kebun. Bahkan, secara berseloroh, orang Semende disebut "James Bond" atau jeme Semende besak di kebon. Maksudnya, orang Semende besar di kebun.
Tanah yang ada ini harus diusahakan berproduksi, tidak boleh berhenti. Sebab, dari sinilah semua kebutuhan keluarga besar dipenuhi. Kenapa demikian? Karena, mereka yang mendapatkan tunggu tubang tidak boleh menjual harta dan rumah. Rumah itu akan menjadi rumah tua di mana anak beranak akan berkumpul jika ada acara besar keluarga. Rumah itu akan menjadi simbol bahwa bangunan itu menjadi benteng pertahanan terakhir dari semua garis keturunan. Tidak hanya itu juga, tanah yang ada dan terus berproduksi itu juga berguna kalau ada keluarga yang membutuhkan. Artinya, beban mereka yang menjadi tunggu tubang ini berat. Tanah dan rumah tidak boleh dijual, sementara mereka menghidupi keluarga sambil menjadi kepala keluarga jika ada yang membutuhkan uang. Bisa dikatakan wajib hukumnya bagi tunggu tubang untuk memenuhi semua kebutuhan sanak keluarganya. Contohnya begini. Keponakan tunggu tubang butuh biaya untuk sekolah sedangkan orang tua kandung sedang tidak punya uang. Dalam kondisi demikian, perempuan yang menjadi tunggu tubang itu wajib memberikan uang untuk kebutuhan keponakannya tersebut. Demikian pula jika ada yang membutuhkan.
Kalaupun ada persoalan keluarga yang mendesak dan demikian penting, perempuan yang menjadi tunggu tubang juga harus ikut memfasilitasi agar persoalan itu segera diselesaikan.
Secara umum demikianlah sekelumit yang dimaksud dengan tunggu tubang. Kini, sesuai dengan judul pada tulisan yang dibuat ini, apakah dengan mekanisme adat yang demikian, masih relevan dengan kehidupan di masa sekarang. Penulis akan memberikan beberapa di antaranya.
Pertama, kita harus tetap memandang bahwa yang namanya aturan agama adalah mutlak. Adat harus bersendikan syariat. Benarlah kata mereka yang bersuku bangsa Minangkabau, yang mengatakan bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat itu sendinya syariat, sedangkan syariat itu adanya di kitab Allah atau Alquran.
Maka, kalau ada orang Semende yang dengan kuat memegang tradisi agama Islam dengan tidak menganut paham tunggu tubang, kita juga harus bisa memandangnya secara bijak, itu pilihan, dan kita harus menghormati.
Akan tetapi, buat mereka yang berkukuh bahwa ini adat dan harus diikuti, juga tidak menjadi masalah. Apalagi, meskipun sudah modern, tetap saja kebanyakan orang Semende tetap menganut adat ini. Kalaupun tidak secara saklek, tetap saja orang tua sudah berpesan bahwa tanah dan rumah yang mengelola si anu sambil menunjuk anak perempuan tertuanya.
Kedua, manfaat dari adanya rumah besar. Dengan ketiadaan hak dari tunggu tubang untuk menjual rumah dan tanah, berakibat pada terpeliharanya warisan yang bersejarah. Dengan adanya rumah tua, semua anak dan cucu masih dapat berkumpul. Rumah tua itulah yang menjadi perlambang bahwa meskipun sudah merantau jauh ke negara atau daerah lain, tetap ada satu rumah untuk berkumpul bersama. Inilah nikmatnya berkumpul bersama. Coba saja bandingkan dengan beberapa keluarga yang lain, yang begitu bapaknya meninggal, rumah dan tanah langsung dijual untuk dibagi-bagi. Akhirnya tidak ada lagi tempat untuk keluarga besar berkumpul. Lambang sejarah dalam keluarga juga hilang. Kenangan akan masa lalu tidak mampu lagi dihadirkan lantaran rumah sebagai simbolnya sudah hilang. Demikian pula dengan segenap peninggalan keluarga, mungkin foto, benda peninggalan, serta silsilah keluarga tidak ada lagi. Dari pengalaman penulis saja, kekerabatan orang Semende ini cukup kuat. Ada bahkan seorang kerabat penulis yang membuat tembe. Tembe itu garis silsilah keluarga. Dari moyang hingga cicit. Sehingga, sampai ke masa yang akan datang, sampai ke beberapa garis keturunan, masih bisa dilacak siapa saja kerabat yang ada. Sebuah keuntungan yang luar biasa bukan, jika dilihat dari sisi aset keluarga. Dari sini, penulis beranggapan untuk masalah ini, ada baiknya adat ini dikembangkan. Semata-mata agar semua keluarga punya tempat untuk berkumpul.
Ketiga, pemecahan masalah juga mudah dilakukan. Adanya tanggung jawab yang besar dari tunggu tubang membuat permasalahan yang ada pada keluarga besar akan terpecahkan. Tentu saja harus melibatkan tetua dari keluarga, misalnya uwak atau paman. Sering juga kita mendengar bahwa ada keluarga yang sulit sekali untuk memecahkan persoalan lantaran tidak ada yang dituakan atau dimintakan saran. Dengan adanya tunggu tubang, terbuka peluang untuk memecahkan semua persoalan dalam rumah tangga.

Semende Dalam Sejarah Legenda

Ilustrasi menarik mengenai tempat orang-orang Basemah pernah dituliskan oleh JSG Grambreg, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang ditulisnya tahun 1865 sebagai berikut : " Barang siapa yang mendaki Bukit Barisan dari arah Bengkulu, kemudian menjejakkan kaki di tanah kerajaan Palembang yang begitu luas dan barang siapa yang melangkahkan kakinya dari arah utara Ampat Lawang (negeri empat gerbang) menuju ke dataran Lintang yang indah, sehingga ia mencapai kaki sebelah Barat Gunung Dempo, maka sudah pastilah ia di negeri orang Pasemah. Jika ia berjalan mengelilingi kaki gunung berapi itu, maka akan tibalah ia di sisi timur dataran tinggi yang luas yang menikung agak ke arah Tenggara, dan jika dari situ ia berjalan terus lebih ke arah Timur lagi hingga dataran tinggi itu berakhir pada sederetan pengunungan tempat, dari sisi itu, terbentuk perbatasan alami antara negeri Pasemah yang merdeka dan wilayah kekuasaan Hindia Belanda".

Dari kutipan itu tampak bahwa saat itu wilayah Pasemah masih belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Operasi-operasi militer Belanda untuk menaklukkan Pasemah sendiri berlangsung lama, dari 1821 sampai 1867 Johan Hanafiah budayawan Sumatra Selatan, dalam sekapur sirih buku Sumatra Selatan Melawan Penjajah Abad 19 tersebut menyebutkan bahwa perlawanan orang Pasemah dan sekitarnya ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan abad 19, berlangsung hampir 50 tahun lamanya. Johan Hanafiah juga menyatakan bahwa pada awalnya orang-orang luas, khususnya orang Eropa, tidak mengenali siapa sebenarnya orang-orang Pasemah. Orang Inggris, seperti Thomas Stamford Rafless yang pahlawan perang Inggris melawan Belanda di Jawa (1811) dan terakhir mendapat kedudukan di Bengkulu dengan pangkat besar (1817-1824) menyebutnya dengan Passumah. Dalam The British History in West Sumatra yang ditulis oleh John Bastin, disebutkan bahwa bandit-bandit yang tidak tahu hukum (lawless) dan gagah berani dari tanah Passumah pernah menyerang distrik Manna (salah satu nama kota di bengkulu selatan) tahun 1797.

Disebutkan pula bahwa pada tahun 1818, Inggris mengalami dua malapetaka di daerah-daerah Selatan yakni perang dengan orang-orang Passumah dan kematian-kematian karena penyakit cacar. Pemakaian nama Passumah sebagaimana digunakan oleh orang Inggris tersebut rupanya sudah pernah pula muncul pada laporan orang Portugis jauh sebelumnya.

Nama Pasemah yang kini dikenal sebetulnya adalah lebih karena kesalahan pengucapan orang Belanda, demikian menurut Mohammad Saman seorang budayawan dan sesepuh besemah. Adapun pengucapan yang benar adalah Besemah sebagaimana masih digunakan oleh penduduk yang bermukim di Pagaralam Suku Besemah, yang sering disebut sebagai suku yang suka damai tetapi juga suka perang (Vrijheid lievende en oorlogzuchtige bergbewoners) adalah suku penting yang terdapat di Sumatera Selatan. Pada zaman sebelum Masehi (SM), pada peta yang dibuat oleh Muhammad Yamin, belum tampak nama suku-suku lain yang tercantum, kecuali suku Besemah. Local Jenius Suku Besemah, sebagai salah satu pemilik kebudayaan Megalitikum, disebut suku yang memiliki local genius. Tetapi sayang, tidak diwariskan kepada anak-cucu (keturunannya).

