Tab-menu

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Semende dalam sejarah

Menyebut dan membicarakan Semende, maka akan terjadi rangkaian kata dan makna dengan sebutan:

1. Jeme Semende
2. Tanah Semende
3. Bahasa Semende
4. Adat Semende

I. ORANG SEMENDE/JEME SEMENDE

Orang Semende atau Jeme Semende merupakan komunitas tersendiri di Provinsi Sumatera Selatan yang tinggal dan berdiam di Kecamatan Semende, Kabupaten Muara Enim. Semende termasuk bagian dari kelompok Pasemah, termasuk Lematang, Lintang dan Lembak. Secara geografis Semende di bagi menjadi 2 kelompok, yaitu: 1)
1. Semende Darat di Kabupaten Muara Enim
2. Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komring Ulu

Perjalanan hidup orang Semende menganut agama Islam pada awalnya dimulai dari adanya seorang Ulama (Wali) di Semende (Tumutan Tujuh): Tuan Guru SUTABARIS, dengan gelar MURTHABARAQ yang setingkat atau semasa dengan para wali Sembilan: Sunan Ampel, di Pulau Jawa2) sekitar abad 15 Masehi. Perjalanan hidup tersebut dapat diceritakan sebagai berikut.

1. Sunan Kali Jaga diantaranya adalah murid Sutabaris dan sebelum menjadi Wali Allah gurunya ada 3 (tiga) orang sebagai berikut :
1. Sunan Bonang selama 8 (delapan) tahun
2. Sunan Ampel selama 3 (tiga) tahun
3. Sutabaris di Tumutan Tujuh Semende selama 3 (tiga) tahun

2. Di Tumutan Tujuh Semende pernah diadakan rapat dan pertemuan-pertemuan penting para Wali untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di Bumi Nusantara (Indonesia) pada saat itu, diantaranya musyawarah dalam menentukan Raja Islam pertama di Demak, Raden Fatah.

Para Wali yang rapat bermusyawarah di Tumutan Tujuh Semende tersebut adalah 4 (empat) orang wakil dari Wali Sembilan di Jawa dan seorang dari Sumatera, yaitu:
1. Sunan Gunung Jati (Cirebon Jawa Barat)
2. Sunan Kali Jaga (Jawa Tengah)
3. Sunan Muria (Jawa Tengah)
4. Sunan Bonang (Jawa Timur)
5. Sutabaris (Sumatera/Semende)


1).Sumber Browsing Internet
2). Sumber dari KH. Kgs Abdurrahman Guru Tarikat Sammaniyah
Dari sumber lain setelah itu menyatakan banyak orang-orang dan para ulama datang untuk belajar, membawa ilmu pengetahuan dan menetap di Semende, yaitu:
1. Puyang Tuan Raje Ulie tinggal di Prapau
2. Puyang Baharuddin di Muara Danau
3. Puyang Leby (Pengulu Abd. Kohar) di Pulau Panggung
4. Puyang Nakanadin di Muara Tenang
5. Puyang Mas Pangeran Bonang di Muara Tenang
6. Puyang Skin Mande (Sang Diwe) di Muara Tenang
7. Puyang Raden Singe (asal Majapahit) di Muara Tenang
8. Puyang Rabbushshamad di Tanjung Raya
9. Puyang Regan Bumi di Tanjung Raya
10. Puyang Same Wali di Tanjung Tiga
11. Puyang Tuan Kecik (Rebiah Sakti) di Tanjung Laut
12. Puyang Raden Walet di Aremantai
13. Puyang Rene di Pulau Panggung dari Jepara (Tahun 1800 M)

Adanya Sutabaris di Semende (Tumutan Tujuh) dan terjadinya rapat/musyawarah di Semende yang dihadiri 4 (empat) Wali diantara 9 (sembilan) Wali dari Jawa serta berdatangannya orang-orang dan para ulama/wali (puyang, sebutan jeme Semende) membuktikan bahwa ajaran islam (Tauhid dan Syariat), adat istiadat ( kebudayaan Islam) sudah sejak lama dikenal oleh Jeme Semende. Mengapa orang semendo (Jeme Semende) tidak ingin mencari tahu, menyelidiki/mempelajari tentang sejarah semende? Namun demikian, ketaatan jeme semende beragama Islam dan menjalankan syariatnya telah dimulai sejak masih anak-anak, muda dan tua telah membuktikan adanya pengaruh ajaran islam yang mendalam kepada jeme semende. Dengan demikian, ajaran islam tertanam dan terpatri pada rohani dan jasmaninya. Jeme Semende dalam pergaulannya memakai adat tunggu tubang yang berpedoman pada Al Quran dan Al Hadist, diantaranya: mencintai, menghargai dan membela perempuan (Tunggu Tubang) yang dipimpin oleh Meraje. Hal tersebut sesuai dengan salah satu perintah ajaran Islam, tafsir H. Oemar Bakri: QS. Almujadalah, ayat 1-4. Inilah salah satu cara islam meningkatkan derajat wanita. Wanita tidak boleh dibiarkan nasibnya terlunta-lunta.3)

Pesatnya perkembangan agama islam di Semende dapat dibuktikan dengan adanya Para ulama atau kiai yang “naun” di Makkah yang pulang ke Semende, yaitu:
1. K.H. Mukhtar (ahli Nahu dan Fiqih) di Pulau Panggung
2. K.H. Abd Majid (alim membaca Al Quran) di Pulau Panggung
3. K.H. Abd Karim (hafidz Al Quran) di Muara Tenang
4. K.H. Abd Jabbar (ahli Nahu Syorof) di Remantai
5. K.H. Hasan Yusuf (ahli Nahu syorof) di Tanjung Raye
6. K.H. Zaini (ahli Qira’at Al Quran) di Tanjung Agung
7. K.H. Burhan (ahli Nahu Syorof) di Pajar Bulan
8. K.H. Marsid (ahli nahu Syorof) di Muara Tenang
9. Dan adalagi H.M. Yasin cucu K.H. Majid keluaran Mesir (penulis Qur’an Pusaka Indonesia di Jakarta zaman Presiden R.I pertama: Ir. Soekarno).


3)Tafsir Rahmat H.Umar Bakri cetakan ke 3 Jakarta 15 maret 1984
Dalam hal pemerintahan, dapat diketahui bahwa Pangeran Rene adalah Kepala Marga pertama pada zaman Belanda (sekitar tahun 1800 M) di Pulau panggung Semende. Pangeran Rene ini berasal dari Jepara Demak Jawa Tengah dan memiliki 3 saudara, dua orang saudaranya (kakaknya: Puyang Jadi dan adiknya: Puyang Setia) tinggal di daerah Marga Bengkulak Kecamatan Tanjung Lubuk OKI. 4)

Setelah Pangeran Rene meninggal, maka digantikan oleh anaknya Pangeran Anom Kupang (tahun 1850 M). Pada masa pemerintahan Pangeran Anom Kupang inilah Belanda bermaksud untuk menduduki daerah Semende, akan tetapi Belanda tidak dapat masuk, karena rakyat Semende sangat melawan dan dengan landasan agama Islam yang kuat, mereka tidak mau wilayahnya diganggu oleh siapapun juga, apalagi dijajah oleh Belanda. Atas kelicikan Belanda, maka pada 14 Agustus 1869 dibuat perjanjian antara Pemerintah Belanda dengan Pangeran Anom Kupang berupa piagam yang ditulis di atas Tembaga yang berisikan 24 pasal dan disimpan di Museum Rumah Bari Palembang, antara lain dinyatakan:5)

1. Daerah Semende yang dipimpin Pangeran Anom Kupang tidak takluk kepada Pemerintah Belanda.
2. Daerah Semende diakui Belanda sebagai Daerah Istimewa (SINDANG MERDEKA).
3. Tidak diwajibkan membayar upeti (pajak) kepada Belanda.
4. Tentara Belanda tidak boleh masuk daerah Sindang Merdeka sebelum mendapat izin Pemerintah Sindang Merdeka.
5. Orang luar Sindang Merdeka tidak berhak mengadili rakyat Sindang Merdeka dan mereka harus dikembalikan ke tempat asal (Sindang Merdeka), dan ia berhak mengadili orang luar bila berbuat kesalahan di dalam daerah Sindang Merdeka.

Perjuangan melawan penjajah Belanda telah dibuktikan oleh Puyang Rentul Panji Alam, Puyang Kepiri, Puyang Rabul, yang mempertahankan Benteng Aur Duri (Aik Enim Dik Beghikan). Kemudian Puyang Sangin, dengan julukan: Karang Jelatang dari Muara Tenang, berjuang melawan Belanda di Kecamatan Tanjung Agung Enim, yang juga beristrikan orang Pulau Panggung Enim, di antara anak cucunya adalah H.M. Thoyib dan dr. Mustofa.

Dalam mempertahankan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, pejuang-pejuang Semende yang terkenal antara lain :

1. Kapten Idham dari Pulau Panggung
2. Kapten H. M. Ichsan dari Tanjung Laut
3. Letnan Muis dari Pulau Panggung
4. Kol. TNI. (Purn) H. A. Zaidin dari Muara Tenang
5. Letkol. TNI (Purn) H. M. Badri dari Pulau Panggung
6. Gori dari Pulau Panggung
7. Rudi dari Pulau Panggung


4) Sumber data H.Kohapa Mantan KUA Pulau Panggung
5) Ibid H.Kohapa
8. Yazid Kenaru dari Pajar Bulan
9. H.M. Djamili dari Muara Tenang, yang dijuluki Gajah Miri dan ditakuti Belanda
10. Mayor Mingsur Panji Alam dari Bayur Kisam cucu Rentul P. Alam dari Ma. Tenang
11. Kuris dari Tanjung Raya
12. Letnan Aziz Kontar dari Pulau Panggung
13. Sersan Bachtiar dari Pulau Panggung
14. Sersan Matseroh dari Muara Tenang
15. Laskar Ibnu Hasyim dari Pulau Panggung
16. Tentara Pelajar Drs. H. Barmawi HMS dari Muara Tenang
17. Tentara Pelajar Drs. H. Fuad Bahyien dari Pulau Panggung

Tidak dapat dilupakan juga pejuang wanita Semende seperti :
1. Hj. Kawimah Zaidin dari Tanjung Raya.
2. Hj. Badiyah Dahnan dari Tanjung Raya


II. TANAH SEMENDE

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, tanah Semende secara geografis terdiri dari 2 (dua) kelompok: Semende Darat di Kabupaten Muara Enim dan Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Namun demikian, dimanakah tanah Semende bermula? Tanah Semende berada di dataran tinggi sepanjang deretan Bukit Barisan Pulau Sumatera. Ada 7 (tujuh) dataran tinggi sepanjang Bukit Barisan, yaitu: 6)
1. Dataran Tinggi Gayo Luas di Provinsi Aceh
2. Dataran Tinggi Karo di Provinsi Sumatera Utara
3. Dataran Tinggi Agam di Sumatera Barat
4. Dataran Tinggi Kerinci di Provinsi Jambi
5. Dataran Tinggi Rejang Lebong di Provinsi Bengkulu
6. Dataran Tinggi Tanah Besemah di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan
7. Dataran Tinggi Tanah Semende (Tumutan Tujuh) di Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.

Sebagaian orang di dunia mengetahui dan secara diam-diam mengakui bahwa bilangan ke tujuh merupakan angka yang mengandung kekeramatan dan keunggulan non fisik. Dari 7 (tujuh) dataran tinggi di sepanjang Bukit Barisan di Pulau Sumatera tersebut dataran tinggi yang ke 7 (tujuh) terdapat di Semende. Dan di dataran tinggi itulah Bukit Barisan Hutan Belantara Tumutan Tujuh tempatnya Tuan Guru Sutabaris bermukim.

- Di Barat dikenal ”The Magaifecent Seven” (Tujuh Ksatria Super)
- Di Timur )Jepang) dikenal ”The Seven Samurai” (Tujuh Satria Samurai)
- Di Indonesia dikenal ”Tujuh Dataran Tinggi” dan ”Bukit Tumutan Tujuh” (The Hill of Seven Watter Resources) yang terdapat di Semende Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan.



6)Drs. H. Fuad Bahyen Pensiunan Pertamina Pusat Jakarta
Dengan adanya perkembangan jaman dan peningkatan jumlah penduduk (Jeme Semende), pemukiman jeme semende telah menyebar kewilayah nusantara dalam bentuk komunitas-komunitas yang diantaranya menetap dengan perkembangan sebagai berikut :

1. Semende Darat (asal mula) di Kabupaten Muara Enim
2. Semende Lembak di Kabupaten Ogan Komring Ulu
3. Pulau Beringin Bayur
4. Ogan
5. Komering Ulu
6. Balik Bukit Barisan
7. Bengkulu Selatan Muara Sindang
8. Ulu Nasal
9. Marga Kinal
10. Padang Guci
11. Kedurang
12. Segimin
13. Semende Pesisir
14. Semende Abung
15. Marga Kasui (Rebang)
16. Kecamatan Bukit Kemuning
17. Sumber Jaya, Way Tenung
18. Marga Sekampung Talang Padang
19. Air Sepanas
20. Metro Tanjung Karang
21. Kaliandak dan Ketapang (Gunung Palas)
22. Meliputi Sebagian Pegunungan di Sumatera Selatan

Sebagian pendapat menyatakan bahwa terjadinya pengembangan tempat (wilayah) tersebut adalah atas inisiatif Puyang Awak (Nurqadin) dan kawan-kawan pada saat mencari tanah untuk anak cucunya Jeme Semende.7) Pendapat lain ada yang menyebutkan bahwa Puyang Awak (Nurqadin) adalah anak angkat Puyang Baharudin dari Muara Danau Semende, dan ia menugaskan Puyang Awak mencari tanah untuk anak cucu Jeme Semende.

Puyang Awak (Nurqadin) mencari tanah.8)
1. Puyang Awak dengan ditemani Puyang Hasanuddin dari Banten Jawa Barat (murid Syech Abdul Muhyi dari murid syech Abdul Rauf AL Sinkili Aceh) dan kawan-kawan berjalan kearah Bukit Barisan (Tulang Idang), Pematang Lembah Kapur. Setelah tiba di Bukit Barisan, Puyang Awak menoleh ke kanan dan ke kiri dan menyatakan bahwa sepemandangan mataku Bukit Barisan itu kelak tempat anak cucuku (Jeme Semende) pindah.




7) H.Tjikdeham mantan kepala SD Semende
8) Ibit
2. Mereka berjalan lagi menelusuri lereng Bukit Barisan, melewati Bukit Patah, Bukit Besar (sumber air panas) Ulu Indikat Bukit Kekulang, Bukit Pematang Kayu Are, naik Bukit Bepagut, turun ke Bukit Ringgit, terus ke Bukit Balai, Ulu Danau, Bukit Perigi, naik ke Gunung Seminung, Gunung Tanggamus, Gunung Raja Basa sampai kepinggir Laut Selat Sunda, di Ketapang menyeberang ke Banten. Pada tiap-tiap puncak Gunung dan Bukit Barisan, Puyang Awak menyatakan bahwa sepemandangan mataku kekanan dan kekiri adalah tempat anak cucuku pindah dikemudian hari.
3. Daerah-daerah tempat yang di lewati Puyang Awak berserta Puyang Hasanuddin dan kawan-kawan tersebut adalah bagian Hulu Sungai seperti Sungai Indikat, Enim, Ogan, Komering, Way Besai, Way Sekampung, Way Seputuih, Way Tulang Bawang, dan Sebelah kiri Ulu Sungai Manak Kedurang, Padang Guci, Kinal, Muara Saung, Nasal dan lain-lain.

Dengan demikian, tanah sepanjang mata Puyang Awak memandang ke kanan dan ke kiri mulai dari daerah Besemah sampai ke Kaliandak Ketapang (Lampung) dan tepi Laut penyeberangan Banten, adalah tempat anak cucu Puyang awak (Jeme Semende) pindah di kemudian hari. Kenyataannya memang demikian dan terbukti Jeme Semende sudah banyak yang pindah ke sana termasuk Jawa (NUSANTARA) bahkan ada yang menetap keluar negeri: MAKKAH, Saudi Arabia.
1. Puyang Hasanuddin dari Banten menyatakan pula kepada Puyang Awak (Nurqadin) bahwa di seberang sana (Jawa Barat) bagian barat ada Gunung Payung, disanalah tempat kelahiranku (tanah pusaka). Jeme Semende banyak yang mengaji/belajar Al-Quran dan memperdalam agama Islam di Banten, anak cucu Puyang Awak dapat pindah ke Banten (Gunung Payung) kata Puyang Hasanuddin.
2. Di Ketapang (Kaliandak, Gunung Palas) Puyang Awak menanamkan/menancapkan tongkatnya dari bambu betung, sebagai tanda dan dititipkan kepada Puyang Raden Embe untuk menjaganya.

Kedatangan para ulama/wali dan ada yang menetap di Semende Darat. 9)

Bertepatan dengan terjadinya perang di Kerajaan Mataram pada abad ke-17, para puyang (ulama/wali) berdatangan ke Semende dengan masing-masing membawa berbagai ilmu pengetahuan, seperti :
1. Puyang Mas Pangeran Bonang (dari kerajaan Mataram, Jawa Tengah), menyebarkan/mengajarkan agama Islam (Al-Quran dan Ilmu Tauhid).
2. Puyang Regan, Nakanadin (dari kerajaan Mataram, Jawa Tengah), mengajarkan agama Islam dan Hukum Adat
3. Puyang Ahmad dari Sumatera Barat, mengajarkan Agama Islam dan Hukum adat
4. Puyang Sangmurti dari Rindu Ati Penanjung Bengkulu Utara penyebar Hukum Adat dan Dukun Padi



9. Ibid H.Tjikdeham
5. Puyang Pemeriksa Alam dari Desa Lubuk Buntak Mulak, menyebarkan Hukum Adat, betungguan dan membela kebenaran
6. Puyang Agung Nyawe/Abdul Malik bin Abdullah (1678-1736) dari Trenggano, Semenanjung Malaka (Malaysia) adalah murid syech Abdul Muhyi dari murid syech Abdul Rauf Al Sinkili Aceh, mengajarkan bahasa Melayu Sangsekerta dan agama Islam
7. Puyang Kecabang dari Pasemah, mengajarkan Hukum Adat
8. Puyang Hasanuddin asal Banten Jawa barat murid syech Abdul Muhyi dari murid syeh Abdul Rauf Al Sinkili Aceh, penyebar/mengajarkan agama Islam
9. Puyang Samewali, menyebarkan Hukum Adat.

III. BAHASA SEMENDE

Bahasa sehari-hari Jeme Semende adalah bahasa Semende dengan kata-katanya berakhiran “E”, dilihat dari logat dan sebutan kata, bahasa semende ini termasuk dalam kelompok bahasa Melayu, sedangkan bahasa tulis menulisnya dikenal dengan Surat Ulu dan tempat menulisnya dibuat dari kulit kayu yang disebut dengan KAGHAS.

IV. ADAT ISTIADAT SEMENDE

Adat istiadat dan kebudayaan Semende sangat dipengaruhi oleh ajaran islam. Adat istiadat Semende yang sampai dengan saat ini masih sangat kuat dipegang oleh jeme Semende adalah adat istiadat TUNGGU TUBANG. Adat ini mengatur hak warisan dalam keluarga bahwa anak perempuan tertua sebagai ahli waris yang utama. Warisan tersebut seperti Rumah, sawah, kolam (tebat), kebun (ghepangan), dsb., yang diwariskan secara turun temurun. Warisan tersebut adalah harta pusaka tinggi, tidak boleh di bagi, tetap untuk tunggu tubang, kecuali kalau tuggu tubang menyerah, tidak mau lagi menjadi tunggu tubing. 10)

Untuk lebih jelasnya, adat istiadat semende di bagi menjadi:

1. Asal dan Terjadinya Adat Semende
2. Pengertian Semende
3. Lambang Adat Semende/Tunggu Tubang

1.Asal dan Terjadinya Adat Semende
Pada umumnya Jeme Semende mengakui dan menyatakan bahwa Adat Semende bertitik tolak dan berpedoman pada ajaran islam (kebudayaan islam) dan terjadinya adat semende ini adalah hasil rapat/musyawarah para puyang (ulama/wali) Semende yang bertempat di Pardipe Pagaruyung Marga Lubuk Buntak Pasemah pada Abad ke-17 dan sebagai koordinatornya: Puyang Awak (Nurqadim).


10) KH. Abd Jabbar Ulama Semende

Catatan :
1. Puyang Awak (Nurgadin) pada tahun 1650 M adalah anak angkat Puyang Baharuddin di Muara Danau dan dia tidak menyusuk/tinggal di tanah Semende.
2. Isteri Puyang Awak adalah adik perempuan (kelawai) Puyang Leby (Abdul Qohar) tidak ada keturunan.
3. Puyang Awak belajar mengaji (memperdalam) agama islam ke Aceh, gurunya Tuan Syekh Abdul Rauf Al Sinkili (1615–1693) yang pulang dari Mekkah pada tahun 1661 M. 11)
4. Suami adik perempuan (kelawai) Puyang Awak adalah Puyang Tuan Raje Ulie di Prapau Semende.
5. Tuan Syekh Abdul Rauf Al Sinkili adalah Wali Allah guru tarekat Satariyah, di antara muridnya adalah sbb :
- Syekh Burhanuddin Ulakan dari Sumatera Barat (1646 M)
- Syekh Abdul Muhyi dari Jawa Barat
- Syekh Nurqadin (Puyang Awak) dari Semende (1650 M)

Murid yang mendapat ijazah untuk mengajarkan/meneruskan tarekat Satariyah dari Syekh Abdul Rauf al Sinkili adalah Syekh Burhanudin Ulakan dari Sumatera Barat, dan Syekh Abdul Muhyi dari Jawa Barat, yang mempunyai murid dan mendapat ijazah meneruskan tarekat Satariyah bernama H.M. Hasanuddin dari Banten. 12)
Puyang Hasanuddin inilah diantaranya yang diajak Puyang Awak (Nurqadin) mencari tanah untuk anak cucu keturunan Semende sebagaimana yang telah diutarakan terdahulu.

Adat Semende disesuaikan dengan ajaran islam (ilmu tauhid dan syariat islam) untuk keselamatan dunia akhirat. Jadi Adat Semende itu termasuk kebudayaan Islam. Di dalam Alquran berbunyi “ittaqullah” artinya bertaqwalah kepada Allah dengan mengerjakan yang diperintah dan meninggalkan yang dilarang. Dalam Adat Semende terdapat perintah/suruhan dan larangan tersebut, yaitu :

a. Perintah/suruhan :
1. Menganut/memeluk agama islam
2. Beradat Semende
3. Beradab Semende
4. Betungguan (membela kebenaran)

b. Larangan/pantangan jeme Semende :
1. Sesama Tunggu Tubang pantang dimadukan, mengingat tanggung jawabnya berat
2. Bejudi/jaih/nyabung
3. Enggaduh racun tuju serampu (iri hati/hasut/dengki)
4. Nganakah duit
5. Maling tulang kance
6. Nanam kapas/wanggean (Ringan timbangannye)
7. Nanam sahang (pantang garang/pemarah)


11). Mahyuddin BA bin M. Ramli Fakiruilallah guru tarekat Sammaniyah asal Paiman Sumbar
12).Dr.Hj. Srimulyati, MA (et al) Mengenal & Memahami Tarekat Muktabarak di Indonesia, hal 173 tahun 2004
c. Sifat (motivasi) jeme Semende :
1. Benafsu (rajin bekerja)
2. Bemalu (sebagian dari iman)
3. Besingkuh (berbicara dan tingkah laku tidak sembarangan)
4. Beganti (setia kawan)
5. Betungguan (tidak goyah/mantap)
6. Besundi/beadab (tata krama, tata tertib)
7. Beteku (perhatian/suka membantu)

d. Fatwa Jeme Semende
1. Pajam suare dik be dane
2. Maluan nengah dik be pakai
3. Hilang baratan ghumah mighis
4. Kasih kance timbang ghase
5. Kasih sudare sesame ade
6. Kasih bapang sebelum marah
7. Kasih endung sepanjang mase
Menurut sejarah, pada jaman penjajahan Belanda, adat istiadat Semende ini dibuatkan pelakat/piagam yang disimpan di Museum Betawi (Jakarta) dan dijadikan pedoman Belanda untuk memberikan pertimbangan dan memutuskan suatu perkara yang terjadi di Semende.13)

2. Pengertian Semende
Semende terdiri dari dua suku kata yaitu Seme dan Ende dengan pengertian SEME = sama dan Ende = Harga. Semende = Sama Harga menurut logat Semende same rege yaitu betine (perempuan) tidak membeli dan bujang (lelaki) tidak dibeli. Pengertian Semende diartikan hubungan perkawinan (semende) bahwa laki-laki datang tidak dijual dan perempuan menunggu tidak membeli.
Semende menjadi Adat Semende disebut Tunggu Tubang yang penjabarannya dimulai berdasarkan :
1. Harta Pusake tinggi
2. Harte Pusake Rendah

Kedua-duanya tidak boleh di bagi dan sebagai penunggu ditunjuk anak perempuan tertua, jika tidak ada anak perempuan, maka anak laki-laki tertua sebagai tunggu tubangnya (anak belai). Harta Pusaka Tinggi yang telah turun temurun (bejulat) kepada anak cucu, cicit (piut) dan seterusnya sebagai ahli waris mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut :
1. Sama waris, Sama harga
2. Sama menjaganya
3. Perempuan (Tunggu Tubang) hanya menuggu tidak kuasa menjual
4. Laki-laki berkuasa, tapi tidak menuggu



13).Sumber, H. Tjikdeham mantan Kepala SD di Semende
5. Sama-sama mengambil faedah baik laki-laki atau perempuan rumusannya :
1. Perempuan dibela, laki-laki membela.
2. Sama-sama mengambil manfaat, yaitu perempuan disayang dan laki-laki disekolahkan tinggi, belajar mengaji sampai ke Makkah (Naun) dan sebagainya.
3. Sama-sama mengambil untung, perempuan lekas kawin (semende) sehingga orang tua berkesempatan mencari biaya untuk sekolah anak laki-laki, mengaji dan biaya kawin (semende).
4. Sama-sama mengharapkan hasil, perempuan lekas berkeluarga (semende) sehingga berkembang (berketurunan) dan laki-laki diantar kawin (semende) ke tunggu tubang lain.

Pemelihara harta warisan adalah ahli waris laki-laki dengan tugas mengawasi harta seluruhnya supaya tidak rusak, tidak berkurang, tidak hilang, dan sebagainya. Lelaki tidak berhak menuggu, dia seorang laki-laki seakan-akan Raja berkuasa memerintah dan diberi gelar dengan sebutan MERAJE.

Anak belai adalah keturunan anak betine (Kelawai Meraje) mengingat kelemahannya dan sifat perempuan (keibuan) maka ia dikasihi/disayangi dan ditugaskan menunggu harta pusaka sebagai tunggu tubang, mengerjakan, memelihara, memperbaiki harta pusaka dan ia boleh mengambil hasil (sawah, kolam, tebat, kebun/ghepangan) tetapi tidak kuasa menjual harta waris.

Seorang laki-laki di Semende berkedudukan sebagai MERAJE di rumah suku ibunya (kelawainye) dan menjadi rakyat di rumah isterinya sehingga dia meraje dan juga rakyat. Kalau warga Tuggu Tubang (Adat Semende) telah turun temurun berjulat berjunjang tinggi, maka tingkat pemerintah (Jajaran Meraje) tersusun sebagai berikut :
1. Muanai tunggu tubing, disebut Lautan (calon meraje) belum memerintah, dan dapat menjadi wali nikah (kawin) bagi kelawainya (ayuk atau adik perempuan)
2. Muanai Ibu Tunggu Tubang, disebut/dipanggil MERAJE
3. Muanai Nenek Tunggu Tubang, disebut/dipanggil JENANG
4. Muanai Puyang Tunggu Tubang, disebut/dipanggil PAYUNG
5. Muanai Buyut Tunggu Tubang, disebut/dipanggil LEBU MERAJE (RATU)
6. Muanai Lebu Tunggu Tubang, dipanggil ENTAH-ENTAH

Catatan :
1. Meraje = Memerintah (Kepala Pemerintah)
2. Jenang = Lurus, Lembut (Memberikan Pertimbangan)
3. Payung = Tempat Berteduh (Pelindung)
4. Lebu Meraje = (Ratu) dihormati (Penasehat)
5. Entah-Entah = Untuk Dikenang jasanya.


3. Lambang Adat Semende / Tunggu Tubang 14)
A. 1. Kujur = Lurus, Jujur
2. Guci = Teguh Menyimpan Rahasia (Terpercaya)
3. Jale = Bijaksana, Menghimpun
4. Tebat = Sabar
5. Kapak = Adil

14).Hasil Temu Karya Tetunggal Apit Jurai Tunggu Tubang Semende di Pulau Panggung Semende Tahun 1989.
B. 1. Bakul Betangkup = Teguh Menyimpan Rahasia
2. Niru = Tahu Membedakan Yang Baik dan Yang Buruk
3. Tudung = Suka Menolong (Melindungi)
4. Kinjar = Rajin, Siap Kemana Saja Pergi
5. Piting = Suka Menerima Tamu
6. Tuku = Pribadi Tepuji
7. Runtung = Tempat Rempah-Rempah

Demikianlah, sekilas mengenai Semende sebagai informasi yang masih perlu dikaji dan dipelajari secara mendalam sehingga dapat dijadikan pengetahuan dan pedoman bagi masyarakat Semende sehari-hari. Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan bahkan mungkin kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu penulis mohon maaf dan penulis akan menerima dengan lapang dada, kritik, saran dan perbaikan dari jeme semende yang lebih mengetahui.
Kiranya Allah menunjukkan jalan kebenaran/keselamatan dunia akhirat kepada kita jeme semende, sehingga jeme semende dimanepun berade, dalam posisi apepun die, akan ingat, rindu dan mencintai Semende Tunggu Tubang,…..Amin.