Mengenai asal-usul suku Besemah, hingga saat ini masih diliputi kabut rahasia. Yang ada hanyalah cerita-cerita yang bersifat legenda atau mitos, yaitu mitos Atung Bungsu, yang merupakan salah satu di antara 7 orang anak ratu (= raja) Majapahit, yang melakukan perjalanan menelusuri sungai Lematang, akhirnya memilih tempat bermukim di dusun Benuakeling.

Atung Bungsu menikah dengan putri Ratu Benuakeling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melalui keturunannya :


  1. Bujang Jawe (Puyang Diwate),
  2. Puyang Mandulike,
  3. Puyang Sake Semenung,
  4. Puyang Sake Sepadi,
  5. Puyang Sake Seghatus,
  6. dan puyang Sake Seketi

yang menjadikan penduduk Jagat Besemah. Cerita tentang asal-usul suku Besemah sangat mistis, irasional, dan sukar dipercaya kebenarannya. Masalahnya bukan persoalan benar atau salah, dipercaya atau tidak, akan tetapi unsur yang sangat penting dalam mitos atau legenda adalah peran dan fungsinya sebagai pemersatu kehidupan suatu masyarakat (jeme Besemah). Mitos atau legenda ini dapat menjadi antisipasi disintegrasi kesatuan dan persatuan jeme Besemah di mana pun mereka berada. Hal ini sudah sudah tampak dalam beberapa dekade, terutama setelah pemerintahan marga dihapuskan (UU No.5 Tahun 1979). Perlu selalu ditanamkan perasaan dan keyakinan bahwa jeme Besemah itu (termasuk jeme Semende dan jeme Kisam) berasal dari satu keturunan BERDIRINYA DUSUN DI JAGAT BESEMAH Puyang Kunduran membuat dusun Masambulau (Ulu Manak) dan di kemudian hari anak-cucunya membuat dusun Gunungkerte, termasuk Sumbay Besak (Sumbay Besar), Puyang Keriye Beraim membuat dusun Gunungkaye, dan Sumur. Kemudian anak-cucu Keriye Beraim membuat dusun Talangtinggi dan Muarajauh (Ulu Lurah), Puyang Belirang membuat dusun Semahpure dan anak cucunya pindah pula membuat dusun di Ulu Manak. Puyang Raje Nyawe pindah pula membuat dusun Perdipe, Petani dan Pajarbulan.

Anak cucunya pindah pula membuat dusun Alundua, Sandarangin, Selibar, Rambaikace, Sukemerindu, Kutaraye, Babatan, Sadan, Nantigiri, Lubuksaung, Serambi, Bendaraji, Ulu Lintang Bangke, Singapure, Buluhlebar, Gunungliwat, Tanjungberingin, Ayikdingin, Muarasindang, Tebatbenawah, Rempasai, Karanganyar, semuanya masuk Sumbay Besak. Puyang Raje Nyawe pindah ke Semende, membuat dusun Pajarbulan.

Puyang Raje Nyawe kembali ke dusun Perdipe menyebarkan agama Islam dan adat istiadat perkawinan secara islami. Dari Semende banyak penduduk yang pindah keKisam dan masih banyak cerita mengenai pendirian dusun-dusun di Tanah Besemah ini.

Sistem Pemerintahan Tradisional Sistem pemerintahan tradisional di daerah Besemah disebut Lampik Empat Merdike Due yang dipimpin oleh kepala-kepala sumbay. Besemah waktu itu merupakan suatu republik yang paling demokratis. Tanggungjawab dan kesetiaan sangat ketat dibina oleh orang Besemah. Rasa solidaritas dan loyalitas yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan prajurit-prajurit Besemah dapat melakukan perlawanan terhadap Kolonialisme.Dari kutipan itu tampak bahwa saat itu wilayah Pasemah masih belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Operasi-operasi militer Belanda untuk menaklukkan Pasemah sendiri berlangsung lama,dari 1821 sampai 1867 Johan Hanafiah budayawan Sumatra Selatan, dalam sekapur sirih buku Sumatra Selatan Melawan Penjajah Abad 19 tersebut menyebutkan bahwa perlawanan orang Pasemah dan sekitarnya ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan abad 19, berlangsung hampir 50 tahun lamanya. Johan Hanafiah juga menyatakan bahwa pada awalnya orang-orang luas, khususnya orang Eropa, tidak mengenali siapa sebenarnya orang-orang Pasemah. Orang Inggris, seperti Thomas Stamford Rafless yang pahlawan perang Inggris melawan Belanda di Jawa (1811) dan terakhir mendapat kedudukan di Bengkulu dengan pangkat besar (1817-1824) menyebutnya dengan Passumah. Dalam The British History in West Sumatra yang ditulis oleh John Bastin, disebutkan bahwa bandit-bandit yang tidak tahu hukum (lawless) dan gagah berani dari tanah Passumah pernah menyerang distrik Manna (salah satu nama kota di bengkulu selatan) tahun 1797.

Sumber :http://www.pagaralam.go.id

Sejarah Desa Kembang Manis

Desa Kemang Manis merupakan sebuah desa tua yang telah berdiri dan ada sejak tahun 1890 an dengan letak Desa pertama berada di dekat Muara Air Luas, namun dikarenakan adanya abrasi pantai dan terjadinya banjir besar Sungai Luas sekitar tahun 1930 an yang menyebabkan masyarakat desa Kemang Manis harus pindah ke lokasi sekarang ini dengan nama desa Padang Hangat. Seiring dengan waktu dikarenakan bertambahnya masyarakat maka pada tahun 1999 an desa Padang Hangat dimekarkan menjadi dua desa yaitu Padang Hangat dan Kemang Manis. Pemerintahan desa Kemang Manis dari sekitar tahun 1890 an sampai saat ini telah berganti ganti dalam menyebutkan pemerintah desa dan orang yang menduduki emerintah desa itu sendiri.
Dimulai dari tahun 1890 an Pemerintahan Desa pertama dipimpin oleh seorang Pangeran, selanjutnya dipimpin seorang Ratu kemudian seorang Penggawe,selanjutnya Pati, lalu baru di sebut Kepala Desa. Dari penggalian data yang dilakukan maka diketahui Pati pada tahun 1950 an adalah Bapak M Nur, lalu Bapak Balim, Bapak M Hatta, dan baru Kepala Desa sekarang ini yaitu Bapak Nurdin G. Potensi desa Kemang Manis sebenarnya cukup memadai danbagus yang diantaranya yaitu potensi perkebunan Karet, Potensi SDA Laut, dan potensi Galian C.
Berdasarkan sejarahnya Desa ini, pada zaman dahulu sekitar tahun 1890 berdirilah sebuah desa di pinggir Pantai Muara Sungai Luas, desa tersebut bernama Desa Kemang Manis. Adapun penduduk desa tersebut berasal dari wilayah Dusun Betung Kec Kaur Tengah, dan desa Numbuk sekarang masuk dalam wilayah Sumatera Selatan. Perpindahan ini terjadi di karenakan ingin mencari tempat penghidupan baru dikarenakan tempat yang ada terus mengalami pengikisan tanah oleh pantai, Dilain itu juga terjadi banjir sungai luas yang menyebabkan masyarakat harus pindah ke lokasi saat ini yang secara posisi dan letak jauh lebih tinggi dari tempat yang lama. Atas inisiatif masyarakat maka lokasi desa Kemang Manis dipindahkan ke lokasi yang ditempati sekarang ini dengan nama desa baru yaitu Padang Hangat, perpindahan ini terjadi pada tahun 1930 an.
Lama kelamaan desa Padang Hangat semakin berkembang dan semakin banyak masyarakatnya. Maka sekitar tahun 1999 terjadi pemekaran dari satu desa yaitu Padang Hangat menjadi dua Desa yaitu Padang Hangat dan Kemang Manis. Dari tahun 1890 sampai 1990 an sebutan pemerintah desa selalu berganti, pertama disebut disebut Pangeran, Ratu, Penggawe, Pati dan sekarang ini menjadi Kepala Desa. Sebutan Kepala Desa sendiri dimulai pada tahun 1991 sampai sekarang diubah menjadi Kepala Desa dan Sekretaris Desa. Pada tahun 1890 samapai 1980 an desa Padang Hangat dan Kemang Manis merupakan penghasil kebun lada dan cengkeh, namun pada tahun 1970 an keatas semua kebun lada dan cengkeh mati karena hama (CDC) sehingga mulai dari tahun 1990 an sampai sekarang masyarakat desa kemang manis beralih ke kebun Karet dan petani Sawah tadah Hujan. Dari tahun 1890 sampai sekarang ini masyarakat desa Kemang Manis kurang berminat menekuni bidang kelautan sehingga tidak ada masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, yang ada hanya masyarakat yang menjala atau memancing ikan di pinggir pantai dan muara sungai luas ini disebabkan karena minimnya SDM dan alat tangkap yang dimilki oleh masyarakat untuk menangkapkan di laut, yang ada daridahulu sampai saat ini yaitu masyarakat menjala dan memancing ikan dipingir Laut dan Karang serta mencari Sayal dan menembak Ikan dan Gurita.