Sumber :
Muara Tenang, Desember 2008
Penulis,



SULTAN INDRA, SH.

Sejarah Suku Semende dalam Penellitian

Berdasarkan Hasil Pelacakan Sejarah yang telah dilakukan, maka ada beberapa bukti sejarah yang ditemukan :

  1. Pada tahun 1650 masehi atau 1072 hijriyah telah bertemu sekitar 50 ’ulama di Perdipe, Sumatera Selatan.
  2. Mereka berasal dari wilayah Rumpun Melayu yang meliputi Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaka, Fak-Fak- Papua, Ternate, dan Kepulauan Mindanau.
  3. Hasil Mudzakarah ini memunculkan perluasan dakwah Islam yang berakibat terkikisnya faham anismisme dan budaya jahiliyah di masyarakat.
  4. Munculnya kader-kader mujahid yang mengadakan perlawan terhadap penjajah Eropa.
  5. Terjadinya perluasan wilayah Islam yang ditandai dengan munculnya Kesultanan yang baru yang masing-masing saling bekerjasama secara baik.
A. Siapakah Tokoh Sentral pada Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu abad 17 M

Berdasarkan arsip kuno berupa kaghas (tulisan dengan huruf ulu diatas kulit kayu) yang ditemukan di Dusun Penghapau, Semende Darat, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan yang diterjemahkan pada tahun 1974 oleh Drs. Muhammad Nur (ahli purbakala Pusat Jakarta), ada beberapa catatan sejarah. Bahwa pada tahun 1072 Hijriyah atau 1650 Masehi telah ada seorang tokoh ’Ulama yang bernama Syech Nurqodim al-Baharudin yang bergelar Puyang Awak yang mendakwahkan Islam di daerah dataran Gunung Dempo Sumatera Selatan.

Menurut buku ”Jagad Basemah Libagh Semende Panjang”, Terbitan Pustaka Dzumirah, Karya TG.KH. Drs. Thoulun Abdurrauf, dinyatakan bahwa pada abad ke 14 – 17 Masehi, kaum Imperialis dan Kapitalis Eropa (Portugis, Inggris, dan Belanda) telah merompak di lautan dan merampok di daratan yang diistilahkan dalam bahasa melayu, yaitu mengayau. Mereka dengan taktik devide et impera berusaha memecah-belah penduduk di Rumpun Melayu yang berpusat di Pulau Jawa dan Semenanjung Malaka. Maka para waliullah di daerah tersebut dengan dipelopori oleh Syech Nurqodim al-Baharudin pada tahun 1650 M / 1072 H menggelar musyawarah yang berpusat di Perdipe (Sekarang masuk wilayah Kota Pagar Alam, Dataran Gunung Dempo, Sumatera Selatan). Tujuan musyawarah ini antara lain guna menyusun kekuatan bagi persiapan perang bulan sabit merah untuk menumpas ekspansi perang salib di Asia Tenggara.

Masih menurut beliau, bahwa kosa kata ”belanda” konon adalah sebutan bahasa melayu untuk orang netherlands. Kata belanda berasal dari dua suku kata ”belah” (memecah) dan ”nde” (keluarga), maknanya ”tukang memecah-belah keluarga”. Berbeda maknanya dengan kata ”semende” dari dua suku kata ”same” (satu) dan ”nde” (keluarga), maka maknanya ”satu keluarga” yaitu persaudaraan mukmin.


B. Siapakah Syech Nurqodim al-Baharudin

Syech Nurqodim al-Baharudin adalah cucu dari Sunan Gunung Jati dari Putri Sulungnya Panembahan Ratu Cirebon yang menikah dengan Ratu Agung Empu Eyang Dade Abang. Syech Nurqodim al-Baharudin kecil, beserta ketiga adiknya dididik dengan aqidah Islam dan akhlaqul karimah oleh orang tuanya di Istana Plang Kedidai yang terletak di tepi Tanjung Lematang.

Sewaktu remaja beliau digembleng oleh para ’ulama dari Aceh Darussalam yang sengaja didatangkan ayahnya. Ketika tiba masanya menikah beliau menyunting gadis dari Ma Siban (Muara Siban), sebuah dusun di kaki Gunung Dempo yang memiliki situs Lempeng Batu berukir Hulu Balang menunggang Kuda dengan membawa bendera Merah Putih (lihat buku ”5000 tahun umur merah putih” karya Mister Muhammad Yamin). Setelah bermufakat, beliau sekeluarga beserta adik-adiknya, keluarga dan sahabatnya membuka tanah di Talang Tumutan Tujuh, sebagai wilayah yang direncanakan beliau untuk menjadi Pusat Daerah Semende.

Menurut salah seorang keturunan beliau yang masih ada sekarang-TSH Kornawi Yacob Oemar-, dalam sebuah makalahnya dinyatakan bahwa, Syech Baharudin adalah pencipta adat Semende. Sebuah adat yang mentransformasi perilaku rumahtangga Nabi Muhammad SAW. Beliau juga pencetus falsafah ”jagad besemah libagh semende panjang”, yaitu ”Negara Demokrasi” pertama di Nusantara (1479-1850). Akan tetapi ”negara” itu runtuh akibat peperangan selama 17 tahun (1883-1850) malawan kolonial Belanda.

Sebelum ke Tanah Besemah, Syech Baharudin bermukim di Pulau Jawa dan hidup satu zaman dengan Wali Songo. Beliau sangat berpengaruh di di bahagian tengah dan selatan Pulau Jawa. Sedangkan Wali Songo pada masa sebelum berdirinya Kerajaan Bintoro Demak memiliki pengaruh di Pantai Utara Pulau Jawa. Tertulis dalam Kitab Tarikhul Auliya, bahwa untuk mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa-yaitu Demak, maka ada 16 orang wali bermusyawarah di Masjid Demak termasuk pula Syech Baharudin dan beberapa wali dari Pulau Madura.

Dalam musyawarah itu Sunan Giri menginginkan agar dibentuk suatu negara Kerajaan dengan mengangkat Raden Fatah sebagai raja /sulthan dengan alasan negara baru tersebut tidak akan diserbu balatentara Majapahit, mengingat Raden Fatah adalah anak dari raja Majapahit. Konon dari 16 wali tersebut, 9 orang yang mendukung pendapat ini dan tujuh orang yang berbeda pemahaman dalam strategi dakwahnya termasuk Syech Baharudin.

Syech Baharudin (Puyang Awak) menginginkan suatu daulah seperti Madinah al Munawarah pada masa Rosulullah SAW. Namun demi menjaga persatuan ummat Islam yang kala itu jumlah belum banyak, beliau memutuskan untuk hijrah (melayur) ke Pulau Sumatera. Dari tanah Banten beliau menyeberang ke Tanjung Tua-ujung paling selatan Pulau Sumatera-. Kemudian menyusuri pesisir timur, yaitu daerah Ketapang-Menggala-Komering-Palembang-Enim dan Tiba di Tanah Pasemah lalu menetap disana tepatnya di Perdipe.

Disepanjang perjalanan, sebagai seorang mubaligh beliau selalu mendatangi tempat-tempat dimana masyarakat masih belum mengenal agamaTauhid dan akhlaqul qarimah, untuk mengajarkan nilai-nilai ajaran Islam dengan metode yang sangat sederhana yaitu memepergunakan kultur budaya masyarakat setempat sehingga dapat dimengerti dengan mudah oleh seluruh lapisan masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat beberapa suku di perdalaman Sumatera Bagian Selatan, Puyang Awak adalah penyebar agama Islam yang sangat kharismatik. Nama beliau menjadi legenda dari generasi ke generasi terutama sikap beliau yang menunjukkan rasa peduli dan kasih sayang yang sangat tinggi terhadap semua makhluk ciptaan Allah.

Di tanah Pasemah pada waktu itu, Puyang Awak melihat pola hidup masyarakat sangat jauh dari kehidupan yang islami.Adanya praktek-praktek perbudakan dikalangan masyarakat.Perampokan dan penjarahan bagkan penculikan terhadap wanita dan anak-anak dari suku-suku lain disekitar Basemah [dalam bahasa basemah disebut ’nampu’] untuk dijadikan budak [dalam bahasa pasemah disebut ’pacal’], dianggap suatu kebanggaan. Bahkan ada satu keluarga besar yang memiliki ratusan ekor kerbau dan sapi serta puluhan orang pical, pada waktu ia mengadakan suatu pesta pernikahan anaknya, dengan pesta besar-besaran dengan menyembelih puluhan ekor sapi dan kerbau. Untuk menambah ’kebanggaan’ dari keluarga tersebut, maka diumumkan bahwa yang punya hajatan juga akan ’menyembelih seorang pacal’. Suatu bentuk kedzaliman yang melebihi perbuatan kaum jahiliyah Suku Quraisy di Kota Mekkah pada zaman nabi Muhammad SAW.

Pola hidup masyarakat Basemah yang liar, zalim, dan biadab seperti itu, bukan hanya diceritakan kembali secara turun-tumurun dari generasi ke generasi, melainkan tercatat pula pada tulisan-tulisan kuno aksara ka-ga-nga yang dijadikan benda-benda pusaka oleh tua-tua adat dari suku-suku sekitar Basemah, antara lain di daerah Enim. Intinya memperingatkan warga agar berhati-hati dan selalu waspada terhadap kedatangan para perampok dari Basemah yang sering menjarah harta benda serta menculik wanita dan anak-anak mereka. Bahkan selain itu Marco Polo [abad12], membuat catatan khusus tentang Basemah yang berbunyi..’Basma, where the people’s like a beast withuot law or religion....’ [basemah, penduduknya bagaikan binatang buas, tanpa aturan atau agama ]

Puyang Awak yang memperhatikan kehidupan suku Basemah yang liar, zalim tanpa hukum dan agama tersebut, justru berpendapat bahwa di tanah basemah inilah tempat yang tepat untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Al-Qur’an yang diturunkan ALLAH SWT kepada nabi Muhammad SAW, untuk meng-agama-kan masyarakat yang belum beragama.

Akan tetapi perlu kita fahami bahwa metode yang dipergunakan oleh Puyang Awak dalam menyebarkan ajaran Islam yang mendasar tersebut, tidak mempergunakan bahasa Arab, melainkan beliau rumuskan kedalam bahasa Pasemah yang cukup dikenal sampai saat ini yaitu ’falsafah GANTI nga TUNGGUAN [Akhlakul Karimah].


C. Hubungan Darah Syaikh Baharudin dengan Sunan Gunung Jati

Mengutip dari buku ”Kisah Walisongo”, Karya Baidhowi Syamsuri, terbitan Apollo Surabaya didapatkan data sebagai berikut.

Adalah dua orang putra Prabu Siliwangi bernama Pangeran Walang Sungsang dan Putri Rara Santang belajar Dinul Islam kepada Syaikh Idlofo Mahdi atau Syaikh Dzathul Kahfi-seorang Ulama dari Baghdad yang menetap di Cirebon dan mendirikan Perguruan Islam. Karena kedua anak Raja Siliwangi tersebut tidak mendapat izin dari sang ayah, maka mereka melarikan diri ke Gunung Jati untuk belajar tentang Islam. Setelah cukup lama menuntut ilmu, keduanya diperintahkan sang syaikh untuk membuka hutan di selatan Gunung Jati yang kemudian dijadikan pedukuhan yang akhirnya menjadi ramai. Tempat ini kemudian dinamakan ”Tegal Alang-Alang” dan Pangeran Walang Sungsang diberi gelar ”Pangeran Cakra Buana” serta diangkat sebagai pimpinannya.

Syaikh Kahfi atau Datuk Kahfi memerintahkan kepada kedua muridnya tersebut untuk menunaikan haji ke Mekkah dilanjutkan dengan belajar Islam kepada Syaikh Bayanillah. Akhirnya Rara Santang menikah dengan seorang penguasa Mesir keturunan Bani Hasyim yang bernama Sultan Syarif Abdullah-dikenal juga dengan Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda. Rara Santang namanya diganti dengan Syarifah Mudaim. Dari pernikahan ini lahirlah dua orang putra, Syarif Hidayatullah dan adiknya Syarif Nurullah.

Setelah Sultan Syarif Abdullah wafat, kedudukannya digantikan oleh putra keduanya Syarif Nurullah, karena putra pertamanya Syarif Hidayatullah tidak suka naik takhta dan lebih memilih pulang ke tanah Jawa beserta ibunya untuk mendakwahkan Islam. Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati yang bersama-sama Senopati Demak Bintoro, yaitu Fatahillah yang melakukan penyerangan dan pengusiran Bangsa Portugis dari Sunda Kelapa.

Sedangkan Pangeran Cakra Buana setelah tinggal tiga tahun di Mesir kembali ke Jawa dan mendirikan negeri baru yaitu Caruban Larang. Prabu Siliwangi sebagai penguasa Jawa Barat telah merestui tampuk pemerintahan putranya ini dan memerinya gelar ”Sri Manggana”.

Dalam perjalanan dakwahnya, Sunan Gunung Jati telah sampai ke negeri Cina, dimana terdapat undang-undang yang melarang rakyatnya memeluk Islam. Disana beliau membuka praktek sistem pengobatan. Setiap yang datang berobat diajarinya berwudhu dan sholat. Orang cina kemudian mengenalnya sebagai sinshe dari jawa yang sakti dan berilmu tinggi. Akhirnya banyak diantara penduduknya memeluk Islam, termasuk seorang menteri Cina bernama Pai Lian Bang. Bahkan Kaisar Cina meminta Sunan Gunung Jati untuk menikahi putrinya yang bernama Ong Tien. Sunan Gunung Jati tidak mau mengecewakan sang kaisar, maka pernikahan tersebut dilangsungkan, kemudian ia pulang ke Jawa beserta Ong Tien.

Keberangkatannya ke Jawa dikawal dua Kapal Kerajaan yang dikepalai murid Sunan Gunung Jati, Pai Lian Bang. Kapal yang ditumpangi oleh Sunan Gung Jati berangat lebih dahulu dan singgah di Sriwijaya karena tersiar kabar bahwa adipati Sriwijaya yang berasal dari Majapahit bernama Ario Damar atau Ario Abdillah (nama Islamnya) telah meninggal dunia. Makam beliau dapat kita lihat sampai sekarang di Jalan Ariodillah Palembang. Sedangkan Ario Abdillah ini adalah anak tiri dari Fatahillah.

Karena kedua putra dari Ario Abdillah telah menetap di Jawa, maka Sunan Gunung Jati mengharapkan agar rakyat Sriwijaya berkenan mengangkat Pai Lian Bang sebagai adipati supaya tidak ada kekosongan kepemimpinan. Pai Lian Bang tidak menolak atas pengangkatannya, ia berkata : ”...seandainya bukan Sunan Gunung Jati sebagai guruku yang menyuruhku, maka aku tidak akan mau diangkat menjadi adipati...”.

Dengan bekal ilmu selama menjadi menteri di Cina, Pai Lian Bang berhasil membangun Sriwijaya. Pesantren dan madrasah benar-benar dikembangkannya dan beliau menjadi Guru Besar dlam Ilmu Ketatanegaraan. Murid-muridnya cukup banyak yang datang dari Pulau Jawa dan Sumatera termasuklah seorang cucu Sunan Gunung Jati dari Putrinya Panembahan Ratu yang dinikahi oleh Danuresia (Empu Eyang Dade Abang) yang bernama Syaikh Nurqodim al Baharudin (di sumsel dikenal dengan Puyang Awak). Pada akhirnya setelah Pai Lian Bang wafat, Sriwijaya diganti nama menjadi PALEMBANG yang diambil dari nama PAI LIAN BANG.


D. Latar Belakang Mudzakarah ’Ulama Serumpun Melayu Tempo Dulu

Setiap ulama yang shohih dapat dikenali langkah-langkahnya yang senatiasa menyusuaikan dengan panduan Alqur-an dan sunnah Rosul. Demikian pula analisis kami terhadap gerakan yang dibangun Syaikh Nurqodim al-Baharudin. Dengan segala keterbatasannya selaku manusia biasa dan dengan kesemangatannya selaku hamba Allah yang diberi amanah ke’ulamaan beliau telah berupaya membangun tata kehidupan masyarakat madani yang di contohkan Rosulullah Muhammad SAW. Inilah latar belakang pokok mudzakarah tersebut yaitu ingin mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang diatur dengan Syariat Dinullah dengan panduan dari Rosulnya. Beliau tidak bermaksud membangun kekuasan dengan sistem kerajaan. Namun masyarakat madani yang tunduk pada kepemimpinan Allah dan Rosul dengan ’Ulama sebagai Ulil Amrinya.

Kemudian dengan melihat situasi dan kondisi perkembangan Islam di Eropa, Afrika, Asia, hingga wilayah Nusantara memberikan peluang yang besar kepada para ’ulama untuk menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia, sehingga memberi corak tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya kestabilitasan dan perbaikan sistem kehidupan yang meliputi aspek sosial, budaya, ekonomi, pemerintahan dan keamanan, militer dan ilmu pengetahuan merupakan salah satu effect positif penyebaran melalui Dakwah dan Jihad.

Di rumpun melayu, khususnya setelah terjadi kekosongan kekuasaan di wilayah Sumatera Selatan akibat runtuhnya kekuasaan Sriwijaya dan Majapahit, dan terjadinya peralihan kekuasaan dari kerajaan Demak ke Pajang dan Mataram, sementara di wilayah Besemah (Pagaralam) masyarakat mengalami disintegrasi nilai-nilai kebudayaan yang mengakibatkan terciptanya kekacauan dalam sistem kehidupan sosial kemasyarakatan sehingga mereka kehilangan norma dan aturan yang mengatur tatanan kehidupan sosial. Hal ini yang menjadi faktor kedua dan mengilhami proses penyebaran Islam di wilayah Besemah dan Semendo oleh para ’ulama melalui proses mudzakarah.

Demikianlah dua latar pokok munculnya pertemuan ulama pada masa itu, yaitu ittiba kepada panduan Allah dan Rosul dengan gambaran dalilnya antara lain Surah al Anfal ayat 72, mengenai perintah iman, hijrah dan jihad. Selanjutnya kedua, yaitu kondisi dunia dan ummat yang menghendaki para ’ulama agar bersepakat mengangkat Islam.



E. Lokasi dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama Tempo Dulu

Keberadaan dan kegiatan dakwah yang dilakukan beliau lama-kelamaan mulai tersebar. Bahwa di daerah Batang Hari Sembilan telah ada seorang aulia yang bernama Syaikh Nur Qodim Al Baharudin. Banyaklah penghulu agama / pemuka agama dari berbagai daerah berdatangan memenuhi ajakan Puyang Nur Qodim untuk bermukim di Talang Tumutan Tujuh akhirnya diresmikanlah oleh Puyang Ratu Agung Empuh Eyang Dade Abang menjadi ”dusun Paradipe” (para penghulu agama) tahun1650 M / 1072 H sekarang dinamakan dusun Tue. Dari perluasan daerah inilah disebut wilayah jagad Semende Panjang Basemah Libagh.


Kegiatan pembukaan wilayah oleh Syaikh al Baharudin antara lain :

1. Pembukaan dusun dan Wilayah Pertanian Pagaruyung yang dipimpin oleh Puyang Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Tanah Minang Kabau.

2. Pembaharuan dusun serta pemekaran Wilayah Peghapau yang dipimpin oleh Puyang Prikse Alam, dan Puyang Agung Nyawa beserta Puyang Tuan Kuase Raje Ulieh dari negeri Cina yang nama aslinya Ong Gun Tie

3. Pembukaan Dusun dengan pemukiman di dusun Muara Tenang oleh Putra Sunan Bonang dari Jawa. Di Tanjung Iman oleh Puyang Same Wali, di Padang Ratu oleh Puyang Nakanadin, di Tanjung Raye oleh Puyang Regan Bumi dan Tuan Guru Sakti Gumai serta di Tanjung Laut oleh Puyang Tuan Kacik berpusat di Pardipe

4. Pemekaran pembukaan wilayah Marga Semende, Muare Saung dan Marga Pulau Beringin (OKU).

5. Pembukaan wilaya Marga Semende Ulu Nasal dan Marga Semende Pajar Bulan Segirin Bengkulu

6. Pembukaan dusun dan wilayah pertanian di Lampung yakni Marga Semende Waitenang, Marga Semende Wai Seputih, Marga Semende Kasui, Marga Semende Peghung dan Marga Semende Ulak Rengas (Raje Mang Kute) Muchtar Alam..



Pendiri Adat Semende
a. Ratu Agung Umpu Eyang Dade Abang (Bapak Nur Qodim – Puyang Awak).
  1. Puyang Awak Syaikh Nurqodim Al Baharudin, bertempat tinggal di Perapau dan Muara Danau.
  2. Puyang Mas Penghulu Ulama Panglima Perang dari Gheci Mataram Jawa.
  3. Ahmad Pendekar Raje Adat Pagaruyung dari Minang Kabau (Sumbar).
  4. Puyang Sang Ngerti Penghulu Agama dari Tebing Rindu Ati Bangkahulu (Bengkulu).
  5. Puyang Perikse Alam dari Lubuk Dendan Mulak Basemah.
  6. Puyang Agung Nyawe.
  7. Puyang Lurus Sambung Ati dari gunung Puyung Banten Selatan Jabar.
  8. Tuan Kuase Raje Ulie Depati Penanggungan.
  9. Puyang Lebi Abdul Kahar dari Pulau Panggung.
  10. Tuan Mas Pangeran Bonang Muara Tenang.
  11. Regan Bumi Nakanadin samewali Tanjung Raya.
  12. Tuan Kecil dari Tanjung Laut.
Mengenai hasil keputusan yang di dapat, antara lain adalah munculnya rumusan kesepakatan ulama mengenai tahapan waktu kaderisasi ummat dan masa tegaknya daulah Islam di Rumpun Melayu. Rumusan ini menggunakan bahasa melayu setempat yang tercatat sampai saat ini dan mengandung pesan yang amat kuat, yaitu ”Tujuh Ganti Sembilan Gilir”. Terjemahnya adalah tujuh generasi dan sembilan masa pergiliran Kesultanan”. Satu generasi adalah sekitar 40 tahun sehingga makna tujuh ganti adalah 280 tahun masa pengkaderan atau persiapan ummat ummat Islam untuk bangkit dan mengusir penjajah dari Eropa. Terbukti sekitar 300 tahun kemudian dari tahun 1650 penjajah belanda angkat kaki dari negeri ini. Kemudian Kesultanan Mataram sebagai pusat komunikasi dari kesultanan lain di rumpun melayu diberi batas amanah sampai ke 9 kepemimpinan untuk selanjutnya menegakkan Syariat Islam secara total.

Data mengenai ulama yang hadir antara lain 40 ulama Malaka yang berangkat dari Johor, utusan Mataram Raden Seto dan Raden Khatib dan beberapa utusan lain dari Pagaruyung dan beberapa dari wilayah Rumou Melayu lainnya. Lokasi Mudzakarah Ulama ini adalah di Dusun Perdipe (Para Dipo; para penghulu agama).


Demikianlah sekelumit data yang diperoleh, setelah dilakukan eksplorasi data literatur dan lapangan. Namun demikian segala sumber keterangan apabila bukan bersumber selain Al-Qur'an akan ditemukan ikhtilaf (perbedaan) seperti yang dijelaskanNYa dalam Surah Annisa 82. Maka kami pun membuka segala kesempatan untuk melengkapi, mengkoreksi dan meluruskan data sejarah in

Sistem Perkebunan Skala Besar Sejarah Penjajahan Yang Berulang

Sistem Perkebunan skala besar dewasa ini tidak terlepas dari sejarah panjang penindasan dan penghisapan kaum tani di Indonesia dengan menerapkan sistem pertanian komersial. Sistem tersebut mengganti sistem ekonomi pertanian subsistem yang telah lama berkembang dimasyarakat. Subsistensi merupakan ciri dari sistem pertanian yang dijadikan sarana untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga dengan skala terbatas dan tenaga kerjanya si pelaku usaha pertanian itu sendiri. Sistem tersebut mulai berkembang sejak adanya perdagangan hasil pertanian antar daerah dan antar pulau yang penguasaannya dimonopoli oleh raja-raja atau penguasa lokal dengan menguasai pelabuhan sebagai jalur perdagangan. Selanjutnya, dikembangkan secara masif oleh negara penjajah di negeri jajahannya dengan mengadopsi sistem kapitalisme agraria yang berkembang di negara – negara penjajah (eropa).

Komersialisasi pertanian diawali dengan penjelajahan yang dilakukan oleh bangsa – bangsa Eropa dari mulai Portugis, Spanyol dan Puncaknya Belanda untuk menguasai perdagangan hasil bumi di Nusantara. Pada tahun 1602 melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) maskapai perdagangan yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda menancapkan kukunya di bumi Nusantara dengan memonopoli komoditas hasil pertanian. VOC yang awalnya cuman menguasai perdagangan hasil pertanian kemudian mulai bergeser peranannya dengan melakukan penanaman komoditas. Priayangan stelsel dengan mewajibkan rakyat menanam kopi yang di awasi oleh penguasa lokal atau raja-raja pada saat itu. VOC juga mengunakan sistem penyewaan tanah dan sistem partikelir dimana pengusaha-pengusah dapat menarik hasil bumi dan jasa penduduk pada tanah yang disewakan oleh VOC.

Pada tahun 1812-1916 Pemerintah Hindia Belanda melaui Gubernur Jendral Rafless dengan menerapkan sistem pajak yang merupakan bagian integral dari gagasan pembaharuan sistem pertanahan di wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Sistem ini didasari agar ada kepastian hukum dalam menguasai tanah di wilayah Hindia Belanda. Sistem ini sangat singkat diterapkan karena beberapa kendala terutama sulitnya masyarakat saat itu dalam memperoleh uang dan tindakan penyelewengan oleh pejabat yang mengurusnya. Sistem ini merupakan tonggak awal mulai dikenalnya sistem kepemilikan tanah individu atau perseorangan.

Perkembangan selanjutnya dengan diterapkan sistem tanam paksa yang dimotori oleh Gubernur Jendral Van Den Bosch. Sistem tanam paksa jika kita telusuri mengandung maksud wajib dan paksa. Paksa mengandung maksud memaksa kaum tani untuk menyerahkan tanah kepada Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan wajib mengandung maksud agar petani menanam jenis tanaman perkebunan yang laku dipasaran Internasional (tebu, kopi, indigo, porsela dll) serta menyerahkan tenaganya untuk kerja diperkebunan. Sistem tanam paksa ini berhasil menyumbang 841 juta gulden kepada Pemerintah Hindia Belanda, sementara itu ditingkat rakyat terserang wabah penyakit dan kelaparan yang sangat hebat. Karena keberhasilan Sistem Tanam Paksa tersebut mengundang kaum liberal yang didominasi oleh Pengusaha Swasta mendorong agar pihak swasta untuk ikut terlibat dalam usaha dibidang perkebunan. Puncaknya dengan dikeluarkannya Undang – Undang Pertanahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 (Agraris Wetch). Undang – Undang tersebut mengatur pihak swasta untuk ikut secara langsung terlibat dalam usaha Perkebunan diwilayah kekuasaan Hindia Belanda dengan diaturnya hak sewa, hak erfprach, hak egindom dan lainnya. Untuk penyediaan tenaga kerja yang murah kemudian didatangkan dari jawa yang dikenal dengan kuli kontrak.
Pada masa Jepang menjajah Nusantara dengan menggantikan penjajahan Belanda, orientasi dari usaha perkebunan berubah dari jenis komoditi ke jenis tanaman pangan. Sehingga, beberapa perkebunan dikonversi menjadi tanaman pangan.

Revolusi Kemerdekaan 1945 telah melahirkan negara – bangsa yang bernama Republik Indonesia, perkebunan – perkebunan peninggalan penjajah dibeberpa tempat direbut oleh kaum tani. Namun demikian, melalui KMB (Konferensi Meja Bundar) kebun yang telah dikuasi kaum tani dikembalikan kembali kepada perusahaan – perusaan asing maupun perusahaan negara belanda. Presiden Soekarno melakukan aksi sepihak dengan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing. Lahirnya, UUPA No. 5 tahun 1960 lahir untuk mengatasi dualisme hukum soal agraria di Indonesia yakni Hukum yang diwarisi oleh Kolonial Belanda dan Hukum warisan sistem usang feodalisme, dengan filosofi dasarnya tanah untuk penggarap merupakan angin segar bagi kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya. Sayangnya, belum sukses pelaksaanaan UUPA No. 5 Th. 1960 dengan salah satunya meredistribusikan perkebunan skala besar yang ditinggalkan oleh Penjajah. Presiden Soekarno kekuasaannya direbut oleh Jendral Besar Soeharto melalui kudeta atas konspirasi negara penjajah pipinan AS dan Inggris.