Sejarah Desa Wayhawang

Dahulu sekitar tahun 1910 datanglah 4 keluarga yang memulai membuka hutan di tanah Way Hawang, keempat keluarga ini berasal dari desa Sambat yang berpindah untuk mencari penghidupan ke tempat yang baru yaitu tanah Way Hawang. Kemudian lama-kelamaan bertambahlah keluarga yang bermukim di tanah Way Hawang ini sehingga menjadi sebuah talang. Sebelum masuk ke wilayah Propinsi Bengkulu maka Way Hawang masuk dalam wilayah Propinsi Lampung dan di Way Hawang yang saat itu masih berstatus talang merupakan perbatasan dari Propinsi Bengkulu dan Lampung, namun setelah itu ada perubahan batas wilayah propinsi sehingga Way Hawang masuk ke dalam wilayah Propinsi Bengkulu.
Seiring dengan perkembangan kemajuan zaman maka dari tahun ke tahun semakin banyak keluarga yang bermukim di tanah Way Hawang sehingga pada tahun 1983 Way Hawang di definitipkan menjadi Salah satu desa Di wilayah Kabupaten Manna Bengkulu selatan dengan Ibu Kota Kecamatan adalah Bintuhan. Dan pada tahun 2005 setelah terjadi pemekaran yaitu daerah Kaur menjadi sebuah Kabupaten maka Desa Way Hawang masuk dalam Kecamatan Maje dengan Ibukota Kabupaten Bintuhan.
Nama Way Hawang berasal dari Way artinya Air dan Hawang artinya Rawang/besar/banjir, dinamakan demikian dikarenakan sekitar tahun 1930 an terjadi banjir besar disungai yang ada di pangkal desa Way Hawang, dari situ maka ditetapkan Way Hawang menjdi nama desa dan sekaligus nama Sungai yang mengalir di pangkal desa Way Hawang. Untuk menuju desa Way Hawang dapat di tempuh dengan menggunakan kendaraan darat (mobil dan motor) dengan jarak tempuh waktu dari Kota Bengkulu lebih kurang 7 jam, dan jika menaiki kendaraan umum maka biaya yang dikeluarkan lebih kurang 70.000 ribu dari Kota Bengkulu. Desa Way Hawang sendiri terletak di jalur lintas Bengkulu Lampung dengan mayoritas kehidupan masyarakat hidup dengan berkebun, bersawah dan nelayan tradisional, dan industri genting dan bata namun yang menjadi mata pencaharian utama adalah petani sawah. Jumlah penduduk Desa Way Hawang sebanyak 678 jiwa dengan jumlah kk sebanyak 158 kk.
Sebelum tarjadi pemekaran desa maka desa Way Hawang cukup luas, namun setelah setelah pemekaran maka desa Way Hawang menjadi terbagi dua yaitu desa Way Hawang dan desa Suka menanti. Sistem pertanian masyarakat desa Way Hawang masih sangat sederhana yaitu menggunakan sistem tadah hujan sehingga untuk menanam padi dilakukan hanya satu tahun sekali dan tergantung dengan musim, pada tahun 2006 dahulu terjadi masa paceklik yang cukup panjang dikarenakan biasanya bulan Oktober, November, Desember, Januari adalah musim hujan namun pada tahun 2006 tidak terjadi dan musim hujan sudah masuk bulan Februari dan Maret 2007 sehingga masyarakat pada tahun 2006 tidak bisa menanam padi dan baru memulai menanam padi pada bulan Februari dan Maret 2007. Saat ini masyarakat desa Way Hawang masih berada dalam masa kesusahan dikarenakan sumber daya yang ada belum dapat dimanfaatkan secara maksimal seperti :
1. Bidang kelautan masih menggunakan sistem Nelayan tradisional
2. Pertanian Sawah masih tadah hujan dan masih menggunakan tenaga manusia baik untuk membajak dan mengolah lahan sawah tersebut.
3. Industri genting dan bata masih terkendala dengan pemasaran
4. SDM masih kurang

PERUBAHAN SOSIAL SEBAGAI MANFAAT DARI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh : Asmilawati Kepala Desa Suku tiga kecamatan Nasal

Banyaknya permasalahan yang muncul dimasyarakat, telah memberikan sebuah keinginan dari saya untuk dapat menjadi kepala desa, hal ini dikarenakan saya melihat permasalahan-permasalahan yang ada tidaklah dapat terselesaikan dengan baik dan terkadang meruncing dan menimbulkan sebuah permasalahan yang baru, hal ini tentunya harus diakui disebabkan lemahnya dan semakin menurunnya rasa kebersamaan masyarakat (gotong royong), juga semakin menurunnya semangat musyawarah di masyarakat sehingga proses penyelesaian masalah terkadang kurang terselesaikan dengan baik., disamping itu pula lemahnya kepemimpinan yang ada didesa, serta tidak adanya transparasi terhadap masyarakat terkait dengan kegiatan yang dilakukan telah berdampak pada semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin.

Namun dalam perjalannannya menjadi kepala desa bukanlah hal yang mudah, hal ini dikarenakan dengan menjadi pemimpin semakin banyak aspirasi yang di inginkan oleh masyarakat untuk kita lakukan, termasuk dengan rencana pembangunan yang ada didesa.

Namun dalam perjalan saya selaku kepala desa bersama teman-teman dari Kelompok tani lahan kritis, yang didampingi oleh kawan-kawan dari ulayat dan dari diskusi yang kami bangun saya mulai berfikir bahwasannya sangat penting dilakukan musyawarah bersama antara lembaga pemerintahan desa, BPD, dan masyarakat untuk dapat merumuskan rencana pembangunan desa sebagai mana yang tertuang dalam Peraturan pemerintah No 72 tahun 2005 tentang tata laksana penyelenggaraan pemerintahan desa, dari musyawarah bersama inilah saya mulai menyadari bahwasannya pembangunan didesa haruslah dilakukan secara bertahap dan terencana sehingga apa yang menjadi Cita-cita kami masyarakat desa suku tiga dapat tercapai.

Proses perencanaan desa yang kami lakukan menjadi sangat penting dimana dalam proses ini kita menjadi tahu bahwa kita selaku manusia khususnya desa memiliki potensi-potensi yang dapat dikembangkan untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, namun disamping itu yang menjadi lebih penting adalah bagaimana kita dapatmengetahui kelemahan-kelemahan kita yang terkadang kalau boleh jujur selalu kita simpan rapat sehingga permasalahan ini tidaklah terselesaikan dengan baik,
saya menyadari Proses perencanaan desa yang kami lakukan pada dasarnya bertujuan membangun kembali nilai-nilai demokrasi dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam melakukan pembangunan didesa, hal ini dikarenakan saya menyadari bahwasannya keterlibatan masyarakat sangat penting sebagai pelaku dari pembangunan.

Dari proses musyawarah yang kami lakukan ini sebagai sebuah desa tentunya diperlukan sebuah aturan-aturan guna mengatur wilayah khususnya sumber daya yang ada sehingga dapat termanfaatkan dengan baik dan menyelesaikan setiap permasalahan yang ada, untuk mengatasi ini maka kami selaku pemerintahan desa, melali BPD dan masyarakat membuat beberapa peraturan yang harus dibuat dan diterapkan didesa kami.
adapun perdes yang kami buat antara lain:
1. Perdes Tentang Aturan Adat dan Pelanggarannya
2. Perdes Tentang Kependudukan Lingkungan
3. Pendapatan dan keuangan desa
Disamping itu pula perencanaan desa yang kami lakukan juga telah memberikan gambaran tentang apa-apa saja terkait infrastuktur yang menjadi prioritas untuk dilakukan sesuai kebutuhan masyarakat dan tentunya atas dukungan para pihak dalam hal ini pemerintah daerah.
Beberapa fasilitas umum yang telah teralisasi adalah:
1. Balai desa sebagai pusat pelayanan pemerintah desa untuk masyarakat
2. Jalan lingkungan
3. Siring pembuangan limbah desa (berdasarkan rapat masyarakat dengan Program PNPM) ide ini disebabkan dampak yang ditimbulkan dari limbah penggilingan padi, khususnya penyakit yang ditimbulkan.

Namun dalam perjalanan saya selaku kades selama 2 tahun ini banyak yang saya rasakan,
1. banyaknya kritikan masyarakat
2. prasangka masyarakat
3. tetap saja ada pro dan kontra di masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan desa
4. masih lemahnya Sumber daya manusia didesa (khususnya perangkat desa) sehingga rencana pembangunan yang telah tersusun berjalan sangat lambat dan belum terbiasa kerja tim sehingga asumsi yang muncul terkait pekerjaan maka menjadi tanggung jawab kades, sehingga kedepan saya berharap adanya sebuah pelatihan dan pendapingan yang intensif yang dibuat untuk kawan-kawan kaur (perangkat desa) sehingga fungsi dan peran perangkat desa dapat berjalan dengan baik.
5. Besarya tanggung jawab kades saat ini khususnya untuk anak-anak Kuliah Kerja Nyata).
Namun semua hal diatas mereupakan tantangan yang harus kita hadapai selaku pemimpin didesa yang kita pimpin, kedepan tentunya saya sangat mengharapkan kerjasama kepada kawan-kawan demi kemajuan kita bersama.



JANGAN BERIKAN IKAN KEPADA KAMI TAPI BERIKANLAH PANCING

Sejarah Desa Penyandingan kecamatan Maje

Sebelum tahun 1960 wilayah Desa Penyandingan termasuk dalam Wilayah Marga Sambat yang merupakan Komunitas Suku Kaur.
Tidak diketahui secara pasti kapan wilayah Desa Penyandingan mulai dibuka, namun berdasarkan informasi dari beberapa masyarakat asli dan orang tua yang berasal dari Penyandingan bahwasannya Desa Penyandingan dibuka oleh Raden Dukun bersama para pengikutnya, pemukiman yang pertama kali dibuka oleh raden dukun terletak di lembah muka. Desa Penyandingan, Raden Dukun dan pengikutnya membuka lahan untuk dijadikan lahan perkebunan dan pertanian dilembah muka. Pembukaan lahan dan pemukiman ini dilakukan secara bergotong royong oleh Raden Dukun dan pengikutnya.
Pada tahun 1945 Desa Penyandingan didatangi oleh para perampok yang masuk melalui Pematang Jeregi, namun lokasi pemukiman masyarakat Desa Penyandingan yang terletak dilembah muka tidak ditemukan oleh para perampok,
Dan pada tahun 1960 kembali Desa Penyandingan didatangi oleh gerombolan (pengacau) dan membunuh dua orang masyarakat yang bernama umar dan jumat hal ini dikarenakan umar dan jumat tidak mau bergabung dengan pasukan gwerombolan.
Pada tahun 1970 masyarakat diwilayah Desa Penyandingan mengalami pertambahan penduduk dan pemukiman masyarakat menjadi padat melihat hal ini maka sebahagian masyarakat banyak yang pindah keseberang sungai sambat dan akhirnya mendirikan desa baru dengan nama tanjung aur.
Namun pada tahun Tahun 1984 Desa Penyandingan dilanda banjir besar yang terjadi di sungai sambat hal ini menyebabkan banyak harta benda dan hewan ternak masyarakat yang ditelan banjir. Maka setelah kejadian ini masyarakat mulai pindah kedaerah yang lebih tinggi, disamping itu banyak masyarakat desa penyandingan juga mulai meninggalkan desanya. Pada tahun 1987 desa penyandingan diserang badai besar yang menyebabkan rumah masyarakat dan gedung sekolah rusak atapnya, tak sampai disitu saja bencana demi bencana juga terus melanda daerah ini, khususnya saat serangan hama cengkeh menyerang tanaman masyarakat pada tahun ini sehingga menyebabkan ratusan hektar tanaman cengkeh masyarakat menjadi mati, penyakit tanaman cengkeh ini lebih dikenal dengan masyarakat dengan nama CDC (Cacat Daun Cengkeh).
Pada tahun 1997 Desa Penyandingan tinggal beberapa keluarga saja, hal ini dikarenakan masyarakat banyak yang pindah kedaerah lain seperti parda suka, kedataran, bintuhan dan daerah lain. Sulitnya akses informasi dan komunikasi menjadi salah satu penyebab banyaknya masyarakat diDesa Penyandingan yang mulai pergi meninggalkan Desa.
Pada tanggal 22-11-2002 menjadi salah satu sasaran untuk dijadikan lokasi Transmigrasi, masuknya Transmigrasi umum kewilayah Desa Penyandingan di fasilitasi oleh pihak Dinas Transmigrasi Bengkulu Selatan. Maka mulai waktu inilah lokasi induk Desa Penyandingan dari di kaki lembah muka Di Pindahkan Ke Pematang Ciwer Dan Tanjung Ilung ini dikarenakan Lokasi Desa Penyandingan lama tidak memungkinkan untuk didirikan sebagai pemukiman masyarakat. Disamping masalah Transportasi yang tidak memungkinkan untuk dibangun jembatan. Pada tahun ini pula masuklah masyarakat Transmigrasi yang berasal dari Aceh yang merupakan korban konflik perang Diaceh, disamping masyarakat Desa Penyandingan. Namun para Transmigrasi ini hanya bertahan kurang dari 1 tahun, maka berangsur-angsur pemukiman di wilayah Transmigrasi Desa Penyandingan mulai ditinggalkan oleh warganya, bahkan pada waktu ini wilayah Transmigrasi ini hanya dihuni oleh 3 KK.
Dikarenakan masyarakat desa penyandingan hampir habis khususnya diwilayah trans penyandingan, maka pada tahun 2005 sampai saat ini 2007 kepala Desa Penyandingan mulai mengajak/merangkul masyarakat-masyarakat yang berasal dari daerah lampung barat, jawa, krui, dan masyarakat lokal untuk datang, khususnya di wilayah Trans Desa Penyandingan untuk menggarap lahan pertanian diDesa ini. Saat ini ada lebih kurang 75 KK yang mulai berdatangan dan tinggal rumah-rumah yang dibangun oleh pihak dinas Transmigrasi.
Pada saat ini pada umumnya warga trans Desa Penyandingan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya hidup dari mengelola lahan pertanian, akan tetapi sebagai warga baru masyarakat di tran Desa Penyandingan ini masih mengelola lahan pekarangan yang mereka milki, disamping itu masyarakat juga menggarap lahan pekarangan kosong yang belum ditunggu oleh pemilik lama/baru dengan jenis tanaman palawija seperti kacang hijau, cabe, jagung dan padi darat, dll.
Pada pertengahan bulan Februari sampai dengan bulan maret 2007 untuk mempermudah akses maka dibukalah jalan oleh TMD (tentara masuk Desa) dari Desa kedataran dan pekan (pasar) sampai ke wilayah Trans Penyandingan. Adapun jarak yang dibuka oleh TMD ini berjarak lebih kurang ± 2,8 km. Pembukaan jalan ini selain menggunakan tenaga alat berat seperti Buld dosser juga dibantu oleh masyarakat.