Pada massa presiden Soeharto perkebunan mulai digalakan dengan mengunakan tiga prinsip stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan dan salah satu undang-undangnya adalah di terbitkanya UUPMA yang sangat pro modal. Perkembangan perkebunan skala besar kemudian menjadi massif, Salah satu konsep yang diterapkan adalah pola PIR dimana ada konsep perkebunan inti dan plasma. Kewajiban inti adalah menyediakan sarana produksi kebun sementara petani di wajibkan menyerahkan tanah, tenaga kerja dan harus menjual hasilnya ke perusahaan inti. Konsep ini kemudian di integrasikan dengan program tranmigarsi dalam upaya pemenuhan tenaga kerja di perkebunan. Pada tahap ini mulai di kenal istilah petani plasma yaitu petani yang masuk dalam skema perusahaan. Pada masa pemerintahan megawati kemudian pemerintah menerbitakan UU Perkebunan yang sangat pro pada pemodal sementara pemerintahan SBY-Kalla menerapkan konsep revitalisasi perkebunan yang tidak mempengaruhi apapun karena semangatnya masih tetap pada konsep lama dimana masih diberikan kekuasan sepenuhnya kepada pemodal untuk mengusai dan pemain utama dalam perkebunan.
Dapat disimpulkan bahwa perkebunan skala besar memiliki beberapa syarat pokok yaitu perkebunan membutuhkan lahan yang luas, Tenaga kerja massal, Birokrasi yang efektif , teknologi yang tinggi, dan managemen yang modern.

Kondisi Petani Plasma Hari Ini
Konsep perkebunan inti rakyat/plasma (PIR) diterapkan dalam beberapa skema antara lain skema NES ( Nucleus Estate Smalholder) yang dibiayai oleh Bank Dunia pada tahun 1977, selanjutnya dikenal program PIR trans dimana perkebunan rakyat dipadukan dengan transmigrasi melaui inpres / 1/ tahun 1985. Pada tahun 1995 kemudian juga dikenalkan konsep KKPA ( Koperasi Kredit Primer Anggota ) yang sumber dananya 75 % berasal dari KLBI dan 25 % berasal dari Bank. Perkebunan skala besar khususnya sawit mulai semakin masif pembukaanya di Indonesia sejak tahun 1997- sampai sekarang. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif (biofuel). Hingga saat ini Indonesia memiliki luasan kebun sawit hampir 7,6 juta pada tahun 2007 dan akan melakukan ekspansi lagi dengan target luasan sampai dengan 20 juta ha untuk seluruh Indonesia hingga tahun 2025. Sementara ekspor CPO pada tahun 2006 mencapai 12,1 juta ton dan pada tahun 2007 Indonesai kemudian menjadi negara pengekspor terbesar didunia mengalahkan Malaysia. Dari jumlah luasan sawit tersebut hanya dikuasai oleh 8 holding perusahaan swasta besar yang menguasai 54 % sementara perkebunan milik pemerintah mengusai 12 % dan perkebunan rakyat menguasai 34 % pada tahun 2006 (data Sumber: Dirjenbun dalam BisInfocus 2006) . Dari 54 % pengusaan lahan oleh swasta 75,9% dikusasi oleh pihak asing terutama pengusaha asal Malaysia. Kontrol terhadap tanah mereka dapatkan melaui pengusaan HGU ( hak guna usaha ) yang diterbitkan oleh pemerintah bagi Pengusaha Perkebunan untuk memonopoli tanah hingga ratusan tahun dengan dikeluarkanya UUPM pada tahun 2007.

Kondisi petani sawit hari ini merupakan bagian dari proses panjang perkembangan perkebunan skala besar yang mopolistik dimana dalam membangun perkebunan Skala Besar Kelapa Sawit dibutuhkan syarat – syarat yang harus terpenuhi seperti yang dipaparkan sebelumnya. Tanah yang berada dalam satu areal hamparan yang sangat luas menjadi salah satu syarat pokok dalam membangun perkebunan kelapa sawit, sementara sesunguhnya tanah-tanah yang ada di Indonesia sudah dikuasai oleh masyarakat dan dimanfaatkan secara tradisional dan turun temurun. Sehingga untuk memperoleh tanah-tanah yang luas tersebut sebagai syarat untuk pembukaan kebun sawit dilakukan dengan cara-perampasan hal ini bisa dibuktikan dalam mendapatkan tanah yang luas perusahaan perkebunan melakukan; (1) perampasan tanah dan kekayaan alam rakyat dengan cara kekerasan;(2) Perampasan menggunakan keterbelakangan masyarakat dengan cara menipu dengan pesona janji;(3) Perampasan dengan berkedok jual beli tanah (ganti rugi). Disamping itu dalam operasi merampas tanah masyarakat, Perusahaan mendapatkan previlege dari negara melalui kebijakan – kebijakan yang dibuat dan juga menurunkan aparatusnya (aparat birokrasi, aparat kepolisian dan aparat negara).

Hingga saat ini jumlah petani sawit di Indonesai ada sekitar 3 juta orang (Dirjenbun 2006) dan mengusai 34 % luasan kebun, namun sayangnya petani belum menduduki posisi yang strategis dalam hal menentukan kebijakan perkebunan sawit. Sejak awal mereka ditipu dengan janji kesejahteraan ketika menjadi petani sawit. Masyarakat harus memberikan dan menyerahkan tanah untuk mendapatkan kebun sawit biasanya harus menyerahkan lahan 7,5 ha atau lebih untuk mendapatkan kebun sawit seluas 2 ha. Tapi kebun tersebut bukannya diperoleh secara gratis tapi harus dibayar dengan utang kredit yang ditentukan oleh perusahaan dan pemerintah tanpa berkonsultasi dengan petani. Persoalan makin rumit ketika masa konversi dimana kebun yang diserahkan tidak layak ataupun konversi sengaja diperlambat dan di ulur-ulur. Belum lagi ketika mereka sudah menerima kebun insfrastruktur kebun petani sangat tidak layak dimana jalan dan fasilitas kebun yang tidak dibangun, sarana produksi berupa pupuk juga sangat sulit di dapatkan, lembaga KUD yang menjadi organisasi ekonomi petani justru melakukan penghisapan terhadap anggota petani, pelatihan budidaya kebun yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan sama sekali tidak diberikan. Hal ini mengakibatkan produktifitas petani sangat rendah sementara pemotongan biaya harga mutu TBS dilakukan oleh perusahaan. Dalam penentuan harga juga petani tidak dilibatkan dalam menentukan komponen harga TBS.
Sistem hari ini apabila dibandingkan dengan sistem tanam paksa pada jaman kolonial masih memiliki beberapa keuntungan dimana status lahan pada jaman tanam paksa masih dimiliki oleh petani, sementara pada pola PIR seluruh tanah petani diserahkan keperusahaan dan dikembalikan hanya 2 ha untuk petani plasma itupun harus dibayar dengan kredit sementara sis tanahnya menjadi bagain dari kebun inti yang di HGU kan oleh perusahaan dan dinggap sebagai tanah negara. Pada Sistem tanam paksa bibit dan alat kerja di sediakan oleh pemerintah kolonial sementara pada pola PIR bibit dan segala macam keperluan kebun harus dibayar melaui kredit oleh petani.

Kondisi tersebut sengaja diarahkan oleh kaum kapitalis monopolis untuk menguasai kontrol akan tanah dan mengarah pada kemiskinan akibat tidak adanya alat produksi oleh petani sehingga akan menjadi buruh di perkebunan dengan upah yang rendah. Perusahaan inti merupakan centrum (pusat) kegiatan perkebunan dimana kebun plasma milik petani sangat tergantung pada kebun inti karena kebun plasma hanya merupakan unit-unit kecil pendukung kebun inti. Hubungan produksinya bersifat vertikal sehingga hubungan antar unit-unit kebun plasma terputus dan sulit mengkonsolidasikan diri.

Sistem Perkebunan Skala Besar Merupakan Penguasaan Tanah Oleh Tuan Tanah Tipe Baru.
Sistem perkebunan skala besar kelapa sawit mewarisi sistem ekonomi politik usang yang mengandalkan monopoli atas tanah (sistem ekonomi politik feodal) dengan menjadikan pemilik perkebunan sebagai tuan tanah yang memonopoli penguasaan tanah yang sangat luas, serta mengendalikan kekuasaan Politik diwilayah tersebut. Pemenuhan kebutuhan sangat berorientasi pasar dengan upaya pemenuhan komsumsi negara-negara barat sementara kebutuhan di tingkat rakyat bukan menjadi tujuan utama pembangunan perkebunan sawit. Contoh sederhananya pemenuhan kebutuhan minyak goreng dalam negeri yang sangat susah didapatkan kalaupun ada dengan harga yang mahal hingga mencapai 10.000 / liter. Dalam relasi produksinya perkebunan besar menggunakan sistem kapitalisme dengan mempekerjakan buruh yang dibayar dengan uang. Maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa majikan didalam pemilik perusahaan perkebunan merupakan tuan tanah ”tipe baru” baik yang dijalankan oleh perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Istilah tuan tanah ”tipe baru” digunakan karena perusahaan perkebunan menguasai tanah yang sangat luas, dia tidak bekerja ditanah tersebut secara langsung dan hasilnya sangat berlebih yang diambil dari penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh dan petani berupa nilai lebih dengan mengambil waktu dan hasil kerja kaum buruh, serta produk lebih dengan mengambil hasil produksi yang dari petani kelapa sawit (Monopoli proses budidaya dan monopoli hasil produksinya). Jadi, tuan tanah ”tipe baru” dalam relasi produksi didalam sistem perkebunan skala besar merupakan pihak yang paling diuntungkan oleh sistem ini dan petani sawit hanya menjadi objek hisapan untuk pemenuhan kebutuhan TBS. Perusahaan mendapatkan nilai lebih dari selisih harga CPO ( Rp. 8000 ) dan kernel (Rp. 4500 / kg) sementara petani hanya memperoleh harga TBS dengan harga yang sangat rendah yaitu berkisar pada harga Rp. 1500- Rp. 2000 / Kg sebelum di potong dengan mutu TBS yang di terapkan oleh perusahaan.

Yang Paling Diuntungkan Oleh Sistem Perkebunan Sawit Skala Besar
Struktur sosial yang ada di perkebunan sawit yaitu terdiri dari 1).Tuan tanah tipe baru atau perusahaan yang memonopoli tanah 2). petani sawit ( plasma yang di bagi dalam 3 kategori yaitu buruh tani, petani plasma, dan petani bertanah / non sawit, 3) dan buruh industri merupakan sistem sosial yang ada di perkebunan sawit hari ini. Apabila dilihat dari sudut kepentingannya jelas yang paling berkepentingan adalah pihak perusahaan perkebunan karena mereka yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari sistem tersebut. Disusul oleh elit – elit yang menjadi parasit yang diuntungkan oleh sistem tersebut. Sedangkan buruh kebun / tani, petani plasma, buruh industri perkebunan merupakan pihak yang hadir dipaksa oleh sistem tersebut dan keadaan saat ini sudah menjadi bagian yang terlanjur berada dalam lingkaran sistem perkebunan skala besar dan masyarakat lain terutama petani non plasma / non sawit merupakan pihak yang tidak terlalu berkepentingan terhadap sistem tersebut karena tidak memiliki relasi langsung terhadap sistem perkebunan tersebut, namun demikian sebagai bagian kolektif kaum tani, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki nasib yang sama yakni terancam tanahnya untuk perluasan perkebunan ataupun dihambatnya proses produksi (budidaya).

Menggalang Persatuan Melawan Sistem Perkebunan Skala Besar
Dari pemaparan sejarah dan kondisi petani sawit hari ini dimana petani sawit belum mempunyai posisi yang kuat secara politik dan ekonomi akibat pengusaan lahan yang dimonopoli oleh kaum kapitalis melaui kaki tangan yang ditancapkan yaitu birokrasi negara dan kaum –kaum parasit ditingkat desa merupakan kaum yang sangat diuntungkan dalam perkebunan sawit skala besar. Situasi hari ini dimana posisi petani plasma telah masuk dalam sistem ini harus berusaha keras untuk keluar dari ikatan sistem perkebunan skala besar tersebut dengan melakukan perbaikan terhadap kondisi kebun dengan mengupayakan penyediaan sarana produksi dan infrasrtuktur kebun baik dengan upaya swadaya sendiri ataupun menuntut tanggung jawab perusahaan. Pemenuhan akan pupuk bersubsidi bagi petani dan penyediaan benih yang gratis bagi petani mutlak harus dilakukan oleh negara untuk meningkatkan produktivitas petani. Dalam waktu kedepan perjuangan melawan kaum penidas tersebut tentunya tidak bisa dilakukan secara sektoral oleh petani plasma sendiri, tapi penting untuk mengalang kekuatan rakyat dengan memadukan kekuatan buruh, tani, pemuda dan mahasiswa serta kaum perempuan. Tujuan utamanya adalah menghancurkan kekuasan feodalistik yang merupakan watak yang paling menonjol dalam sistem perkebunan skala besar yang dikuasai oleh tuan tanah tipe baru dan membebaskan rakyat Indonesia dari kungkungan imprealisme. Perjuangan demokratis adalah perjuangan yang memiliki karakter luas, menghimpun segenap potensi demokratis massa dari seluruh sektor, semua golongan untuk bersatu padu merebut hak-hak demokratis yang selama ini belum dipenuhi oleh pemerintah yang berkuasa.