Sejarah Desa Kepahyang Kecamatan Luas

Desa Kepahyang terletak di Kecamatan Luas dengan mata pencaharian masyaraktnya sebagai petani. Pada tahun 1935 dibawah kepemimpinan patih Karim desa Kepahyang pindah ke lokasi Perigi. Mulanya desa ini dinamankan desa Lembak yang memang letaknya di dekat sungai Luas dengan topografi yang miring dan rendah. Desa ini sering mengalami banjir pada saat musim hujan tiba. Pada tahun 1960 terjadi pemberontakan ada segerombolan orang yang masuk ke desa.Gerombolan ini menguasai desa Kepahyang, masyarakat desa mengumpulkan keberanian mereka bersatu untuk melawan gerombolan tersebut dan akhirnya dapat dikalahkan.
Pada tahun 1943-1969 adanya pergantian kepemimpinan desa dipimpin oleh Patih Nyantak.Tidak ada pembangunan pada masa kepemimpinan Patih Nyantak. Desa Kepahyang melakukan pemekaran dari desa Bangun Jiwa di bawah kepemimpinan Patih Luwih (1969 -1975 ). Pada tahun 1976 sampai tahun 1990 pemerintahan desa dipimpin oleh patih Buyung. Masih masa pemerinthan patih Buyung Pernah terjadi perkelahian antara dua keluarga yang menewaskan 2 orang dan korban luka-luka sebanyak 3 orang. Perkelahian ini disebabkan oleh masalah keluarga.
Pada tahun 1990-sampai sekarang pemerintahan desa Kepahiang dipimpin oleh patih Herman. Seringnya banjir melanda perkampungan atau desa lembak maka pada tahun 1997 lokasi Kepahyang dibuat transmigrasi SP4 yang namanya Serdang Indah masih dibawah kepemimpinan kepala desa Herman desa Kepahyang Memekarkan diri dari desa Periggi yang dimekarkan menjadi dua desa yaitu desa Kepahyang dan desa Pulau Panggung.
Pada tahun 1974 terjadi peristiwa banjir bandang yang memakan korban jiwa sebanyak 5 orang dan merusak hamparan sawah milik masyarakat desa..Banjir bandangpun terjadi lagi yang menhancurkan hamparan sawah dan memakan korban sebanyak 2 orang. Banjir ini menyebabkan bergesernya sungai Luas yang mulanya merupakan hamparan sawah menjadi sungai dan yang dulunya sungai Luas menjadi sawah. Sawah bisa dikelolah masyarakt membutuhkan waktu yang lama karena banyaknya batuan bukan tanah yang beberapa tahun kemudian baru bisa ditanami. Cerita Bapak Saiful tanah di dekat sungai Luas yang ditanamin padi bila digali maka pada lapisan berikutnya bukan tanah tetapi berupa batuan cadas.
Masyarakat desa Kepahyang ini banyak yang bertani dengan menanam jenis tanaman seperti lada, kopi, coklat. Desa Kepahyang mulanya terkenaal dengan hasil ladanya. Suatu waktu lada petani ini diserang hama penyakit yang mereka sebut dengan matu junjungan, untuk mencari solusi mereka bertanya kepada PPL yang solusinyanya adalan dengan membakar junjungan dan ladanya. Masyarakat tidak puas dengan jawaban petugas PPL tersebut mereka menyatakan kalau hanya dengan cara dibakar mereka bisa dan dampaknya akan merugi para petani. Akhirnya mereka tidak mengambil tindakan pemberantasan hanya dibiarkan saja hasilnya tanaman lada mati semua. Dinas pertanian memberi bantuan biit kepada para petani yaitu jenis tanman karet, coklat, kopi. Sampai sekarang jenis tanaman inilah yang banyak ditanam oleh petani di desa Kepahyang, Baru tahun-tahun ini ada beberapa masyarakat (petani) yang menanam tanaman sawit dengan luas 2 Ha.
Tehnik bertani para petani di desa ini terbilang masih tradisional, baik itu dilihat dari peralatan yang digunakan, penggarapan lahan, cara penanaman, pemeliharaan. Satu kelebihan para petani dari dulu mereka telah menerapkan cara tumpang sari yang mereke sebut dengan kebun campuran.

Sejarah Desa Muara Sahung

Penduduk Muara Sahung berasal dari suku Semende darat yang ada di Muara Due Sumatera Selatan, penduduk di Eks.marga Muara Sahung (dipimpin Pasirah) disebut dengan Semende Lembak. Tahun 1965-1968 berdirinya kecamatan Muara Sahung terdiri dari 7 marga yaitu :
1. Marga Muara Sahung
2. Marga Kinal.
3. Marga Luas
4. Marga Semidang Gumai
5. Marga Are.
6. Marga Sindang Danau
7. Marga Pulau Beringin.
Bulan Oktober 1968, Bengkulu menjadi propinsi ke-26. Kecamatan Muara Sahung menjadi Kecamatan Kaur Tengah terletak di wilayah Tanjung Iman. ( termasuk marga Kinal, Luas, Semidang Gumai).
Sebelum Belanda masuk, desa ini bernama Tanjung Teriti, pada saat pemerintahan Belanda masuk, maka oleh nenek puyang nama desa diganti Muara Sahung dengan kewidanaan Kaur (demang), keresidenan Bangkahulu.
Ketika Bengkulu menjadi propinsi,maka marga Sungai Are masuk Sumatera Selatan maka Muara Sahung menjadi desa dengan kecamatan Kaur Tengah.
Ketika Kaur menjadi kabupaten pada tahun 2003 maka terjadi pemekaran wilayah kecamatan, maka pada tahun 2005 Muara Sahung menjadi kecamatan dengan 7 desa yakni desa :
1 Muara Sahung
2 Ulak Lebar
3 Ulak Bandung
4 Bukit Makmur Transmigrasi 1995 / SP 3.
5 Tri Tunggal Bakti (1990,SP 1).
6 Sumber Makmur (1993,SP 2)
7 Cinta Makmur.

Sejarah Desa Ulak Lebar Kecamatan Muara Sahung

Desa ulak lebar pertama kali berada di dusun Enau Becangka dan diperkira sekitar tahun 1600, orang Semende disini berasal dari semende darat, yang bergerak dari semende darat pindah kedaerah Bayur (Muare Due Kisam) dusun Lawang Agung, mereka pecah melalui bukit Barisan mengarah ke Ulu Danau kec. Pulau Beringin, meraka bergerak lagi kedaerah Pecah Pingan, Guntung, dan menyusuri sungai Sahung dan Luas sehingga sampai di daerah Muara Sahung dengan dusun tuanya Enau Becangka, Teluk Bunian dan Kendawaian ( tahun tidak diketahui)
Enau Becangka dihuni oleh : Puyang Periksa Alam, Puyang Tabir Angin, Puyang Lebih, Puyang Langsaran yang lebih dikenal dengan Raden Abang, Puyang Senal, Puyang Murah, Puyang Selamat, mereka membuka desa Ulak Lebar diperkirakan tahun 1700-1800 terbukti sumber informasi pak Yunuar pernah melihat kart dusun Ulak Lebar yang bertanda tahun 1812 didesa Ulak Lebar ( hilang kira kira tahun 1991/ 1992).

Dusun ini berada di ulu sungai Sahung berdekatan dengan TNBBS, dusun ini mulai ditinggalkan tahun 1958-1960 ( jaman PRRI, gerombolan), yang terakhir meninggalkan dusun Enau Becangka adalah keluarga Ali Umar dan anaknya Ujang Effendi (kaur pemerintahan sekarang.). penyebab ditinggalkannya dusun ini karena berkembangnya wilayah Ulak Lebar karena letak geografisnya lebih mudah di jangkau oleh daerah sekitarnya, kearah selatan menuju Tanjung Iman, Bintuhan, kearah timur menuju Simpang Pecah Pingan dan Ujan Emas.

Sejarah kepemimpinan
1. Demang Amin ( demang ke-7)
2. Zaman Pasirah
1. Amir (1937-1945)
Desa Ulak Lebar masuk dalam Marga Muara Sahung
2. Datuk M. Alwi (1945-1960)
3. Amin Hoesin (1960)
Jabatannya hanya satu tahun karena PRI masuk desa Ulak Lebar, beliau melarikan diri
4. Ramsyah (1961-1964)
PRI masih menguasai desa ulak lebar dan pulau panggung
5. Muhalik (1965-1972)
Masa jabatan 2 periode
Pengawe bernama Sanubi
Tahun 1965-1968 berdirinya kecamatan Muara Sahung terdiri dari 7 marga yaitu :
1. Marga Muara Sahung,
2. Marga Kinal,
3. Marga Luas.
4. Marga Semidang Gumai,
5. Marga Are
6. Marga Sindang Danau,
7. Marga Pulau Beringin.
Oktober 1968, Bengkulu menjadi propinsi ke-26 negara Republik Indonesia
marga Muara Sahung menjadi bergabung ke kecamatan Kaur Tengah terletak di wilayah Tanjung Iman. ( termasuk marga Kinal, Luas, Semidang Gumai)
6. Daruki Amir (1973-1982)
Dusun Ulak Lebar dan Pulau Panggung dipimpin oleh oleh Depati yang pertama bernama Sauki dan yang kedua bernama Ujang Effendi
1980-1982 dusun Ulak lebar dan Pulau Panggung disatukan menjadi desa Ulak Lebar.
3. Zaman Kepala Desa
1. Zulkifli. C ( 1982- 1998)
Menjabat selama dua priode, selama menjabat beliau banyak melakukan pengembangan desa ini, terlihat dari adanya dusun Air Nunung, dusun Air Kelian, dusun Batu Gurah Ulu, Batu Gurah Ilir, dan dusun Jukupayung, penduduk yang membuka dusun tersebut kebanyakan datang dari luar daerah yaitu, Jawa Lampung, Padang Gici, dan orang Semende Darat.
2. Tasulis Sani ( 1999- 2003)
Hanya menjabat selama 5 tahun karena mencalonkan diri sebagai calon legislatif kab. Kaur. Pada kepemimpinanya, terbangunnya jembatan gantung ke arah dusun Juku Payung

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DESA MUARA MASIH MASIH BERPEGANG PADA KEARIFAN LOKAL

Desa Muara Dua merupakan komunitas adat Suku Semende yang masih arif dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) di wilayahnya। Kearifan dan pengetahuan lokal tersebut telihat ketika dalam pemilihan lokasi hutan yang akan dikelolanya, dan mereka sadar bahwa lahan yang sudah dibuka harus di hutankan kembali yaitu dengan menananam tanaman keras dan secara fungsi ekologisnya sama dengan tumbuhan hutan.