Sumber :http://waseng.wordpress.com/sistem-perkebunan-skala-besar-“sejarah-penjajahan-yang-berulang”

Kearifan lokal budaya Suku Semende

Perihal harta waris dalam agama Islam mendapat tempat yang layak. Bahkan, pengajaran soal ini merupakan salah satu bagian yang wajib dipelajari kaum muslimin.
Perihal waris yang merupakan salah satu hal yang rumit ini memang semestinya dipahami dengan baik. Sebab terkadang kita mendengar bahwa ada keluarga yang sampai ribut karena bertengkar soal harta warisan. Soal aturan dalam Islam bahwa laki-laki mendapatkan setengah dari harta, juga sering menjadi titik picu rumah tangga bertengkar. Apalagi jika anak dari ahli waris sudah berkeluarga. Hasutan dari pihak istri dan tuntutan anak-anak akan makin menambah runyam permasalahan.
Dalam konteks ini, dalam ada istiadat orang Semende, ada yang namanya tunggu tubang. Tunggu tubang ini merupakan sistem kekeluargaan di mana hal untuk menjadi pewaris jatuh kepada pihak perempuan tertua.
Ini disebabkan adat Semende menganut garis keturunan dari pihak ibu atau yang disebut matrilineal.
Misalnya, seorang ayah memiliki tiga anak. Anak pertama atau si sulung berjenis kelamin laki-laki. Anak kedua perempuan serta anak ketiga
laki-laki. Nah, hak rumah dan tanah jatuh kepada anak perempuan yang urutannya kedua tadi. Akan tetapi, jika tidak ada anak perempuan bagaimana? Kalau ini yang terjadi, pewarisnya bisa diberikan kepada laki-laki tertua atau istri dari anak laki-laki tertua. Kalaupun masih ada yang perempuan, tetapi dia tidak mau, pilihan-pilihan tadi bisa jadi alternatif. Yang penting, jika syarat tidak ada perempuan dalam struktur anak dalam keluarga, semua harus dipecahkan dengan musyawarah, dengan mufakat, dengan pemusyawaratan. Jadinya demokratis. Pada titik inilah, letak demokratis adat dalam suku Semende ini.
Umumnya orang Semende mewariskan harta berupa tanah, sawah, dan rumah. Tanah di sini dalam artian yang bisa diusahakan secara produktif. Maka itu, terkenal bahwa orang Semende itu punya banyak ladang, sawah, atau kebun. Bahkan, secara berseloroh, orang Semende disebut "James Bond" atau jeme Semende besak di kebon. Maksudnya, orang Semende besar di kebun.
Tanah yang ada ini harus diusahakan berproduksi, tidak boleh berhenti. Sebab, dari sinilah semua kebutuhan keluarga besar dipenuhi. Kenapa demikian? Karena, mereka yang mendapatkan tunggu tubang tidak boleh menjual harta dan rumah. Rumah itu akan menjadi rumah tua di mana anak beranak akan berkumpul jika ada acara besar keluarga. Rumah itu akan menjadi simbol bahwa bangunan itu menjadi benteng pertahanan terakhir dari semua garis keturunan. Tidak hanya itu juga, tanah yang ada dan terus berproduksi itu juga berguna kalau ada keluarga yang membutuhkan. Artinya, beban mereka yang menjadi tunggu tubang ini berat. Tanah dan rumah tidak boleh dijual, sementara mereka menghidupi keluarga sambil menjadi kepala keluarga jika ada yang membutuhkan uang. Bisa dikatakan wajib hukumnya bagi tunggu tubang untuk memenuhi semua kebutuhan sanak keluarganya. Contohnya begini. Keponakan tunggu tubang butuh biaya untuk sekolah sedangkan orang tua kandung sedang tidak punya uang. Dalam kondisi demikian, perempuan yang menjadi tunggu tubang itu wajib memberikan uang untuk kebutuhan keponakannya tersebut. Demikian pula jika ada yang membutuhkan.
Kalaupun ada persoalan keluarga yang mendesak dan demikian penting, perempuan yang menjadi tunggu tubang juga harus ikut memfasilitasi agar persoalan itu segera diselesaikan.
Secara umum demikianlah sekelumit yang dimaksud dengan tunggu tubang. Kini, sesuai dengan judul pada tulisan yang dibuat ini, apakah dengan mekanisme adat yang demikian, masih relevan dengan kehidupan di masa sekarang. Penulis akan memberikan beberapa di antaranya.
Pertama, kita harus tetap memandang bahwa yang namanya aturan agama adalah mutlak. Adat harus bersendikan syariat. Benarlah kata mereka yang bersuku bangsa Minangkabau, yang mengatakan bahwa adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat itu sendinya syariat, sedangkan syariat itu adanya di kitab Allah atau Alquran.
Maka, kalau ada orang Semende yang dengan kuat memegang tradisi agama Islam dengan tidak menganut paham tunggu tubang, kita juga harus bisa memandangnya secara bijak, itu pilihan, dan kita harus menghormati.
Akan tetapi, buat mereka yang berkukuh bahwa ini adat dan harus diikuti, juga tidak menjadi masalah. Apalagi, meskipun sudah modern, tetap saja kebanyakan orang Semende tetap menganut adat ini. Kalaupun tidak secara saklek, tetap saja orang tua sudah berpesan bahwa tanah dan rumah yang mengelola si anu sambil menunjuk anak perempuan tertuanya.
Kedua, manfaat dari adanya rumah besar. Dengan ketiadaan hak dari tunggu tubang untuk menjual rumah dan tanah, berakibat pada terpeliharanya warisan yang bersejarah. Dengan adanya rumah tua, semua anak dan cucu masih dapat berkumpul. Rumah tua itulah yang menjadi perlambang bahwa meskipun sudah merantau jauh ke negara atau daerah lain, tetap ada satu rumah untuk berkumpul bersama. Inilah nikmatnya berkumpul bersama. Coba saja bandingkan dengan beberapa keluarga yang lain, yang begitu bapaknya meninggal, rumah dan tanah langsung dijual untuk dibagi-bagi. Akhirnya tidak ada lagi tempat untuk keluarga besar berkumpul. Lambang sejarah dalam keluarga juga hilang. Kenangan akan masa lalu tidak mampu lagi dihadirkan lantaran rumah sebagai simbolnya sudah hilang. Demikian pula dengan segenap peninggalan keluarga, mungkin foto, benda peninggalan, serta silsilah keluarga tidak ada lagi. Dari pengalaman penulis saja, kekerabatan orang Semende ini cukup kuat. Ada bahkan seorang kerabat penulis yang membuat tembe. Tembe itu garis silsilah keluarga. Dari moyang hingga cicit. Sehingga, sampai ke masa yang akan datang, sampai ke beberapa garis keturunan, masih bisa dilacak siapa saja kerabat yang ada. Sebuah keuntungan yang luar biasa bukan, jika dilihat dari sisi aset keluarga. Dari sini, penulis beranggapan untuk masalah ini, ada baiknya adat ini dikembangkan. Semata-mata agar semua keluarga punya tempat untuk berkumpul.
Ketiga, pemecahan masalah juga mudah dilakukan. Adanya tanggung jawab yang besar dari tunggu tubang membuat permasalahan yang ada pada keluarga besar akan terpecahkan. Tentu saja harus melibatkan tetua dari keluarga, misalnya uwak atau paman. Sering juga kita mendengar bahwa ada keluarga yang sulit sekali untuk memecahkan persoalan lantaran tidak ada yang dituakan atau dimintakan saran. Dengan adanya tunggu tubang, terbuka peluang untuk memecahkan semua persoalan dalam rumah tangga.

Semende Dalam Sejarah Legenda

Ilustrasi menarik mengenai tempat orang-orang Basemah pernah dituliskan oleh JSG Grambreg, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda yang ditulisnya tahun 1865 sebagai berikut : " Barang siapa yang mendaki Bukit Barisan dari arah Bengkulu, kemudian menjejakkan kaki di tanah kerajaan Palembang yang begitu luas dan barang siapa yang melangkahkan kakinya dari arah utara Ampat Lawang (negeri empat gerbang) menuju ke dataran Lintang yang indah, sehingga ia mencapai kaki sebelah Barat Gunung Dempo, maka sudah pastilah ia di negeri orang Pasemah. Jika ia berjalan mengelilingi kaki gunung berapi itu, maka akan tibalah ia di sisi timur dataran tinggi yang luas yang menikung agak ke arah Tenggara, dan jika dari situ ia berjalan terus lebih ke arah Timur lagi hingga dataran tinggi itu berakhir pada sederetan pengunungan tempat, dari sisi itu, terbentuk perbatasan alami antara negeri Pasemah yang merdeka dan wilayah kekuasaan Hindia Belanda".

Dari kutipan itu tampak bahwa saat itu wilayah Pasemah masih belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Operasi-operasi militer Belanda untuk menaklukkan Pasemah sendiri berlangsung lama, dari 1821 sampai 1867 Johan Hanafiah budayawan Sumatra Selatan, dalam sekapur sirih buku Sumatra Selatan Melawan Penjajah Abad 19 tersebut menyebutkan bahwa perlawanan orang Pasemah dan sekitarnya ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan abad 19, berlangsung hampir 50 tahun lamanya. Johan Hanafiah juga menyatakan bahwa pada awalnya orang-orang luas, khususnya orang Eropa, tidak mengenali siapa sebenarnya orang-orang Pasemah. Orang Inggris, seperti Thomas Stamford Rafless yang pahlawan perang Inggris melawan Belanda di Jawa (1811) dan terakhir mendapat kedudukan di Bengkulu dengan pangkat besar (1817-1824) menyebutnya dengan Passumah. Dalam The British History in West Sumatra yang ditulis oleh John Bastin, disebutkan bahwa bandit-bandit yang tidak tahu hukum (lawless) dan gagah berani dari tanah Passumah pernah menyerang distrik Manna (salah satu nama kota di bengkulu selatan) tahun 1797.

Disebutkan pula bahwa pada tahun 1818, Inggris mengalami dua malapetaka di daerah-daerah Selatan yakni perang dengan orang-orang Passumah dan kematian-kematian karena penyakit cacar. Pemakaian nama Passumah sebagaimana digunakan oleh orang Inggris tersebut rupanya sudah pernah pula muncul pada laporan orang Portugis jauh sebelumnya.

Nama Pasemah yang kini dikenal sebetulnya adalah lebih karena kesalahan pengucapan orang Belanda, demikian menurut Mohammad Saman seorang budayawan dan sesepuh besemah. Adapun pengucapan yang benar adalah Besemah sebagaimana masih digunakan oleh penduduk yang bermukim di Pagaralam Suku Besemah, yang sering disebut sebagai suku yang suka damai tetapi juga suka perang (Vrijheid lievende en oorlogzuchtige bergbewoners) adalah suku penting yang terdapat di Sumatera Selatan. Pada zaman sebelum Masehi (SM), pada peta yang dibuat oleh Muhammad Yamin, belum tampak nama suku-suku lain yang tercantum, kecuali suku Besemah. Local Jenius Suku Besemah, sebagai salah satu pemilik kebudayaan Megalitikum, disebut suku yang memiliki local genius. Tetapi sayang, tidak diwariskan kepada anak-cucu (keturunannya).

Mengenai asal-usul suku Besemah, hingga saat ini masih diliputi kabut rahasia. Yang ada hanyalah cerita-cerita yang bersifat legenda atau mitos, yaitu mitos Atung Bungsu, yang merupakan salah satu di antara 7 orang anak ratu (= raja) Majapahit, yang melakukan perjalanan menelusuri sungai Lematang, akhirnya memilih tempat bermukim di dusun Benuakeling.

Atung Bungsu menikah dengan putri Ratu Benuakeling, bernama Senantan Buih (Kenantan Buih). Melalui keturunannya :


  1. Bujang Jawe (Puyang Diwate),
  2. Puyang Mandulike,
  3. Puyang Sake Semenung,
  4. Puyang Sake Sepadi,
  5. Puyang Sake Seghatus,
  6. dan puyang Sake Seketi

yang menjadikan penduduk Jagat Besemah. Cerita tentang asal-usul suku Besemah sangat mistis, irasional, dan sukar dipercaya kebenarannya. Masalahnya bukan persoalan benar atau salah, dipercaya atau tidak, akan tetapi unsur yang sangat penting dalam mitos atau legenda adalah peran dan fungsinya sebagai pemersatu kehidupan suatu masyarakat (jeme Besemah). Mitos atau legenda ini dapat menjadi antisipasi disintegrasi kesatuan dan persatuan jeme Besemah di mana pun mereka berada. Hal ini sudah sudah tampak dalam beberapa dekade, terutama setelah pemerintahan marga dihapuskan (UU No.5 Tahun 1979). Perlu selalu ditanamkan perasaan dan keyakinan bahwa jeme Besemah itu (termasuk jeme Semende dan jeme Kisam) berasal dari satu keturunan BERDIRINYA DUSUN DI JAGAT BESEMAH Puyang Kunduran membuat dusun Masambulau (Ulu Manak) dan di kemudian hari anak-cucunya membuat dusun Gunungkerte, termasuk Sumbay Besak (Sumbay Besar), Puyang Keriye Beraim membuat dusun Gunungkaye, dan Sumur. Kemudian anak-cucu Keriye Beraim membuat dusun Talangtinggi dan Muarajauh (Ulu Lurah), Puyang Belirang membuat dusun Semahpure dan anak cucunya pindah pula membuat dusun di Ulu Manak. Puyang Raje Nyawe pindah pula membuat dusun Perdipe, Petani dan Pajarbulan.

Anak cucunya pindah pula membuat dusun Alundua, Sandarangin, Selibar, Rambaikace, Sukemerindu, Kutaraye, Babatan, Sadan, Nantigiri, Lubuksaung, Serambi, Bendaraji, Ulu Lintang Bangke, Singapure, Buluhlebar, Gunungliwat, Tanjungberingin, Ayikdingin, Muarasindang, Tebatbenawah, Rempasai, Karanganyar, semuanya masuk Sumbay Besak. Puyang Raje Nyawe pindah ke Semende, membuat dusun Pajarbulan.

Puyang Raje Nyawe kembali ke dusun Perdipe menyebarkan agama Islam dan adat istiadat perkawinan secara islami. Dari Semende banyak penduduk yang pindah keKisam dan masih banyak cerita mengenai pendirian dusun-dusun di Tanah Besemah ini.

Sistem Pemerintahan Tradisional Sistem pemerintahan tradisional di daerah Besemah disebut Lampik Empat Merdike Due yang dipimpin oleh kepala-kepala sumbay. Besemah waktu itu merupakan suatu republik yang paling demokratis. Tanggungjawab dan kesetiaan sangat ketat dibina oleh orang Besemah. Rasa solidaritas dan loyalitas yang sangat tinggi itulah yang menyebabkan prajurit-prajurit Besemah dapat melakukan perlawanan terhadap Kolonialisme.Dari kutipan itu tampak bahwa saat itu wilayah Pasemah masih belum masuk dalam jajahan Hindia Belanda. Operasi-operasi militer Belanda untuk menaklukkan Pasemah sendiri berlangsung lama,dari 1821 sampai 1867 Johan Hanafiah budayawan Sumatra Selatan, dalam sekapur sirih buku Sumatra Selatan Melawan Penjajah Abad 19 tersebut menyebutkan bahwa perlawanan orang Pasemah dan sekitarnya ini adalah perlawanan terpanjang dalam sejarah perjuangan di Sumatera Selatan abad 19, berlangsung hampir 50 tahun lamanya. Johan Hanafiah juga menyatakan bahwa pada awalnya orang-orang luas, khususnya orang Eropa, tidak mengenali siapa sebenarnya orang-orang Pasemah. Orang Inggris, seperti Thomas Stamford Rafless yang pahlawan perang Inggris melawan Belanda di Jawa (1811) dan terakhir mendapat kedudukan di Bengkulu dengan pangkat besar (1817-1824) menyebutnya dengan Passumah. Dalam The British History in West Sumatra yang ditulis oleh John Bastin, disebutkan bahwa bandit-bandit yang tidak tahu hukum (lawless) dan gagah berani dari tanah Passumah pernah menyerang distrik Manna (salah satu nama kota di bengkulu selatan) tahun 1797.