Dalam sistem pengelolaan sumber daya alam masyarakat ini telah menerapkan sistem pengelolaaan sumber daya alam yang berorentasi pada kepentingan lokal/adat yang tinggal di dalam dan atau disekitarnya yang menerapkan kelestarian dan daya dukung lingkungan, yaitu pola pengelolaaan sumber daya alam yang berasaskan pada prinsip-prinsip Sustainabillity.
Masyarakat suku semende juga mempunyai ciri mungkin sama dengan masyarakat Adat lainnya umumnya Sumatera, dalam pengelolaan SDA setiap pembukaan lahan meraka mengikuti pola dari kebun, menjadi Talun dan akhirnya sampai hutan lagi lalu mereka tinggalkan mereka akan membuka lahan baru lagi yang mereka anggap masih subur dalam wilayahnya tersebut, tapi suatu saat mereka akan kembali lagi ketempat yang tadinya mereka hutankan untuk membuka dan mengelolanya begitu seterusnya.
Berdasarkan pola-pola pemanfaatan SDA diatas masyarakat Desa Muara Dua suku adat semende ini membagi atas jenis hutan :

1. Hutan larangan (Hutan Lindung Adat)
Bagi penduduk desa muara dua suku semende lembak, hutan yang merupakan tempat mata air dilarang dibuka karena kepercayaan mereka bahwa daerah tersebut daerah ulu tulung buntu dimana di tempat itu tempat bermukim makhluk halus/gaib। Bila tempat tersebut dibuka maka makluk halus akan menyerang sipembuka beserta anggota keluarganya serta akan mendapat celaan dari masyarakat adat yang mengetahuinya.

Hutan cadangan (Kawasan keloala Rakkyat)
Hutan ini warisan nenek moyang yang mempunyai telah mempunyai hak milik dan diperuntukan bagi anak cucu mereka।

Hepangan (Repong)
Hepangan adalah luasan lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman buah seperti durian, duku, tembedak, manggis dan lain-lain। Pada hepangan ini berbagai jenis tumbuhan hutan seperti berbagai jenis kayu, rotan dan lain-lain sengaja dibiarkan tumbuh. Hepangan ini warisan dari leluhur yang dititipkan kepada tunggu tubang sebagai pengelola, sedangkan kepemilikannya milik semua ahli waris dari generasi kegenerasi. Semua ahli waris akan menjaga hepangan ini dari tindakan-tindakan yang akan merusaknya. Bila ada ancaman kerusakan yang disebabkan oleh manusia termasuk oleh salah satu ahli waris maka semua ahli waris akan bertindak mencegahnya bahkan bila mungkin mengusirnya.

Himbe (Hutan primer)
Himbe yaitu hutan yang belum pernah dibuka atau dikelola oeh manusia ।

Belukae (Hutan skunder)
Hutan ini menurut adat semende terdiri atas belukae mude, belukae tue
belukae mude yaitu areal/lahan yang baru mereka tinggalkan dimana pada lahan tersebut ditumbuhi oleh pohon-pohon semak/perdu. Lahan ini umumnya ditinggalkan berkisar 1- 10 tahun. Sedangkan belukae tue lahan yang ditinggalkan dalam kurun waktu yang cukup lama yaitu diatas 10 tahun, sehingga telah menjadi hutan bahkan sudah seperti hutan primer. Lahan-lahan ini secara adat ditetapkan milik sipembuka pertama. Bila terjadi pelanggaran maka pelanggar akan diadili secara adat yang diberi sanksi berupa pengusiran dari lokasi tersebut.
Sudah menjadi tradisi mereka bahwa orang pertama yang membuka hutan adalah pemilik yang berhak atas lahan hutan itu। Proses pembukaan hutan diawali dengan pamitan/izin survei lokasi kepada pimpinan adat dan kemudian melakukan ritual adat. Hutan yang akan dijadikan lahan garapan dipilih pada areal-areal yang relatif datar dengan kondisi lahan yang masih subur dengan melihat warna tanah, kotoran cacing dan jenis pohon yang tumbuh diatasnya. Jenis tanah yang mereka pilih berwarna hitam hingga coklat kekuningan, kotoran cacing yang banyak menunjukan bahwa tanah tersebut subur, sementara jenis pohon yang tumbuh diatasnya berupa kayu-kayu lempung sejenis Meranti.

Pembukaan lahan ini dilakukan dengan cara berkelompok yang masing-masing masih memiliki kekerabatan dekat (keterkaitan keluarga)। Sebelum melakukan pembukaan lahan terlebih dahulu mereka membagi lahan dengan cara memberi tanda batas lahan masing-masing pembagian yang mereka sebut rintis. Setelah membuat rintis mereka memulai menebangi pohon-pohon kecil (nebas).
Setelah selesai menebas untuk sementara mereka membiarkannya selama lebih kurang 3 bulan yang disebut gantung akae, maksudnya agar akar yang merambat diantara pepohonan yang mereka tebas dibiarkan lapuk terlebih dahulu. Setelah selesai proses gantung akae maka mereka melakukan penebangan terhadap pohon-pohon besar. Biasanya dalam proses penebangan mereka bergotong royong. Selesai menebang pohon-pohon besar ini, dilakukan pemotongan terhadap cabang-cabangnya yang mereka sebut meredah, lalu dilakukan proses pengeringan dengan membiarkan beberapa waktu agar pohon-pohon yang sudah ditebang menjadi kering dalam bahasa mereka ampae hebe. Ampae hebe berlangsung lebih kurang 2 sampai 3 bulan tergantung cuaca, untuk kemudian dilakukan pembakaran.
Proses pembakaran dilakukan dengan terkendali untuk mencegah kebakaran yang lebih luas, dalam kurun waktu ampae hebe mereka membuat sekat bakar yang disebut pengekasan। Pembuatan sekat bakar ini umumnya dilakukan pada sekeliling lahan dengan lebar sekat 4 depe (5 meter).

Pembakaran lokasi secara adat terlebih dahulu dilakukan ritual atau upacara jampi ayik, dimana air dengan ukuran 3 liter diberi mantera lalu dipercik-percikan pada sekeliling dengan maksud agar api tidak menyebar atau menjalar ketempat lain yang tidak diinginkan. Setelah upacara selesai maka dilakukan pembakaran lahan, pembakaran lahan ini biasanya dilakukan pagi hari atau sore hari dengan pertimbangan kelembaban udara tinggi dan hembusan angin tidak kencang. Penyulutan api dengan menggunakan musal bambu yang dimulai dari melawan arah angin, titik mata api diupayakan sebanyak mungkin maksudnya agar nyala api tidak terlalu besar.
Kegiatan selanjutnya adalah manduk। Manduk adalah membersihkan lahan dari sisa-sisa pohon yang tidak terbakar. Sisa-sisa pohon seperti cabang, ranting, pohon-pohon kayu yang ukurannya relatif kecil digunduk-gundukan lalu dibakar. Setelah beberapa hari dari proses pembersihan lahan ini dimana kodisi lahan sudah tidak hangat/panas akibat pembakaran maka kaum perempuan mulai menaburkan benih sayur-mayur seperti, cabe (Capsicum annum L) , Terong (Solanum spp.), tomat (Eugenia spp.) Timun (Cucumus sativus L), pepaya (Carica papaya) dll. Tindakan selanjutnya adalah penugalan dengan menggunakan kayu sejenis pancang yang diruncing ujungnya (tanam padi darat). Penugalan ini diawali dengan upacara Ritual Nembai Nugal. Upacara ini dimaksudkan agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik dan terbebas dari serangan hama dan penyakit. Dalam upacara ini disediakan sejenis sesajian berupa Serabi empat puluh, bubue sembilan, lemang tujuh batang, satu bumbung air, junjung dan benih-benih padi yang direndam dengan air selasih atau kemangi. Lalu baca mantera tolak bala. Selanjutnya penugalan dengan tujuh mata tugal yang diisi dengan benih padi. Setelah itu segala kegiatan dilahan tersebut diistirahatkan selama 7 hari. Kemudian kegiatan penugalan dilanjutkan hingga selesai. Dalam masa pemeliharaan tanaman padi ini biasanya digunakan untuk membuat gubuk peristirahatan.

Masa panen padi setelah padi berumur 6 bulan. Panen padi juga diawali dengan upacara ritual nembai ngetam. Sesajian ini berupa serabi 40, bubue 9, lemang 7 batang, air satu gelas. Lalu dibaca mantera dengan membakar menyan. Upacara ini diakhiri dengan menuai padi sebanyak 7 langgum (kepalan tangan).
Selesai panen padi kegiatan seterusnya munggas yaitu membersihkan batang-batang padi dari lahan. Lalu lahan tersebut ditanami dengan tanaman kebun seperti cengkeh (Eugenia aromatica), kopi (Coffea arabica), lada (Piper ninglum L.) sebagai tanaman pokok . Disamping itu juga mereka menanaman tanaman keras seperti Durian (Durio zebitinus), manggis (Garcinia mangostana), Duku (Lansium spp.), petai (Parkia speciosa), Rambutan (Nephylium lappaceum L.) dll. Tanaman buah-buahan ini mereka tanam karena mereka sadar bahwa tanaman kebun tersebut dalam waktu relatif singkat (7 – 10 tahun) tidak akan produktif lagi, dan tanaman buah-buahan akan mulai menghasilkan. Tanaman buah-buahan ini mereka sebut hepangan. Pada hepangan ini akan tumbuh berbagai jenis tumbuhan hutan seperti kayu, rotan dll. Hepangan ini akan diwariskan dari generasi kegenerasi.
Selain itu kearifan lokal yang masih ada PANGKU PALIARE" dimana setiap masyarakat pada tanggal 10 Muharam harus mengikuti Ritual ini dan setiap orang harus mengumpulkan 1 Ruas Lemang pada ketua adat, tujuan dari ini adalah untuk mendata seluruh masyarakat yang ada di desa ini. setelah lemang itu terkumpul kemudian dihitung bersama-sama.
Tunggu Tubang
Masyarakat adat suku semende lembak desa muara dua menganut adat tunggu tubang.
Dalam adat tunggu tubang tidak ada pembagian warisan. Harta warisan yang ditinggalkan secara langsung akan diturunkan dari generasi kegenerasi (harta warisan akan diwariskan pada tunggu tubang-tunggu tubang generasi selanjutnya yaitu anak perempuan tertua dari keturunan tunggu tubang) . Tunggu tubang adalah ahli waris yang mempunyai hak kelola terhadap semua harta warisan, sementara hak milik tetap pada semua ahli waris (anak-anak pewaris).
Dalam adat suku semende lembak desa muara dua, tunggu tubang adalah anak perempuan tertua, semenetara anak laki adalah jenang jurai (pemimpin keluarga). Jenang jurai ini didalam memimpin keluarga dibawah naungan dan kontrol meraje/ payung jurai (saudara laki-laki dari ibu). Persoalan-persolan keluarga dalam adat tunggu tubang ini diselesaikan melalui musyawarah angota keluarga.
Harta warisan ini secara adat tidak dapat diperjual belikan karena menurut kepercayaan mereka akan memutuskan amalan orang tua, dan akan mendapat hukuman/kutukan dari yang maha kuasa. Disamping itu harta warisan ini adalah simbol sejarah dan aset perekat atau pemersatu keluarga.

Hak dan Kewajiban Tunggu Tubang
Orang yang menjadi tunggu tubang mempunyai hak sebagai berikut :
1) Memakai dan mengambil manfaat yang tidak ada batasnya, yakni rumah dan sawah
2) Mempunyai hak untuk memperbaiki pusaka tunggu tubang
3) Mempunyai hak suara dalam rapat keluarga (Nunggalkah apik jurai).
Di samping yang tersebut di atas, tunggu tubang juga berkewajiban :
1) Memelihara sebaik-baiknya pusaka tunggu tubang
2) Memelihara nenek sampai ke atas yang ada dalam rumah tunggu tubang tersebut.
3) Memelihara saudara-saudara dari isteri, baik laki-laki atau perempuan asal saja belum kawin.

Dasar-Dasar Tunggu Tubang
Orang yang menjadi tunggu tubang harus mengamalkan dasar-dasar tunggu tubang. Dasar tunggu tubang itu adalah :
a. Memegang pusat “jale” (jala), yang artinya bila dikipaskan batu jale itu bertaburan dan apabila ditarik kembali bersatu. Dengan kata lain, menghimpun semua sanak famili, baik yang jauh maupun yang dekat
b. Memegang kapak, artinya segala pengurusan tidak boleh berbeda-beda antara kedua belah pihak, baik dari pihak suami ataupun dari pihak isteri. Yang keduanya itu harus adil, tidak boleh berat sebelah.
c. Harus bersifat tombak (balau), yang artinya kalau dipanggil atau diperintahkan harus segera melaksanakan, yang menurut kebiasaannya, perintah itu datang dari “Entue Meraje”.
d. Harus bersifat guci yang artinya orang yang menjadi tunggu tubang harus tabah dalam menghadapi segala macam persoalan yang menimpa diri mereka.
e. Memelihara kolam (tebat) yang artinya menggambar ketenangan dan ketentraman dalam rumah tangga, tidak membocorkan rahasia rumah tangga. Walaupun ada problem dalam rumah tangga, harus dijaga jangan sampai bocoro diketahui oleh semua ahli tunggu tubang, terutama kepada “Entue Meraje”. Kesemuanya ini harus dijaga dengan sebaik-baiknya.


MARI KITA BERTANI YANG RAMAH LINGKUNAGAN DI KABUPATEN KAUR

Pertanian organik itu hanyalah bahasa sekarang kalau saya menyebutnya sama dengan pertanian tradisional atau pertanian cara nenek moyang kita dulu, dimana semuanya dari alam. Nenek moyang kita tidak pernah ketergantungan seperti kita sekarang, seperti kalau tidak beli pupuk atau racun kita tidak bisa berhasil….??
Tapi mereka memanfaatkan semuanya dari alam contoh, kalau disawah banyak lintahnya…tau lintah?? Mereka menggunakan manis madu, atau air tebu, dan yang lain-lain.

Terkadang kita acuh karena kemajuan, dan kita menyerap langsung yang kita tidak tau atau belum tahu, salah satu contoh katakanlah Bahasa, baru 1 jam kita berada di bintuhan dan ketika kita pulang kita sudah mengunakan bahsa bintuhan begitu juga dengan pola bertani kita tidak tahu dengan penggunaan pupuk kimia atau pestisida kita sudah ikut-ikutan mengunakanya, apa yang terjadi bukan hasil yang baik yang di hasilkan malah sebaliknya. Sebenarnya pertanian itu terbagi atas tiga, pertama pertanian Organik atau tradisional, yang kedua pertanian semi organik dimana kita mengunakan bahan kimia sedikit dan yang ketiaga pertanaian modern dimana semua mengunakan alat modern.nah inilah yang merusak kita kita ikut-ikutan padahal kita belum mengerti.
Dalam pertanian ada tiga faktor yang saling mempengaruhi , pertama Tanaman, kedua tanah dan yang ketiga lingkungan, apabila salah satu ini terganggu maka yang lainya ikut terganggu, katakanlah tanah dimana kita menggunakan pestisida yang berlebihan, ini akan membunuh semua mahluk hidup seperti cacing atau mikroba-mikroba yang ada di tanah, apa yang terjadi?? Tanah menjadi keras atau tidak menjadi subur lagi karena tidak ada lagi aktifitas yang terjadi ditanah, juga akan berpengaruh besar bagi tanaman, tanaman tidak bisa tumbuh dengan baik karena tanah tidak subur lagi, apa yang terjadi dengan lingkungan?? Lingkungan menjadi ikut gersang kareana tidak ada tumbuhan disekitar.dalam hal ini ketiga faktor tersebut sangatlah mempengaruhi apabila terputus atau hilang maka akan terbentuk suatu ekosistem yang tidak seimbang.