Sumber :http://www.pagaralam.go.id

Sejarah Desa Kembang Manis

Desa Kemang Manis merupakan sebuah desa tua yang telah berdiri dan ada sejak tahun 1890 an dengan letak Desa pertama berada di dekat Muara Air Luas, namun dikarenakan adanya abrasi pantai dan terjadinya banjir besar Sungai Luas sekitar tahun 1930 an yang menyebabkan masyarakat desa Kemang Manis harus pindah ke lokasi sekarang ini dengan nama desa Padang Hangat. Seiring dengan waktu dikarenakan bertambahnya masyarakat maka pada tahun 1999 an desa Padang Hangat dimekarkan menjadi dua desa yaitu Padang Hangat dan Kemang Manis. Pemerintahan desa Kemang Manis dari sekitar tahun 1890 an sampai saat ini telah berganti ganti dalam menyebutkan pemerintah desa dan orang yang menduduki emerintah desa itu sendiri.
Dimulai dari tahun 1890 an Pemerintahan Desa pertama dipimpin oleh seorang Pangeran, selanjutnya dipimpin seorang Ratu kemudian seorang Penggawe,selanjutnya Pati, lalu baru di sebut Kepala Desa. Dari penggalian data yang dilakukan maka diketahui Pati pada tahun 1950 an adalah Bapak M Nur, lalu Bapak Balim, Bapak M Hatta, dan baru Kepala Desa sekarang ini yaitu Bapak Nurdin G. Potensi desa Kemang Manis sebenarnya cukup memadai danbagus yang diantaranya yaitu potensi perkebunan Karet, Potensi SDA Laut, dan potensi Galian C.
Berdasarkan sejarahnya Desa ini, pada zaman dahulu sekitar tahun 1890 berdirilah sebuah desa di pinggir Pantai Muara Sungai Luas, desa tersebut bernama Desa Kemang Manis. Adapun penduduk desa tersebut berasal dari wilayah Dusun Betung Kec Kaur Tengah, dan desa Numbuk sekarang masuk dalam wilayah Sumatera Selatan. Perpindahan ini terjadi di karenakan ingin mencari tempat penghidupan baru dikarenakan tempat yang ada terus mengalami pengikisan tanah oleh pantai, Dilain itu juga terjadi banjir sungai luas yang menyebabkan masyarakat harus pindah ke lokasi saat ini yang secara posisi dan letak jauh lebih tinggi dari tempat yang lama. Atas inisiatif masyarakat maka lokasi desa Kemang Manis dipindahkan ke lokasi yang ditempati sekarang ini dengan nama desa baru yaitu Padang Hangat, perpindahan ini terjadi pada tahun 1930 an.
Lama kelamaan desa Padang Hangat semakin berkembang dan semakin banyak masyarakatnya. Maka sekitar tahun 1999 terjadi pemekaran dari satu desa yaitu Padang Hangat menjadi dua Desa yaitu Padang Hangat dan Kemang Manis. Dari tahun 1890 sampai 1990 an sebutan pemerintah desa selalu berganti, pertama disebut disebut Pangeran, Ratu, Penggawe, Pati dan sekarang ini menjadi Kepala Desa. Sebutan Kepala Desa sendiri dimulai pada tahun 1991 sampai sekarang diubah menjadi Kepala Desa dan Sekretaris Desa. Pada tahun 1890 samapai 1980 an desa Padang Hangat dan Kemang Manis merupakan penghasil kebun lada dan cengkeh, namun pada tahun 1970 an keatas semua kebun lada dan cengkeh mati karena hama (CDC) sehingga mulai dari tahun 1990 an sampai sekarang masyarakat desa kemang manis beralih ke kebun Karet dan petani Sawah tadah Hujan. Dari tahun 1890 sampai sekarang ini masyarakat desa Kemang Manis kurang berminat menekuni bidang kelautan sehingga tidak ada masyarakat yang bekerja sebagai nelayan, yang ada hanya masyarakat yang menjala atau memancing ikan di pinggir pantai dan muara sungai luas ini disebabkan karena minimnya SDM dan alat tangkap yang dimilki oleh masyarakat untuk menangkapkan di laut, yang ada daridahulu sampai saat ini yaitu masyarakat menjala dan memancing ikan dipingir Laut dan Karang serta mencari Sayal dan menembak Ikan dan Gurita.

Sejarah Desa Wayhawang

Dahulu sekitar tahun 1910 datanglah 4 keluarga yang memulai membuka hutan di tanah Way Hawang, keempat keluarga ini berasal dari desa Sambat yang berpindah untuk mencari penghidupan ke tempat yang baru yaitu tanah Way Hawang. Kemudian lama-kelamaan bertambahlah keluarga yang bermukim di tanah Way Hawang ini sehingga menjadi sebuah talang. Sebelum masuk ke wilayah Propinsi Bengkulu maka Way Hawang masuk dalam wilayah Propinsi Lampung dan di Way Hawang yang saat itu masih berstatus talang merupakan perbatasan dari Propinsi Bengkulu dan Lampung, namun setelah itu ada perubahan batas wilayah propinsi sehingga Way Hawang masuk ke dalam wilayah Propinsi Bengkulu.
Seiring dengan perkembangan kemajuan zaman maka dari tahun ke tahun semakin banyak keluarga yang bermukim di tanah Way Hawang sehingga pada tahun 1983 Way Hawang di definitipkan menjadi Salah satu desa Di wilayah Kabupaten Manna Bengkulu selatan dengan Ibu Kota Kecamatan adalah Bintuhan. Dan pada tahun 2005 setelah terjadi pemekaran yaitu daerah Kaur menjadi sebuah Kabupaten maka Desa Way Hawang masuk dalam Kecamatan Maje dengan Ibukota Kabupaten Bintuhan.
Nama Way Hawang berasal dari Way artinya Air dan Hawang artinya Rawang/besar/banjir, dinamakan demikian dikarenakan sekitar tahun 1930 an terjadi banjir besar disungai yang ada di pangkal desa Way Hawang, dari situ maka ditetapkan Way Hawang menjdi nama desa dan sekaligus nama Sungai yang mengalir di pangkal desa Way Hawang. Untuk menuju desa Way Hawang dapat di tempuh dengan menggunakan kendaraan darat (mobil dan motor) dengan jarak tempuh waktu dari Kota Bengkulu lebih kurang 7 jam, dan jika menaiki kendaraan umum maka biaya yang dikeluarkan lebih kurang 70.000 ribu dari Kota Bengkulu. Desa Way Hawang sendiri terletak di jalur lintas Bengkulu Lampung dengan mayoritas kehidupan masyarakat hidup dengan berkebun, bersawah dan nelayan tradisional, dan industri genting dan bata namun yang menjadi mata pencaharian utama adalah petani sawah. Jumlah penduduk Desa Way Hawang sebanyak 678 jiwa dengan jumlah kk sebanyak 158 kk.
Sebelum tarjadi pemekaran desa maka desa Way Hawang cukup luas, namun setelah setelah pemekaran maka desa Way Hawang menjadi terbagi dua yaitu desa Way Hawang dan desa Suka menanti. Sistem pertanian masyarakat desa Way Hawang masih sangat sederhana yaitu menggunakan sistem tadah hujan sehingga untuk menanam padi dilakukan hanya satu tahun sekali dan tergantung dengan musim, pada tahun 2006 dahulu terjadi masa paceklik yang cukup panjang dikarenakan biasanya bulan Oktober, November, Desember, Januari adalah musim hujan namun pada tahun 2006 tidak terjadi dan musim hujan sudah masuk bulan Februari dan Maret 2007 sehingga masyarakat pada tahun 2006 tidak bisa menanam padi dan baru memulai menanam padi pada bulan Februari dan Maret 2007. Saat ini masyarakat desa Way Hawang masih berada dalam masa kesusahan dikarenakan sumber daya yang ada belum dapat dimanfaatkan secara maksimal seperti :
1. Bidang kelautan masih menggunakan sistem Nelayan tradisional
2. Pertanian Sawah masih tadah hujan dan masih menggunakan tenaga manusia baik untuk membajak dan mengolah lahan sawah tersebut.
3. Industri genting dan bata masih terkendala dengan pemasaran
4. SDM masih kurang

PERUBAHAN SOSIAL SEBAGAI MANFAAT DARI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Oleh : Asmilawati Kepala Desa Suku tiga kecamatan Nasal

Banyaknya permasalahan yang muncul dimasyarakat, telah memberikan sebuah keinginan dari saya untuk dapat menjadi kepala desa, hal ini dikarenakan saya melihat permasalahan-permasalahan yang ada tidaklah dapat terselesaikan dengan baik dan terkadang meruncing dan menimbulkan sebuah permasalahan yang baru, hal ini tentunya harus diakui disebabkan lemahnya dan semakin menurunnya rasa kebersamaan masyarakat (gotong royong), juga semakin menurunnya semangat musyawarah di masyarakat sehingga proses penyelesaian masalah terkadang kurang terselesaikan dengan baik., disamping itu pula lemahnya kepemimpinan yang ada didesa, serta tidak adanya transparasi terhadap masyarakat terkait dengan kegiatan yang dilakukan telah berdampak pada semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin.

Namun dalam perjalannannya menjadi kepala desa bukanlah hal yang mudah, hal ini dikarenakan dengan menjadi pemimpin semakin banyak aspirasi yang di inginkan oleh masyarakat untuk kita lakukan, termasuk dengan rencana pembangunan yang ada didesa.

Namun dalam perjalan saya selaku kepala desa bersama teman-teman dari Kelompok tani lahan kritis, yang didampingi oleh kawan-kawan dari ulayat dan dari diskusi yang kami bangun saya mulai berfikir bahwasannya sangat penting dilakukan musyawarah bersama antara lembaga pemerintahan desa, BPD, dan masyarakat untuk dapat merumuskan rencana pembangunan desa sebagai mana yang tertuang dalam Peraturan pemerintah No 72 tahun 2005 tentang tata laksana penyelenggaraan pemerintahan desa, dari musyawarah bersama inilah saya mulai menyadari bahwasannya pembangunan didesa haruslah dilakukan secara bertahap dan terencana sehingga apa yang menjadi Cita-cita kami masyarakat desa suku tiga dapat tercapai.

Proses perencanaan desa yang kami lakukan menjadi sangat penting dimana dalam proses ini kita menjadi tahu bahwa kita selaku manusia khususnya desa memiliki potensi-potensi yang dapat dikembangkan untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, namun disamping itu yang menjadi lebih penting adalah bagaimana kita dapatmengetahui kelemahan-kelemahan kita yang terkadang kalau boleh jujur selalu kita simpan rapat sehingga permasalahan ini tidaklah terselesaikan dengan baik,
saya menyadari Proses perencanaan desa yang kami lakukan pada dasarnya bertujuan membangun kembali nilai-nilai demokrasi dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam melakukan pembangunan didesa, hal ini dikarenakan saya menyadari bahwasannya keterlibatan masyarakat sangat penting sebagai pelaku dari pembangunan.

Dari proses musyawarah yang kami lakukan ini sebagai sebuah desa tentunya diperlukan sebuah aturan-aturan guna mengatur wilayah khususnya sumber daya yang ada sehingga dapat termanfaatkan dengan baik dan menyelesaikan setiap permasalahan yang ada, untuk mengatasi ini maka kami selaku pemerintahan desa, melali BPD dan masyarakat membuat beberapa peraturan yang harus dibuat dan diterapkan didesa kami.
adapun perdes yang kami buat antara lain:
1. Perdes Tentang Aturan Adat dan Pelanggarannya
2. Perdes Tentang Kependudukan Lingkungan
3. Pendapatan dan keuangan desa
Disamping itu pula perencanaan desa yang kami lakukan juga telah memberikan gambaran tentang apa-apa saja terkait infrastuktur yang menjadi prioritas untuk dilakukan sesuai kebutuhan masyarakat dan tentunya atas dukungan para pihak dalam hal ini pemerintah daerah.
Beberapa fasilitas umum yang telah teralisasi adalah:
1. Balai desa sebagai pusat pelayanan pemerintah desa untuk masyarakat
2. Jalan lingkungan
3. Siring pembuangan limbah desa (berdasarkan rapat masyarakat dengan Program PNPM) ide ini disebabkan dampak yang ditimbulkan dari limbah penggilingan padi, khususnya penyakit yang ditimbulkan.

Namun dalam perjalanan saya selaku kades selama 2 tahun ini banyak yang saya rasakan,
1. banyaknya kritikan masyarakat
2. prasangka masyarakat
3. tetap saja ada pro dan kontra di masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan desa
4. masih lemahnya Sumber daya manusia didesa (khususnya perangkat desa) sehingga rencana pembangunan yang telah tersusun berjalan sangat lambat dan belum terbiasa kerja tim sehingga asumsi yang muncul terkait pekerjaan maka menjadi tanggung jawab kades, sehingga kedepan saya berharap adanya sebuah pelatihan dan pendapingan yang intensif yang dibuat untuk kawan-kawan kaur (perangkat desa) sehingga fungsi dan peran perangkat desa dapat berjalan dengan baik.
5. Besarya tanggung jawab kades saat ini khususnya untuk anak-anak Kuliah Kerja Nyata).
Namun semua hal diatas mereupakan tantangan yang harus kita hadapai selaku pemimpin didesa yang kita pimpin, kedepan tentunya saya sangat mengharapkan kerjasama kepada kawan-kawan demi kemajuan kita bersama.



JANGAN BERIKAN IKAN KEPADA KAMI TAPI BERIKANLAH PANCING

Sejarah Desa Penyandingan kecamatan Maje

Sebelum tahun 1960 wilayah Desa Penyandingan termasuk dalam Wilayah Marga Sambat yang merupakan Komunitas Suku Kaur.
Tidak diketahui secara pasti kapan wilayah Desa Penyandingan mulai dibuka, namun berdasarkan informasi dari beberapa masyarakat asli dan orang tua yang berasal dari Penyandingan bahwasannya Desa Penyandingan dibuka oleh Raden Dukun bersama para pengikutnya, pemukiman yang pertama kali dibuka oleh raden dukun terletak di lembah muka. Desa Penyandingan, Raden Dukun dan pengikutnya membuka lahan untuk dijadikan lahan perkebunan dan pertanian dilembah muka. Pembukaan lahan dan pemukiman ini dilakukan secara bergotong royong oleh Raden Dukun dan pengikutnya.
Pada tahun 1945 Desa Penyandingan didatangi oleh para perampok yang masuk melalui Pematang Jeregi, namun lokasi pemukiman masyarakat Desa Penyandingan yang terletak dilembah muka tidak ditemukan oleh para perampok,
Dan pada tahun 1960 kembali Desa Penyandingan didatangi oleh gerombolan (pengacau) dan membunuh dua orang masyarakat yang bernama umar dan jumat hal ini dikarenakan umar dan jumat tidak mau bergabung dengan pasukan gwerombolan.
Pada tahun 1970 masyarakat diwilayah Desa Penyandingan mengalami pertambahan penduduk dan pemukiman masyarakat menjadi padat melihat hal ini maka sebahagian masyarakat banyak yang pindah keseberang sungai sambat dan akhirnya mendirikan desa baru dengan nama tanjung aur.
Namun pada tahun Tahun 1984 Desa Penyandingan dilanda banjir besar yang terjadi di sungai sambat hal ini menyebabkan banyak harta benda dan hewan ternak masyarakat yang ditelan banjir. Maka setelah kejadian ini masyarakat mulai pindah kedaerah yang lebih tinggi, disamping itu banyak masyarakat desa penyandingan juga mulai meninggalkan desanya. Pada tahun 1987 desa penyandingan diserang badai besar yang menyebabkan rumah masyarakat dan gedung sekolah rusak atapnya, tak sampai disitu saja bencana demi bencana juga terus melanda daerah ini, khususnya saat serangan hama cengkeh menyerang tanaman masyarakat pada tahun ini sehingga menyebabkan ratusan hektar tanaman cengkeh masyarakat menjadi mati, penyakit tanaman cengkeh ini lebih dikenal dengan masyarakat dengan nama CDC (Cacat Daun Cengkeh).
Pada tahun 1997 Desa Penyandingan tinggal beberapa keluarga saja, hal ini dikarenakan masyarakat banyak yang pindah kedaerah lain seperti parda suka, kedataran, bintuhan dan daerah lain. Sulitnya akses informasi dan komunikasi menjadi salah satu penyebab banyaknya masyarakat diDesa Penyandingan yang mulai pergi meninggalkan Desa.
Pada tanggal 22-11-2002 menjadi salah satu sasaran untuk dijadikan lokasi Transmigrasi, masuknya Transmigrasi umum kewilayah Desa Penyandingan di fasilitasi oleh pihak Dinas Transmigrasi Bengkulu Selatan. Maka mulai waktu inilah lokasi induk Desa Penyandingan dari di kaki lembah muka Di Pindahkan Ke Pematang Ciwer Dan Tanjung Ilung ini dikarenakan Lokasi Desa Penyandingan lama tidak memungkinkan untuk didirikan sebagai pemukiman masyarakat. Disamping masalah Transportasi yang tidak memungkinkan untuk dibangun jembatan. Pada tahun ini pula masuklah masyarakat Transmigrasi yang berasal dari Aceh yang merupakan korban konflik perang Diaceh, disamping masyarakat Desa Penyandingan. Namun para Transmigrasi ini hanya bertahan kurang dari 1 tahun, maka berangsur-angsur pemukiman di wilayah Transmigrasi Desa Penyandingan mulai ditinggalkan oleh warganya, bahkan pada waktu ini wilayah Transmigrasi ini hanya dihuni oleh 3 KK.
Dikarenakan masyarakat desa penyandingan hampir habis khususnya diwilayah trans penyandingan, maka pada tahun 2005 sampai saat ini 2007 kepala Desa Penyandingan mulai mengajak/merangkul masyarakat-masyarakat yang berasal dari daerah lampung barat, jawa, krui, dan masyarakat lokal untuk datang, khususnya di wilayah Trans Desa Penyandingan untuk menggarap lahan pertanian diDesa ini. Saat ini ada lebih kurang 75 KK yang mulai berdatangan dan tinggal rumah-rumah yang dibangun oleh pihak dinas Transmigrasi.
Pada saat ini pada umumnya warga trans Desa Penyandingan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya hidup dari mengelola lahan pertanian, akan tetapi sebagai warga baru masyarakat di tran Desa Penyandingan ini masih mengelola lahan pekarangan yang mereka milki, disamping itu masyarakat juga menggarap lahan pekarangan kosong yang belum ditunggu oleh pemilik lama/baru dengan jenis tanaman palawija seperti kacang hijau, cabe, jagung dan padi darat, dll.
Pada pertengahan bulan Februari sampai dengan bulan maret 2007 untuk mempermudah akses maka dibukalah jalan oleh TMD (tentara masuk Desa) dari Desa kedataran dan pekan (pasar) sampai ke wilayah Trans Penyandingan. Adapun jarak yang dibuka oleh TMD ini berjarak lebih kurang ± 2,8 km. Pembukaan jalan ini selain menggunakan tenaga alat berat seperti Buld dosser juga dibantu oleh masyarakat.

Sejarah Desa Kepahyang Kecamatan Luas

Desa Kepahyang terletak di Kecamatan Luas dengan mata pencaharian masyaraktnya sebagai petani. Pada tahun 1935 dibawah kepemimpinan patih Karim desa Kepahyang pindah ke lokasi Perigi. Mulanya desa ini dinamankan desa Lembak yang memang letaknya di dekat sungai Luas dengan topografi yang miring dan rendah. Desa ini sering mengalami banjir pada saat musim hujan tiba. Pada tahun 1960 terjadi pemberontakan ada segerombolan orang yang masuk ke desa.Gerombolan ini menguasai desa Kepahyang, masyarakat desa mengumpulkan keberanian mereka bersatu untuk melawan gerombolan tersebut dan akhirnya dapat dikalahkan.
Pada tahun 1943-1969 adanya pergantian kepemimpinan desa dipimpin oleh Patih Nyantak.Tidak ada pembangunan pada masa kepemimpinan Patih Nyantak. Desa Kepahyang melakukan pemekaran dari desa Bangun Jiwa di bawah kepemimpinan Patih Luwih (1969 -1975 ). Pada tahun 1976 sampai tahun 1990 pemerintahan desa dipimpin oleh patih Buyung. Masih masa pemerinthan patih Buyung Pernah terjadi perkelahian antara dua keluarga yang menewaskan 2 orang dan korban luka-luka sebanyak 3 orang. Perkelahian ini disebabkan oleh masalah keluarga.
Pada tahun 1990-sampai sekarang pemerintahan desa Kepahiang dipimpin oleh patih Herman. Seringnya banjir melanda perkampungan atau desa lembak maka pada tahun 1997 lokasi Kepahyang dibuat transmigrasi SP4 yang namanya Serdang Indah masih dibawah kepemimpinan kepala desa Herman desa Kepahyang Memekarkan diri dari desa Periggi yang dimekarkan menjadi dua desa yaitu desa Kepahyang dan desa Pulau Panggung.
Pada tahun 1974 terjadi peristiwa banjir bandang yang memakan korban jiwa sebanyak 5 orang dan merusak hamparan sawah milik masyarakat desa..Banjir bandangpun terjadi lagi yang menhancurkan hamparan sawah dan memakan korban sebanyak 2 orang. Banjir ini menyebabkan bergesernya sungai Luas yang mulanya merupakan hamparan sawah menjadi sungai dan yang dulunya sungai Luas menjadi sawah. Sawah bisa dikelolah masyarakt membutuhkan waktu yang lama karena banyaknya batuan bukan tanah yang beberapa tahun kemudian baru bisa ditanami. Cerita Bapak Saiful tanah di dekat sungai Luas yang ditanamin padi bila digali maka pada lapisan berikutnya bukan tanah tetapi berupa batuan cadas.
Masyarakat desa Kepahyang ini banyak yang bertani dengan menanam jenis tanaman seperti lada, kopi, coklat. Desa Kepahyang mulanya terkenaal dengan hasil ladanya. Suatu waktu lada petani ini diserang hama penyakit yang mereka sebut dengan matu junjungan, untuk mencari solusi mereka bertanya kepada PPL yang solusinyanya adalan dengan membakar junjungan dan ladanya. Masyarakat tidak puas dengan jawaban petugas PPL tersebut mereka menyatakan kalau hanya dengan cara dibakar mereka bisa dan dampaknya akan merugi para petani. Akhirnya mereka tidak mengambil tindakan pemberantasan hanya dibiarkan saja hasilnya tanaman lada mati semua. Dinas pertanian memberi bantuan biit kepada para petani yaitu jenis tanman karet, coklat, kopi. Sampai sekarang jenis tanaman inilah yang banyak ditanam oleh petani di desa Kepahyang, Baru tahun-tahun ini ada beberapa masyarakat (petani) yang menanam tanaman sawit dengan luas 2 Ha.
Tehnik bertani para petani di desa ini terbilang masih tradisional, baik itu dilihat dari peralatan yang digunakan, penggarapan lahan, cara penanaman, pemeliharaan. Satu kelebihan para petani dari dulu mereka telah menerapkan cara tumpang sari yang mereke sebut dengan kebun campuran.

Sejarah Desa Muara Sahung

Penduduk Muara Sahung berasal dari suku Semende darat yang ada di Muara Due Sumatera Selatan, penduduk di Eks.marga Muara Sahung (dipimpin Pasirah) disebut dengan Semende Lembak. Tahun 1965-1968 berdirinya kecamatan Muara Sahung terdiri dari 7 marga yaitu :
1. Marga Muara Sahung
2. Marga Kinal.
3. Marga Luas
4. Marga Semidang Gumai
5. Marga Are.
6. Marga Sindang Danau
7. Marga Pulau Beringin.
Bulan Oktober 1968, Bengkulu menjadi propinsi ke-26. Kecamatan Muara Sahung menjadi Kecamatan Kaur Tengah terletak di wilayah Tanjung Iman. ( termasuk marga Kinal, Luas, Semidang Gumai).
Sebelum Belanda masuk, desa ini bernama Tanjung Teriti, pada saat pemerintahan Belanda masuk, maka oleh nenek puyang nama desa diganti Muara Sahung dengan kewidanaan Kaur (demang), keresidenan Bangkahulu.
Ketika Bengkulu menjadi propinsi,maka marga Sungai Are masuk Sumatera Selatan maka Muara Sahung menjadi desa dengan kecamatan Kaur Tengah.
Ketika Kaur menjadi kabupaten pada tahun 2003 maka terjadi pemekaran wilayah kecamatan, maka pada tahun 2005 Muara Sahung menjadi kecamatan dengan 7 desa yakni desa :
1 Muara Sahung
2 Ulak Lebar
3 Ulak Bandung
4 Bukit Makmur Transmigrasi 1995 / SP 3.
5 Tri Tunggal Bakti (1990,SP 1).
6 Sumber Makmur (1993,SP 2)
7 Cinta Makmur.

Sejarah Desa Ulak Lebar Kecamatan Muara Sahung

Desa ulak lebar pertama kali berada di dusun Enau Becangka dan diperkira sekitar tahun 1600, orang Semende disini berasal dari semende darat, yang bergerak dari semende darat pindah kedaerah Bayur (Muare Due Kisam) dusun Lawang Agung, mereka pecah melalui bukit Barisan mengarah ke Ulu Danau kec. Pulau Beringin, meraka bergerak lagi kedaerah Pecah Pingan, Guntung, dan menyusuri sungai Sahung dan Luas sehingga sampai di daerah Muara Sahung dengan dusun tuanya Enau Becangka, Teluk Bunian dan Kendawaian ( tahun tidak diketahui)
Enau Becangka dihuni oleh : Puyang Periksa Alam, Puyang Tabir Angin, Puyang Lebih, Puyang Langsaran yang lebih dikenal dengan Raden Abang, Puyang Senal, Puyang Murah, Puyang Selamat, mereka membuka desa Ulak Lebar diperkirakan tahun 1700-1800 terbukti sumber informasi pak Yunuar pernah melihat kart dusun Ulak Lebar yang bertanda tahun 1812 didesa Ulak Lebar ( hilang kira kira tahun 1991/ 1992).

Dusun ini berada di ulu sungai Sahung berdekatan dengan TNBBS, dusun ini mulai ditinggalkan tahun 1958-1960 ( jaman PRRI, gerombolan), yang terakhir meninggalkan dusun Enau Becangka adalah keluarga Ali Umar dan anaknya Ujang Effendi (kaur pemerintahan sekarang.). penyebab ditinggalkannya dusun ini karena berkembangnya wilayah Ulak Lebar karena letak geografisnya lebih mudah di jangkau oleh daerah sekitarnya, kearah selatan menuju Tanjung Iman, Bintuhan, kearah timur menuju Simpang Pecah Pingan dan Ujan Emas.

Sejarah kepemimpinan
1. Demang Amin ( demang ke-7)
2. Zaman Pasirah
1. Amir (1937-1945)
Desa Ulak Lebar masuk dalam Marga Muara Sahung
2. Datuk M. Alwi (1945-1960)
3. Amin Hoesin (1960)
Jabatannya hanya satu tahun karena PRI masuk desa Ulak Lebar, beliau melarikan diri
4. Ramsyah (1961-1964)
PRI masih menguasai desa ulak lebar dan pulau panggung
5. Muhalik (1965-1972)
Masa jabatan 2 periode
Pengawe bernama Sanubi
Tahun 1965-1968 berdirinya kecamatan Muara Sahung terdiri dari 7 marga yaitu :
1. Marga Muara Sahung,
2. Marga Kinal,
3. Marga Luas.
4. Marga Semidang Gumai,
5. Marga Are
6. Marga Sindang Danau,
7. Marga Pulau Beringin.
Oktober 1968, Bengkulu menjadi propinsi ke-26 negara Republik Indonesia
marga Muara Sahung menjadi bergabung ke kecamatan Kaur Tengah terletak di wilayah Tanjung Iman. ( termasuk marga Kinal, Luas, Semidang Gumai)
6. Daruki Amir (1973-1982)
Dusun Ulak Lebar dan Pulau Panggung dipimpin oleh oleh Depati yang pertama bernama Sauki dan yang kedua bernama Ujang Effendi
1980-1982 dusun Ulak lebar dan Pulau Panggung disatukan menjadi desa Ulak Lebar.
3. Zaman Kepala Desa
1. Zulkifli. C ( 1982- 1998)
Menjabat selama dua priode, selama menjabat beliau banyak melakukan pengembangan desa ini, terlihat dari adanya dusun Air Nunung, dusun Air Kelian, dusun Batu Gurah Ulu, Batu Gurah Ilir, dan dusun Jukupayung, penduduk yang membuka dusun tersebut kebanyakan datang dari luar daerah yaitu, Jawa Lampung, Padang Gici, dan orang Semende Darat.
2. Tasulis Sani ( 1999- 2003)
Hanya menjabat selama 5 tahun karena mencalonkan diri sebagai calon legislatif kab. Kaur. Pada kepemimpinanya, terbangunnya jembatan gantung ke arah dusun Juku Payung