Sebenarnya hal-hal ini sudah terjadi ditengah-tengah kita kita contohkan sawah.....
Ketika ketika mengunakan Pupuk kimia kita melihat setiap tahun kenapa kalau tidak diadakan pemupukan hasil produktiviatas kita menurun??karena pupuk kimia tersebut menurunkan kesuburan tanah, baik itu fisik, kimia dan biologi. Katakanlah kita mengunakan pupuk Urea, tau tidak dari mana asal urea tersebut??dari tambang.....
Unsur yang terkandung didalam pupuk tersebut ada unsur fosfor atau fospat yang diambil oleh atau di makan oleh tanaman tersebut hanya sedikit sekali, apa sisanya, atau yang tau?? Batuan fospat itulah sebabnya tanah menjadi keras kalau tiap tahun kita timbun dengan pupuk itu tanah akan menjadi tamabah tandus...

kalau kita mengunakan Pupuk atau pestisida secara berlebihan akan membunuh mahluk-mahluk mikroba, mikroba artinaya mahluk hidup kecil yang ada ditanah, sehingga proses pembusukan atau pengurai di tanah tidak terjadi lagi sebabnya tanah menjadi keras dan berdampak pada tanaman karean unsur-unsur yang dapat dimanfaatkan tanaman tidak terjadi.tanaman menjadi tidak sehat.


O...ya saya belum menjaskan apa dampak Negatif dari pada penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida.Dampak dari penggunaan bahan kimia ini menurunya keragaman hayati,seperti varietas unggul, menurunya kesuburan tanah baik itu fisk, kimia dan biologi seperti yang dijelaskan tadi, dan terjadi pencemaran lingkunagan.
Pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida terjadi pencemaran air permukaan, terbunuhnya serangga bukan hama, terbunuhnya musuh alam, teracunya pruduk pertanian, dan akibat penggunaan pupuk buatan meningkatnya Gas rumah kaca, tercemarnya air minum oleh nitrat, apa itu gas rumah kaca bukan rumah yang ada kacanya tetapi orang sebut pemansan global atau meningkatnya suhu bumi.

Sekarang timbul pertanyaan apakah kita berhenti bertani, kok semuanya berbahaya??
Jawabanya kita terus bertani tetapi bertani dengan konsep baru atau disebut sustainable agriculture nama lain pertanian lestari, pertanian berwawasan lingkungan, pertanian organik, konsep secara ekonomi menguntungkan, secara ekologi tidak merusak, secara sosial adil. Dalam prakteknya meniru sistem hutan tertutup dengan mengembalikan kesuburan tanah baik itu fisik, kimia dan biologi, seperti pengolahan tanah minimal,mengunakan pestisida alami, penggunaan pupuk alami. Jika dalam hal ini kita belum bisa lakukan sepenuhnya kita masih bisa mengunakan bahan-bahan kimia tetapi terkendali, misalnya katakanlah pembasmi rumput atau gulma kita lihat jika masih bisa dipakai cara lain dirumputi ya...kita rumputi jika memang tidak baru mengunakan herbisida kimia, terkadang itu kita mau praktis yang penting cepat selesai kita padahal kita masih bisa dengan cara merumput kita langsung basmi dengan herbisida. Untuk mengurangi dampak dari pada pengunaan bahan kimia dapat kita lakukan denagan cara misalkan kebun kita, kita bagi dua tahun pertama sebelahnya disemprot dan sebelahnya kita gunakan alat tradisional seprti merumput dan tahun berikutnya bergantian begitu seterusnya. Untuk penjelasnan-penjelasn konsep-konsep pertanian organik dapat dibaca yang dibagikan oleh tema-teman. Tapi saya coba baca prinsip-prinsip pertanian organik.


PRINSIP-PRINSIP PERTANIAN ORGANIK
Untuk Kesehatan
Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan.
Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem; tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat mendukung kesehatan hewan dan manusia. Kesehatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari system kehidupan. Hal ini tidak saja sekedar bebas dari penyakit, tetapi juga dengan memelihara kesejahteraan fisik, mental, social dan ekologi. Ketahanan tubuh, keceriaan dan pembaharuan diri merupakan hal mendasar untuk menuju sehat. Peran pertanian organik baik dalam produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan kesehatan ekosistem dan organisme, dari yang terkecil yang berada di dalam tanah hingga manusia. Secara khusus, pertanian organik dimaksudkan untuk menghasilkan makanan bermutu tinggi dan bergizi yang mendukung pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan. Mengingat hal tersebut, maka harus dihindari penggunaan pupuk, pestisida, obat-obatan bagi hewan dan bahan aditif makanan yang dapat berefek merugikan kesehatan

Prinsip Prinsip EKOLOGI
Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan.

Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam system ekologi kehidupan. Prinsip ini menyatakan bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Makanan dan kesejahteraan diperoleh melalui ekologi suatu lingkungan produksi yang khusus; sebagai contoh, tanaman membutuhkan tanah yang subur, hewan membutuhkan ekosistem peternakan, ikan dan organisme laut membutuhkan lingkungan perairan. Budidaya pertanian, peternakan dan pemanenan produk liar organik haruslah sesuai dengan siklus dan keseimbangan ekologi di alam. Siklus-siklus ini bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal. Pengelolaan organic harus disesuaikan dengan kondisi, ekologi, budaya dan skala lokal. Bahan-bahan asupan sebaiknya dikurangi dengan cara dipakai kembali, didaur ulang dan dengan pengelolaan bahan-bahan dan energi secara efisien guna memelihara, meningkatkan kualitas dan melindungi sumber daya alam. Pertanian organik dapat mencapai keseimbangan ekologis melalui pola sistem pertanian, membangun habitat, pemeliharaan keragaman genetika dan pertanian. Mereka yang menghasilkan, memproses, memasarkan atau mengkonsumsi produk-produk organik harus melindungi dan memberikan keuntungan bagi lingkungan secara umum, termasuk di dalamnya tanah, iklim, habitat, keragaman hayati, udara dan air

Prinsip KEADILAN
Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
Keadilan dicirikan dengan kesetaraan, saling menghormati, berkeadilan dan pengelolaan dunia secara bersama, baik antar manusia dan dalam hubungannya dengan makhluk hidup yang lain. Prinsip ini menekankan bahwa mereka yang terlibat dalam pertanian organik harus membangun hubungan yang manusiawi untuk memastikan adanya keadilan bagisemua pihak di segala tingkatan; seperti petani, pekerja, pemroses, penyalur, pedagang dan konsumen. Pertanian organik harus memberikan kualitas hidup yang baik bagi setiap orang yang terlibat, menyumbang bagi kedaulatan pangan dan pengurangan kemiskinan. Pertanian organic bertujuan untuk menghasilkan kecukupan dan ketersediaan pangan maupun produk lainnya dengan kualitas yang baik. Prinsip keadilan juga menekankan bahwa ternak harus dipelihara dalam kondisi dan habitat yang sesuai dengan sifat-sifat fisik, alamiah dan terjamin kesejahteraannya. Sumber daya alam dan lingkungan yang digunakan untuk produksi dan konsumsi harus dikelola dengan cara yang adil secara sosial dan ekologis, dan dipelihara untuk generasi mendatang. Keadilan memerlukan sistem produksi, distribusi dan perdagangan yang terbuka, adil, dan mempertimbangkan biaya sosial dan lingkungan yang sebenarnya.


Prinsip PERLINDUNGAN
Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup.

Pertanian organik merupakan suatu sistem yang hidup dan dinamis yang menjawab tuntutan dan kondisi yang bersifat internal maupun eksternal. Para pelaku pertanian organic didorong meningkatkan efisiensi dan produktifitas, tetapi tidak boleh membahayakan kesehatan dan kesejahteraannya. Karenanya, teknologi baru dan metode-metode yang sudah ada perlu dikaji dan ditinjau ulang. Maka, harus ada penanganan atas pemahaman ekosistem dan pertanian yang tidak utuh. Prinsip ini menyatakan bahwa pencegahan dan tanggung jawab merupakan hal mendasar dalam pengelolaan, pengembangan dan pemilihan teknologi di pertanian organik. Ilmu pengetahuan diperlukan untuk menjamin bahwa pertanian organik bersifat menyehatkan, aman dan ramah lingkungan. Tetapi pengetahuan ilmiah saja tidaklah cukup. Seiring waktu, pengalaman praktis yang dipadukan dengan kebijakan dan kearifan tradisional menjadi solusi tepat. Pertanian organik harus mampu mencegah terjadinya resiko merugikan dengan menerapkan teknologi tepat guna dan menolak teknologi yang tak dapat diramalkan akibatnya, seperti rekayasa genetika (genetic engineering). Segala keputusan harus mempertimbangkan nilai-nilai dan kebutuhan dari semua aspek yang mungkin dapat terkena dampaknya, melalui proses-proses yang transparan dan partisipatif

Berbagai sumber